Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IVAN Illich berseru agar masyarakat bebas dari sekolah, tapi niat deschooling itu mungkin hanya mengerti satu sisi dari persoalannya. Kalau tidak percaya, bacalah Perjalanan Anak Bangsa, kumpulan 18 kisah nyata tentang proses asuhan dan sosialisasi orang Indonesia yang diterbitkan LP3ES dua tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang ayah Batak bicara kepada anaknya yang sulung: “Sejak nenek dari nenekmu, tak seorang pun pernah berusaha untuk sekolah. Kaulah yang mengawalinya....” Sekolah, dalam kasus itu, seakan-akan pembukaan sejarah dari sebuah fase prasejarah. Si anak pergi ke Lintong ni Huta, masuk ke sebuah SMP Katolik. Dalam otobiografi singkatnya itu, yang menarik, ia tak bicara tentang apa yang dipelajarinya. Ia hanya menyebut keinginannya bersekolah yang “kian menggebu-gebu”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasase itu tipikal, agaknya. Dari seluruh dokumen yang disusun buku penting itu, semua anak berangkat: dan masa kanak, melalui rumah dengan ayah-ibu atau nenek-kakek dan paman, ke masa yang lebih lanjut. Semuanya mencantumkan sekolah sebagai suatu bagian dari ritus baru menjadi “orang”. Para penyunting buku ini, setelah membaca 307 naskah untuk diseleksi, bahkan mengambil kesimpulan: “Lingkungan sekolah rupanya paling berkesan bagi kebanyakan anak-anak ini. Kadang-kadang diceritakan dengan lebih berpanjang lebar dibandingkan dengan cerita keluarganya.”
“Anak dan lingkungannya,” demikian tulis kata pengantar para penyunting itu lagi dalam suatu ikhtisar yang menarik, “tampaknya melihat sekolah sebagai kereta besar menuju status sosial yang lebih tinggi, dan karena itu mereka bayar dengan cara apa pun.”
Mereka memang membayarnya dengan jerih dan payah. Seorang anak berjualan pisang. Seorang yang lain berjualan kue. Ada juga barang bekas, koran, sepeda, rokok, soto, dan ada lagi yang bekerja di kaki lima. Kisah Ibrahim Rasyad, yang sambil bersekolah berjualan di tepi jalan itu, cukup menjadi contoh.
Ia datang dari Talang Tutus, Sumatera Barat, dan harus menanggung beban ini: “Kawan-kawan di sekolah tidak mengetahui bahwa aku berdagang di kaki lima. Hanya satu-dua kawan dekat saja yang tahu. Pedagang Minangkabau di tepi jalan sering mendapat ejekan dari kawan-kawan sekolahku. Aku tidak ingin mereka mengejekku pula. Kalau ada kawan yang kebetulan lalu di jalan tempat aku berdagang, aku selalu berusaha untuk memalingkan muka supaya tidak dikenal....”
Apakah yang diperoleh dari pengorbanan yang semacam itu kemudian? Yang menarik ialah, sepanjang kita ikuti kisah-kisah pendek itu, bukan butir-butir ilmu itu yang dibawa terus setelah mereka dewasa. “Anehnya,” tulis para penyunting, “sedikit sekali anak yang mengisahkan pendalamannya atau dorongan hatinya kepada suatu cabang ilmu.” Guru boleh terus saja mengajarkan aljabar, fisika, tata bahasa, sejarah. Kurikulum boleh diubah atau ditambah. Tapi, akhirnya, yang jadi bekal untuk “jadi orang” adalah hal-hal lain.
Seorang anak tani di lereng Merapi, yang tulisannya tak dimuat penuh dalam buku ini, bahkan mengatakan, “Dari semua pelajaran yang diberikan kepada saya, hanya kecakapan menulis, membaca, berhitung, ilmu bumi, dan bahasa Indonesia saja yang saya anggap berguna.... Pelajaran yang sia-sia bagi saya adalah pelajaran ilmu pasti, seperti ilmu ukur dan aljabar.” Si anak petani kemudian berhenti bersekolah, beberapa saat setelah masuk SMA. Ia tak lagi punya biaya. Tapi ia tampaknya tak merasa kehilangan. Sebab, rupanya, yang diperoleh dari masa sekolah adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang mungkin berhubungan dengan pengajaran, tapi tetap berada di luarnya.
Ibrahim Rasyad, misalnya, memperoleh “bekal” hidup justru dari Pak Tua penjaga pintu SMA: orang ini yang mendorongnya agar selalu berusaha sekali lagi jika gagal. Dalam kasus Ariadamar, anak pangreh praja dari Jawa Barat yang bersekolah di Garut semasa revolusi, mata pelajaran yang, “Sungguh-sungguh berpengaruh pada saya adalah budi pekerti.” Isinya: soal-soal politik yang lagi hangat.
Agaknya, apa yang menjadi isi memang tidak teramat penting. Lebih penting ialah pertumbuhan diri dalam proses di kelas itu. Maka, dapat saja seorang anak—seperti kita umumnya—kemudian tak ingat lagi apa yang diberikan ilmu fisika. Toh, kita mungkin pernah mendapatkan kepercayaan diri sendiri dalam proses belajar ilmu itu—dan itulah yang akan terbawa sampai tua. Dengan demikian, beberapa mata pelajaran memang barangkali bisa ditanggalkan dari kurikulum. Beberapa yang lain mungkin cukup pula diberikan dasar-dasarnya sebentar dalam suatu jangka waktu.
Yang pokok ialah bahwa sekolah menjadi tempat bermulanya hasrat mencari yang terus-menerus, dan di bangku itu dipupuk keberanian menghadapi soal secara tak putus-putus. Pendidikan, dengan demikian, lebih serupa pemberian ilham. Sebab, seperti tersirat dalam buku Perjalanan Anak Bangsa (yang umumnya banyak berkisah tentang penderitaan), tokoh-tokoh yang nyata lebih merupakan inspirasi tersendiri.
Sebuah kisah yang mengharukan melukiskan sebuah keluarga yang bapaknya ditahan beberapa saat setelah peristiwa 1965. Ibunyalah yang menyebabkan mereka bisa bangkit kembali. Dan ibunyalah yang menjadi suluh. “Tanpa Ibu,” tulis si anak kemudian, “huruf A sebesar dunia pun kami tidak tahu.” Namun itu tidak berarti peran sekolah sebagai tempat memperkenalkan “huruf A sebesar dunia” tak penting lagi.
Ivan Illich memang keliru. Tapi sekolah pun keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal-tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo