Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Asbun

Pemakaian istilah, kata dan akronim bahasa indonesia sudah tampak berlebihan sedangkan penguasaan masalah sangat lemah. karenanya tidak jarang pidato dan ceramah hanya dimengerti sendiri.

31 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAS Asbun memang jempolan. Bukan hanya dia bisa omong apa saja. Tetapi, semua yang diomongkan mesti benarnya. Sekurang-kurangnya menurut Mas Asbun sendiri. Bahkan, makin lama omongannya makin hebat. Banyak istilah baru yang ia ciptakan. Sejumlah kata ia rangkaikan. Singkatan kata-kata ia bakukan. Akronim yang indah pun banyak Mas Asbun temukan. Seolah dunia menjadi terang benderang setelah diungkap dengan penjelasannya. Seolah semua masalah menjadi gamblang dengan pidato dan ceramahnya. "Begini. Kita semua ini harus saling menggalang interaksi positif, efisien, dan efektif. Semua masalah akan bisa diselesaikan asal kita bersikap mental holistik dan akomodatif. Semangat gotong-royong harus kita tumbuh kembangkan dan kita tegak dirikan untuk menjamin kelangsung lanjutan perjuangan dan kejuangan masyarakat yang manunggal bersatu," Mas Asbun pun membuka dengan cantik pidatonya. Senyumnya manis. Tangannya melambai. Pandangannya melayang ke kanan, ke kiri. "Mas Asbun. Apakah tantangan utama masyarakat kita saat ini?" Tiba-tiba Dik Asom bertanya. Ia seolah menatap harapan dari wajah Mas Asbun yang cerah. "Tantangan utama? Ada di segala bidang. Ada masalah sosial kulturil. Ada masalah yuridis formil. Soal infrastruktur maupun suprastruktur. Sarana dan prasarana. Deregulasi dan debirokratisasi. Institusionalisasi dan restrukturisasi," jawab Mas Asbun dengan lancar, di luar kepala. "Tetapi, kenapa sekarang soal asinan banyak dibicarakan orang?" Tiba-tiba Dik Asom mengejar dengan pertanyaan naif. "Itulah gunanya kita selalu memantapkan kewaspadaan. Mereka yang tidak mau mengerti soal asinan adalah ibarat kutu loncat, hama wereng, dan hama sundep dalam percaturan ipoleksosbudhankamnas kita. Asinan adalah masalah mahapenting yang bersangkut paut dengan hajat hidup rakyat banyak. Asin garamnya, kecut cukanya, maupun aneka rasa buahnya adalah keanekaragaman pangan yang harus kita masyarakatkan, kita budi dayakan dan kita sebar luaskan di segala tataran budaya bangsa. Menurut buku Ravi Bastra yang akan terbit, kejutan kelima dunia adalah ledakan asinan yang akan membanjiri pasaran dunia! Itulah ekspor nonmigas yang akan sulit disaingi oleh produk-produk Barat. Karena unik, eksotik, dan esoteris dampak mental spirituilnya." Pers sangat menyukai temuan istilah baru Mas Asbun. Wartawan sangat senang mengerumuni keterangan persnya. Khalayak menyenangi ceramah dan pengarahannya. Masyarakat dan bangsa kita sangat membutuhkan kehadirannya. Terbukti dari serba peran yang Mas Asbun bisa mainkan. "Asinan ini berkaitan dengan wawasan identitas dalam kerangka persatuan, kesatuan, dan kebhinekaan masyarakat kita. Tiap masyarakat mempunyai keunikan faktor-faktor demografi, geografi, etnografi, dan monografi. Oleh karena itu, setiap masyarakat harus pandai mensosialisasikan nilai dan kekayaan sosial budaya khas yang dimiliki. Untuk itu, diperlukan partisipasi aktif semua pihak yang terkait. Keterkaitan bukan monopoli upaya menyambungrasakan nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat kita dalam soal asinan ini. Juga dalam rangka memasyarakatkan garam dan cuka, sekaligus ramuan asinan itu memberikan nilai tambah pada buah-buahan khas produksi tanah air kita yang tercinta." Urusan asinan ternyata berkembang demikian rupa hingga menjadi sangat memusingkan kepala Dik Asom. Ia tidak mengira, perkara sesederhana buah mentah yang digarami, dikasih sedikit gula dan direndam cuka, bisa berkembang menjadi begitu gegap-gempita. Bukan hanya keelokan alunan suara Mas Asbun yang membikin terheran-heran Dik Asom. Bahkan, semua penjelasan itu merangsang bakat paranoidnya. Setelah terpana mendengar pengarahan Mas Asbun, Dik Asom pun merenung. Ia mendambakan lebih dari sekadar seorang asbun. Bila ada satu dua lagi, niscaya bereslah segala urusan yang meruwetkan teman-temannya selama ini. Tiba-tiba timbul gagasan orisinil dari Dik Asom. Kenapa tidak mengajukan permohonan untuk itu kepada Tuhan. Tuhan? Karena Asbun dengan bakat dan pembawaan yang begitu mulia tidak bisa diciptakan oleh manusia. Hanya Tuhan yang bisa. Maka, di samping berdoa, Dik Asom pun menulis surat resmi kepada Tuhan. "Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, yang saya cintai. Tolonglah teman-teman kami, pedagang asinan, dari cobaan-Mu yang kami berat menanggungnya. Kami perlu hidup, dan memberi makna pada hidup ini. Karena itu, saya perlu bekerja. Agar makna itu sesuai dengan fitrah dan petunjuk-Mu. Di samping lapangan kerja yang halal dan perlindungan, hiburlah kami dengan omongan yang menyejukkan, menggamblangkan, dan mencerahkan wawasan kami. Ya Tuhan, telah Kamu tugasi seorang dari pada umat-Mu yang dengan baik melaksanakan tugas itu. Karena itu, berilah kami barang satu atau dua orang lagi. Hormat kami, Asom." Surat itu pun segera dialamati dan diposkan. Tatkala Pak Pos membacanya, ia pun ketakutan. Seraya gemetaran, hatinya bulat menyimpulkan. Surat ini pasti bukan main-main. Karena itu, harus diteruskan kepada pihak yang berwenang, di bidang... asinan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus