RANCANGAN Undang-Undang, Peradilan Agama (RUU-PA) baru akan dibahas DPR dua pekan lagi, mulai 12 Juni mendatang. Namun, telah beberapa pekan terakhir ini RUU tersebut ramai dibicarakan masyarakat, bahkan sempat menimbulkan polemik di sana-sini. Tampaknya ada kekhawatiran dari sebagian masyarakat, khususnya dari kalangan nonIslam, bahwa RUU-PA ini akan mengurangi hak-hak mereka. Rasa waswas itu, misalnya, tercermin dalam pernyataan PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia) seusai sidang tahunan MPL (Majelis Pekerja Lengkap) PGI di Caringin, Bogor, akhir April lalu. Seperti dilaporkan koran Suara Pembaruan dua pekan lalu, MPL-PGI mengharapkan agar sebelum DPR membicarakan RUU-PA, "hendaknya terlebih dahulu dikembangkan konsensus nasional mengenai pendekatan yang bersifat mendasar dan menyeluruh". Dengan begitu, RUU-PA dan RUU-RUU lain di bidang keagamaan akan dapat dinilai, sampai sejauh mana ia sesuai atau tidak sesuai dengan pendekatan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, yang merupakan konsensus nasional itu. MPL-PGI berpendapat, dalam menghadapai perundangan-undangan di bidang keagamaan, majelis-majelis keagamaan, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam Wadah Musyawarah Antar-Umat Beragama, sebaiknya diikutsertakan dalam proses pengembangan konsensus nasional itu. RUU-PA yang terdiri dari tujuh bab dengan 108 pasal itu disampaikan oleh pemerintah ke DPR 28 Januari yang lalu. RUU ini dibuat untuk melaksanakan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Di situ ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dari keempat cabang peradilan itu, sampai saat ini cuma peradilan agama yang belum diatur oleh suatu undang-undang. Nah, untuk melengkapi cabang peradilan itulah RUU ini diajukan ke DPR. RUU ini antara lain mengatur kedudukan dan wewenang peradilan agama dalam mengadili perkara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan dan segala akibatnya, kewarisan, wasiat, dan hibah menurut hukum Islam. Juga wakaf dan shadakah. Tampaknya RUU ini telah pula menimbulkan berbagai isu. Misalnya, ada yang menuding RUU yang menggunakan istilah hukum Islam ini sebagai bentuk lain dari merealisasikan "Piagam Jakarta". "Piagam Jakarta" merupakan istilah untuk menyebut konsep Pembukaan UUD 1945 yang disepakati penitia kecil penyusun naskah UUD itu, pada 22 Juni 1945. Di dalam dokumen itu tercantum kalimat bahwa negara didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tapi kalimat itu kemudian dihapuskan, demi persatuan, karena diprotes kalangan non-Islam. Benarkah kalimat yang sudah lama hilang itu kini kembali muncul melalui RUU-PA? Dalam pertemuan silaturahmi dengan Pengurus Pusat Muhammadiyah Senin pekan ini, Presiden Soeharto menegaskan bahwa RUU-PA yang diajukan pemerintah ke DPR itu adalah pelaksanaan dari UUD 45 dan Pancasila, dan sama sekali tak ada hubungan dengan "Piagam Jakarta". "Tidak usah khawatir, karena RUU itu betul-betul pelaksanaan UUD 45. Tidak ada hubungannya dengan Piagam Jakarta," kata Kepala Negara, seperti dikutip Lukman Harun, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, seusai diterima Presiden di Istana Merdeka, Jakarta. Menurut Lukman, Presiden mengingatkan bahwa berdasarkanUUD 45, negara menjamin semua warganya untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Pak Harto mengatakan, "Masalah agama bukan hanya menyangkut ibadah biasa seperti salat dan puasa, tetapi juga hukum-hukum keluarga dan hukum waris. Semua ini dijamin pemerintah." Isu "Piagam Jakarta" itu berembus sejak awal April lalu, setelah muncul sebuah makalah intern -- konon disusun oleh salah seorang wakil ketua F-KP -- yang diberi judul "Pokok-Pokok Pikiran Fraksi Karya Pembangunan DPR terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama". Makalah setebal 17 halaman ini pada intinya meminta RUU itu agar ditinjau kembali, sebab menimbulkan dualisme dalam peradilan di sini: peradilan negara yang menerapkan hukum negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 serta peradilan agama yang menegakkan hukum agama Islam. Model peradilan yang disebut belakangan itulah, menurut makalah ini, "sebagai melaksanakan Piagam Jakarta". Entah bagaimana, makalah itu kemudian beredar luas keluar, bahkan konon sempat beredar sampai Sulawesi Selatan dan Aceh. Karena itu, dalam rapat DPP Golkar Selasa pekan lalu, makalah itu sempat menjadi bahan perdebatan sengit. "Tapi kemudian diputuskan dalam rapat yang dipimpin Ketua Umum Wahono itu, makalah tersebut dianggap tak pernah ada," ujar sebuah sumber TEMPO. Di F-KP sendiri, pembahasan mengenai RUU-PA itu cukup berkembang. Cukup kuat pendapat yang mendukung RUU itu, tapi banyak pula yang melihat RUU itu sebagai dualisme dalam peradilan nasional. Yang berpendapat seperti ini menganggap RUU itu tak pas dengan Ketetapan MPR 1973 tentang Wawasan Nusantara, yang isinya antara lain menyebutkan Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum, dalam arti hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. Selain itu, mereka menganggap Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, bukan negara agama, sehingga tak tepat bila hukum suatu agama ditransformasikan menjadi hukum negara. Ada juga kritik pada wewenang peradilan agama, yang di dalam RUU itu disebutkan bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara orang-orang yang beragama Islam, menyangkut kewarisan, wasiat dan hibah, serta pembagian harta bersama. Mereka berpendapat agar pengadilan agama hanya mengadili pihak-pihak yang bersangkutan, bila mereka secara sukarela dan setuju perkaranya diselesaikan melalui peradilan agama. Sesungguhnya, tak semua kritik itu mengena. Tentang soal wewenang itu, misalnya, di dalam penjelasan pasal 49 RUU, jelas tercantum bahwa pengadilan agama berwewenang mengadili perkara kewarisan menurut hukum Islam, atas kehendak ahli waris sendiri. Artinya, masih terbuka kemungkinan ahli waris menyelesaikan perkaranya di luar pengadilan agama yang menggunakan hukum Islam. Lagi pula, ini bukan RUU pertama yang mentransformasikan hukum agama menjadi hukum nasional. Di dalam UU Perkawinan 1974, jelas kalau perkawinan yang diatur undang-undang itu dilaksanakan menurut agama. "Contohnya, nikah, talak, rujuk itu berasal dari hukum agama. Tapi karena sudah dimasukkan di dalam UU negara, maka menjadi hukum negara," kata Profesor Oemar Senoadji, bekas Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung, dalam dengar pendapat dengan F-PDI Senin pekan ini. Seperti dijelaskan Menteri Agama Munawir Sjadzali, pengadilan agama telah tumbuh dan berkembang atas kehendak bangsa Indonesia sendiri, jauh sebelum Belanda menginjakkan kaki di Indonesia. Tapi karena politik kolonial Belanda -- antara lain menempatkan hukum adat lebih dominan dari hukum Islam nasib peradilan agama di sini kembang kempis. Yang jelas, sampai Indonesia merdeka, pengadilan agama terdapat di Jawa dan Madura, kemudian ada pula Kerapatan Qadhi di Kalimantan Selatan, yang berperan sebagai pengadilan agama. Pada 1957, pemerintah membentuk Mahkamah Syariah, sebagai pengadilan agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan. Nama yang berbeda-beda itu, pada 1980, melalui SK Menteri Agama, disatukan menjadi pengadilan agama. Nah, RUU ini semacam memperkukuh apa yang sudah ada itu. Sikap F-KP? "Nanti Anda dengar saja dalam pemandangan umum fraksi di DPR," kata Wahono, Ketua Umum Golkar. Sebuah tim untuk membahasnya telah terbentuk, dipimpin A. Moestahid Astari, Wakil Sekretaris F-KP. Soalnya, sikap F-KP sendiri harus sudah bulat dalam pertemuan tertutup F-KP dengan Menteri Agama, yang direncanakan Jumat pekan ini. Amran Nasution, Ahmad Thaha, Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini