Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga beras kembali naik selama Juli-Agustus 2023.
Bantuan pangan berupa beras hanya berhasil mengerem harga selama tiga bulan.
Kenaikan harga pangan akan mendorong inflasi dan menambah jumlah penduduk miskin.
Khudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan dan penulis buku Ironi Negeri Beras
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga beras relatif jinak sepanjang April-Juni 2023. Sebab, pemerintah mengucurkan bantuan pangan berupa beras kepada 21,3 juta rumah tangga. Setiap keluarga mendapat 10 kilogram beras selama tiga bulan berturut-turut. Selama periode itu, harga beras memang naik, tapi tipis. Bahkan, pada Juni lalu, beras menjadi penyumbang deflasi. Setelah program bantuan selesai, harga beras kembali "mendidih" selama Juli-Agustus 2023. Untuk mengerem kenaikan harga, bantuan beras periode kedua dikucurkan selama September-November. Pelaksanaan program ini maju dari rencana semula pada Oktober. Kenaikan harga beras akan menyumbang inflasi dan menaikkan angka kemiskinan.
Pada bulan pertama, pengucuran bantuan belum terasa dampaknya. Pada September 2023, Badan Pusat Statistik mencatat harga rata-rata beras secara nasional di penggilingan sebesar Rp 12.708 per kilogram, grosir Rp 13.037 per kilogram, dan eceran Rp 13.799 per kilogram. Kenaikan harga beras tertinggi terjadi di penggilingan, yakni sebesar 10,33 persen secara bulanan dan 27,43 persen secara tahunan. Adapun di tingkat konsumen, harga beras naik 5,61 persen secara bulanan dan 18,44 persen secara tahunan. Di tingkat grosir, harga beras naik 6,29 persen secara bulanan dan 21,02 persen secara tahunan.
Kenaikan harga itu membuat beras menjadi penyumbang utama inflasi September 2023 sebesar 0,19 persen secara bulanan dan 2,28 persen secara tahunan. Andil beras terhadap inflasi bulanan dan tahunan itu masing-masing 0,18 persen dan 0,55 persen. Hal ini mengerek andil beras terhadap inflasi sebanyak 5,61 persen secara bulanan dan 18,44 persen secara tahunan. Ini andil inflasi beras tertinggi sejak 2014. Hal ini menandakan babak baru kembalinya beras sebagai biang inflasi. Pada 2020-2021, beras lebih sering jadi penyumbang deflasi ketimbang inflasi. Sejak Agustus 2022, beras kembali ke posisi semula: lebih sering menjadi penyebab inflasi.
Perubahan ini mesti jadi perhatian serius otoritas pengendali inflasi. Boleh jadi target inflasi 2-4 persen tahun ini tercapai. Tapi di balik capaian itu ada sejumlah catatan penting. Diakui atau tidak, sampai saat ini instabilitas harga pangan masih jadi pekerjaan rumah pemerintah yang jauh dari selesai. Instabilitas itu tecermin dari inflasi. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang relatif berhasil menjinakkan inflasi. Inflasi bisa ditekan di bawah satu digit. Inflasi rendah disumbang oleh terkendalinya kelompok harga-harga yang diatur pemerintah (administered price) dan inflasi inti. Namun inflasi yang disumbang oleh sektor pangan (volatile food) masih menjadi masalah besar.
Catatan panjang dari 2014 hingga 2022 menunjukkan bahwa inflasi nasional terbentang antara 1,3 persen dan 8,36 persen. Dalam sembilan tahun itu, sumbangan inflasi pangan (bahan makanan, makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau) rata-rata mencapai 46,8 persen per tahun. Andil inflasi pangan terendah dalam inflasi nasional terjadi pada 2017 sebesar 26 persen dari inflasi 3,61 persen. Andil inflasi pangan tertinggi terjadi pada 2016 sebesar 70,1 persen dari inflasi nasional 3,01 persen. Ada 11 komoditas penyumbang inflasi pangan, yakni ikan segar (menyumbang inflasi delapan kali dalam sembilan tahun); mi (tujuh kali); daging ayam ras dan beras (enam kali); bawang merah dan telur ayam ras (lima kali); cabai merah, cabai rawit, dan minyak goreng (empat kali); bawang putih dan gula pasir (dua kali); serta daging sapi (satu kali).
Inflasi pangan yang tinggi menjadi mimpi buruk bagi masyarakat miskin. Di satu sisi, naiknya inflasi didorong oleh kenaikan harga pangan. Di sisi lain, kemampuan memenuhi kebutuhan pangan menjadi indikator utama penentu garis kemiskinan. Ujung-ujungnya, kenaikan laju inflasi akan menyundul batas garis kemiskinan. Implikasinya, inflasi yang tinggi, terutama yang didorong oleh inflasi pangan, tidak hanya membuat masyarakat di bawah garis kemiskinan semakin miskin. Masyarakat yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan pun akan turun kelas, dari tidak miskin menjadi golongan miskin.
Stabilitas harga pangan menjadi kebutuhan mutlak agar akses pangan masyarakat, terutama yang miskin, tetap terjaga. Naik-turunnya harga pangan akan berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin. Ketika harga pangan naik tinggi, terutama beras, daya beli masyarakat miskin bakal terganggu. Dari komoditas penyumbang garis kemiskinan makanan, posisi beras masih superior. Beras menyedot belanja masyarakat miskin sebesar 19,35 persen di perkotaan dan 23,73 persen di perdesaan. Kala harga beras naik tinggi, hampir pasti kemiskinan akan naik juga. Mereka yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan atau 40 persen penghasilan terbawah bisa mendadak menjadi orang miskin baru.
Inflasi karena pangan sejatinya bisa dikelola agar tak bergerak liar bagai roller coaster. Pertama, pemerintah memastikan ketersediaan komoditas pangan yang menjadi biang inflasi. Untuk pangan yang sepenuhnya dipenuhi dari produksi domestik, ini tanggung jawab Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dua kementerian ini mesti memastikan kecukupan pangan. Adapun untuk pangan yang sebagian atau sepenuhnya dari impor, seperti gandum, harus ada pengaturan impor agar terjadi kesesuaian antara produksi domestik dan permintaan dalam negeri, seperti kapan izin itu keluar dan berapa kuotanya. Mempertemukan pasokan dan permintaan menjadi titik krusial. Kementerian Perdagangan sebagai pengatur impor harus berkoordinasi dengan kementerian teknis.
Kedua, pemerintah memastikan komoditas pangan, terutama yang partisipasi konsumsinya hampir sempurna alias 100 persen, tersedia merata di seluruh wilayah Indonesia dengan harga terjangkau. Produksi beras, misalnya, masih terpusat di Jawa. Pulau yang hanya 7 persen dari luas Indonesia ini menyumbang 55-56 persen produksi beras nasional. Selain itu, hanya 5-8 dari 12 bulan dalam setahun terjadi surplus beras. Sisanya, selama 4-9 bulan, produksi beras mengalami defisit. Ini menuntut adanya manajemen distribusi dan pengelolaan stok yang andal di seluruh pelosok negeri. Badan usaha milik negara (BUMN) di bidang pangan, seperti Badan Urusan Logistik dan ID Food, bisa ditugasi sebagai operator.
Ketiga, pemerintah mengatur harga komoditas pangan strategis. Dibanding negara lain, Indonesia tergolong tertinggal dalam pengaturan pangan, terutama pengendalian harga. Saat negara lain ketat mengatur dan mengendalikan harga pangan, Indonesia cenderung menyerahkannya ke pasar. Hampir semua harga bahan pangan, kecuali beras, gula, dan minyak goreng, diserahkan ke mekanisme pasar. Ini tak salah bila infrastruktur distribusi sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal terhadap guncangan pasar. Yang penting, harga itu sudah mempertemukan kepentingan produsen dan konsumen.
Keempat, pemerintah segera mengeksekusi cadangan komoditas pangan strategis. Sudah ada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Cadangan Pangan Pemerintah untuk 11 komoditas. Tapi eksekusinya masih lambat. Cadangan ini akan menjadi instrumen intervensi ketika terjadi kegagalan mekanisme pasar. Ketika harga pangan naik jauh di atas toleransi harga yang diatur, pemerintah bisa menugaskan operasi pasar kepada BUMN operator. Pemerintah juga bisa menugasi BUMN operator menyerap produksi domestik sebagai cadangan. Untuk pangan yang sebagian atau sepenuhnya diimpor, BUMN operator bisa ditugasi untuk mengimpornya. Yang penting, volume impor harus dihitung cermat, termasuk ihwal kedatangannya, dan tidak mematikan pihak swasta.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo