Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Matinya Kepakaran dalam Penegakan Hukum Pidana

Penegak hukum perlu mengacu pada asas transitoir dalam menangani berbagai kasus pidana. Banyak regulasi yang diperbarui.

29 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASCA-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang membatalkan pasal berita bohong, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan hasil putusan tersebut tidak berlaku surut. Pandangan tersebut menggambarkan bagaimana sikap kepolisian yang tidak akan memberlakukan putusan MK pada kasus-kasus yang sudah terjadi dan tengah diproses.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sikap Polri senada dengan Kejaksaan yang, dalam kasus Daniel Frits Maurits Tangkilisan, mengabaikan perubahan terhadap pasal yang dikenakan terhadap aktivis lingkungan asal Karimunjawa itu. Sebelumnya, Daniel didakwa menggunakan Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian dan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama menurut UU ITE 2008 perubahannya. 

Di tengah-tengah proses peradilan terhadap Daniel, kedua pasal tersebut diubah dengan rumusan yang sama sekali berbeda. Dalam kasus ini majelis hakim mengabaikan kekeliruan yang dilakukan oleh jaksa dalam dakwaan yang dibacakan beberapa waktu setelah pasal-pasal tersebut diubah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak hanya itu, pejuang lingkungan Pakel, Banyuwangi, juga tengah menjalani putusan pidana setelah dinyatakan bersalah melanggar Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 yang sudah dibatalkan MK. Melalui pembatalan pasal-pasal karet tersebut, semestinya para terpidana yang sedang menjalani putusannya berpeluang besar dibebaskan. 

Sayangnya, sikap aparat penegak hukum menunjukkan ketidakpahaman soal situasi ini. Padahal perubahan peraturan perundang-undangan yang terjadi ketika suatu kasus tengah diperiksa di pengadilan merupakan situasi di mana asas legalitas menemukan batasan-batasannya. Disiplin ilmu hukum pidana telah jauh-jauh hari memperdebatkan dan menghasilkan suatu asas yang dinamai asas transitoir. 

Asas Transitoir dan Pembatasan Asas Legalitas

Moneat lex, pisuquam feriat. Adagium dari Francis Bacon ini secara sederhana menggambarkan bahwa undang-undang mesti lebih dulu memberi peringatan sebelum merealisasi ancaman yang diatur di dalamya. Di Indonesia, adagium ini tecermin dalam asas legalitas yang pada intinya mengharuskan bahwa suatu delik pidana haruslah lebih dulu diatur dalam aturan undang-undang. Sebagai konsekuensinya, asas legalitas melarang suatu undang-undang pidana berlaku surut (non-retroaktif). 

Jika perkuliahan pidana sampai di situ saja, apa yang dilakukan  aparat penegak hukum dalam beberapa kasus di atas adalah langkah yang tampaknya tepat. Namun larangan berlaku surut dibatasi oleh asas transitoir atau juga lex favor reo manakala terjadi perubahan aturan undang-undang.

Manakala perubahan peraturan perundan-gundangan ini terjadi pasca-perbuatan terjadi, yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku. Asas mendasar ini mengharuskan terdakwa dikenai ketentuan yang paling ringan ketika delik yang dikenakan kepadanya diubah saat proses penegakan hukum berlangsung. Artinya, asas ini akan memberikan efek retroaktif terhadap terdakwa.

Perubahan peraturan perundang-undangan dalam asas transitoir dapat berarti undang-undang pidana saja (ajaran formil), undang-undang pidana serta di luarnya (materiil terbatas), bahkan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang serta keadaan karena waktu (materiil tidak terbatas). 

Dalam kasus Karimunjawa, perubahan terhadap Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE terjadi saat proses peradilan tingkat pertama berlangsung. Sementara itu, dalam konteks Pakel, Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1/1946 dicabut saat upaya hukum banding lalu kasasi dilakukan. Keduanya adalah perubahan yang terjadi dalam konteks undang-undang pidana.

Lantas apakah perubahan kedua undang-undang tersebut lebih meringankan para pelaku? Jika membandingkan pasal ujaran kebencian, pasal pencemaran nama UU ITE versi lama, perubahan terbaru menyiratkan adanya ketentuan yang lebih meringankan dalam konteks rumusan atau kualifikasi perbuatan serta ancaman pidana. 

Sementara itu, dalam konteks pasal berita bohong, pencabutan tersebut jelas meringankan para pelaku karena, dalam kata lain, apa yang dilakukan warga Pakel tidak lagi merupakan perbuatan pidana. 

Vos dan Jonkers sama-sama bersepakat bahwa maksud yang lebih meringankan dalam konteks asas transitoir adalah ketentuan yang memuat kaidah pidana serta ketentuan mengenai dapat dituntut-tidaknya si pelaku (Hiariej, 2014). 

Jelas bahwa hal ini berbeda dengan anasir yang dikembangkan Polri ataupun yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jepara dalam kasus Karimunjawa, termasuk yang menjadi sikap Pengadilan Tinggi Surabaya dalam kasus Pakel. 

Dengan demikian, tidaklah tepat menggunakan kembali pasal yang sudah diubah dengan alasan bahwa ketentuan terbaru tidak berlaku surut. Selama terdapat perubahan legislasi, hukum yang baru lebih menguntungkan, belum berkekuatan hukum tetap, atau pelaksanaan putusan belum selesai dilaksanakan, asas ini mutlak diperlukan. 

Membebaskan Karimunjawa dan Pakel

Kriminalisasi terhadap aktivis Karimunjawa dan Pakel terjadi ketika asas transitoir dapat dilaksanakan. Melihat skema penggunaan asas transitori di atas, dapat disimpulkan bahwa pada kasus Karimunjawa, jaksa keliru menerapkan pasal pidana terhadap kasus Daniel Frits Tangkilisan.

Karena itu, yang berlaku terhadap kasus ini semestinya UU Nomor 1 Tahun 2024 sebagai perubahan dari UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai hukum yang lebih meringankan, baik dalam kualifikasi perbuatan maupun ancaman pidananya. Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, bahwa dalam perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan terjadi, digunakan undang-undang yang baru kecuali undang-undang lama lebih menguntungkan. Jadi, semestinya dakwaan gugur demi hukum sejak awal (lex favor reo).

Sementara itu, dalam kasus lain, pengadilan kasasi juga semestinya menilai kembali vonis yang diberikan kepada Mulyadi, Suwarno, dan Untung dalam kasus Pakel menggunakan lex favor reo. Jika saja warga Pakel kalah dalam kasasi, asas transitoir juga akan dan masih memperoleh tempatnya.

Dalam kongres hukum pidana dan penjara di Berlin pada 1935, dampak perubahan peraturan perundang-undangan terhadap putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap mencuat dan diperdebatkan. Bagi Pompe, misalnya, hal ini hanya mungkin diterapkan melalui upaya hukum luar biasa.

Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat digunakan sebagai “novum”, sebuah unsur baru dbanding kondisi saat persidangan tengah berlangsung, guna dijadikan dasar peninjauan kembali. Dekriminalisasi terhadap berita bohong yang menyebabkan keonaran tersebut menyiratkan adanya perubahan keyakinan hukum karena pasal ini dianggap bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi relevan dengan situasi kekinian. 

Secara lebih jelas, KUHP baru mengaturnya dalam Pasal 3 ayat 7, yang memberi keringann kepada terpidana jika perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru. 

Pasal ini menghendaki bahwa pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru. Dalam pasal ini, tecermin bahwa, jika konteks lebih meringankan berkaitan dengan ancaman pidananya, ia akan mengikuti ancaman terbaru. 

Dengan demikian, sangatlah penting kembali menggali asas ini dalam proses penegakan hukum, apalagi aparat sedang berada di tengah beberapa kali upaya pembaruan hukum pidana. Asas transitoir bahkan dibahas serta didiskusikan mahasiswa hukum semester awal sehingga langkah sembrono mengangkangi asas ini akan benar-benar merusak praktik dan pendidikan ilmu hukum pidana di Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Parasurama Pamungkas

Parasurama Pamungkas

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus