Dalam ribut-ribut soal pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat) tak kurang dari Mochtar Kusuma Atmadja, ikut bicara: "Jangan mentang-mentang mereka pernah terlibat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), lantas mereka tak bisa ikut pameran KIAS," kata bekas menlu itu seperti dikutip sebuah koran Ibu Kota. Lantas, apa dasar keikutsertaannya? Tentu, segi kualitas seni yang tinggi dan tak membawa misi politik tertentu. Inilah inti terpenting. Kita unjuk taring kepada dunia internasional: Inilah seni rupa modern Indonesia. Pernyataan Mochtar itu sebagai reaksi atas pernyataan But Mochtar Rektor ISI (Institut Seni Indonesia), Yogyakarta. Rektor ini berkoar. Ia berkeberatan kalau sebagian karya yang diikutsertakan KIAS tidak bersih lingkungan. Artinya? Rektor ISI itu menolak karya-karya yang berbau komunisme atau realisme sosialis dari harisan PKI. Ternyata, buntut pernyataan itu menjadi panjang. Bagong Kussudiardjo nimbrung. "Saya juga ikut berkeberatan," kata dia. Bagong pun, kemudian, menarik diri. Ia mundur dari KIAS. Bahkan, menurut dia, beberapa seniman ikut mendukung dia. Ia tak menyebutkan nama dan jumlahnya. Tetapi ia menambahkan, "Kini, saya merasa kurang enak di kalangan para seniman setempat." Jim Supangkat, seni rupawan, wartawan, dan salah seorang pelopor "Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia", menulis apa yang sebenarnya terjadi dengan KIAS. "Seni rupa Indonesia ditolak oleh kurator Amerika," tulis Jim dalam TEMPO, 22 April 1989, Kolom. Lho ! Itu tentu bukan lantaran bau komunis atau "kotor lingkungan". Juga bukan karena Bagong dan But Mochtar mundur dari KIAS. Para kurator itu hanya peduli pada kualitas seni rupa lukis Indonesia. Seperti dikatakan Affandi dalam surat kepada seorang sobatnya," ...lukisan-lukisan yang dikirimkan dari Jakarta salah seleksinya. Jakarta bodoh. Mereka tak mau mendengarkan saya." Cara berpikir Affandi memang sederhana dan jelas serta terbukti. Tetapi semua orang mengetahui apa kaliber Affandi. Sejarah mencatat, hanya Affandi dan pelukis lepang yang dipilih dalam pameran akbar di Sao Paolo, Brasil, Bienale International Art Exibition II pada 1954. Peserta di luar Asia adalah jagoan-jagoan dunia seperti Pablo Picasso dan Henry Laurens. Bagaimana nasib KIAS? Dr. Fischer dan Astri Wright mencoba memformulasikan seni rupa lukis Indonesia, yakni tema kemasyarakatan dan masalah sehari-hari. Kali ini, tema tersebut ditolak, karena "kotor lingkungan". Penolakan tema itu -- realisme sosial belum tentu disadari benar, apakah masih in di AS. Tak usah kaget, kalau tuntutan masyarakat di sana sangat mungkin radikal, dan seperingkat dengan opini orang macam Herbert Marcuse atau Alvin Toffler. Kedua tokoh ini, boleh dikatakan, idola dalam perkara kritik sosial-politik-ekonomi. Sementara itu, tema sosial yang digarap para pelukis di Indonesia paling banter seperti Mendiang S. Sudjojono. Sedangkan konsep keseniannya sendiri, saya pikir, belum beranjak dari konsep abstrakisme, impresionisme, fauvisme, neoplastisme. Konsep-konsep ini hampir 30 tahun lalu sudah basi di Amerika. Lebih baik KIAS dibatalkan, mungkin. Ketimbang nanti, misalnya, sampai di Amerika (1990) menjadi bahan lelucon, atau seperti kata pelukis senior Affandi, "Salah seleksinya. Panitia Jakarta bodoh." Bikin malu bangsa Indonesia, kan? GENDUT RIYANTO Jalan Otista III Kompleks II/14 A Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini