Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUBAHAN makna kata adalah keniscayaan. Makna dapat bergeser, berkurang, atau bertambah seturut kebutuhan pengguna bahasa. Kita dapat melihat contoh pada kata sunting. Pada awalnya sunting bermakna “perhiasan”, “berang-berang”, dan “mengarahkan kapal”, lalu dipadankan untuk “edit” dan kini tampaknya tinggal makna terakhir yang lazim digunakan. Untuk makna terakhir, ada yang menganggap sunting akronim dari susun dan gunting. Wajar saja karena ketika sunting diperkenalkan sebagai istilah, praktiknya sangat lazim dalam pertelevisian dan film. Melalui sidang Mabbim pada 1974, sunting dan bentuk turunannya disepakati sebagai padanan edit dan bentuk turunannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Maleisch en Nederduitsch Woordenboek (1856), Roorda mencatat sunting sebagai “bunga, yang diletakkan di rambut atau di belakang telinga”. Maknanya bertambah dalam Nieuw Maleisch-Nederlandsch Zakwoordenboek (1892): “apa yang diletakkan di belakang telinga atau di rambut, seperti bunga, pena, jarum rambut, dan mengarahkan perahu ke kanan atau kiri arah kompas”.
Korpus mencatat penggunaan sunting. Bagej-Bagej Tjeritera (1839) mencatat: “perampoewan moeda bernama Retna Kendi berdjalan-djalan di kebon akan petik kembang malati karna ija maoe kerdja soenting”. Dalam Kitab Boenga Rampai (1890), Klinkert menyitat: “ada jang mengambil boenga-boengaan, diperboewat soenting”. De Geschiedenis van Prinses Balkis (1879) menulis: “Banjaklah dara mehantar boenga, beladjar poela mengarang soenting”.
Penulis Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007) mengartikan sunting pada Soenting Melajoe sebagai “perempuan”. Mungkin kekeliruan tersebut terjadi karena adanya maklumat “soerat chabar perempoean di Minangkabau” pada koran itu. Meskipun bukan dalam arti “edit”, koran yang terbit pada 1912 itu tampaknya korpus pertama yang menyandingkan kata sunting dan surat kabar.
Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954) sudah mencatat kata menyuntingkan dengan arti “mentjantumkan kata pendahuluan (dl buku dsb.)”. Jadi, setidaknya pada 1950-an, sunting dalam konteks karya tulis sudah digunakan. Sayangnya, saya belum berhasil menemukan awal penggunaan sunting untuk “edit” dalam korpus Indonesia.
Makna menyunting berkaitan dengan makna menyunting bunga untuk hiasan. Menyunting bunga untuk hiasan menjadi analogi menyunting naskah agar naskah berhias dan “indah” seperti fenomena yang dicatat Medan Bahasa (1955) bahwa banyak penulis “belum merasa puas kalau bahasa Indonesia itu tidak diberi sunting hiasan dengan bahasa Arab”.
Kita memiliki sejarah panjang penerbitan koran. Istilah yang lazim untuk pengelola koran adalah redacteur atau hoofdredacteur, bukan editor. Harus diakui percetakan dan penerbitan sebagai industri berkembang di semenanjung Malaka. Dalam The Vernacular Press in the Straits (1878) termuat kiprah percetakan sekaligus penerbit koran Jawi Peranakan dari 1876. Koran itu memperkenalkan istilah baru dari bahasa Arab, yaitu mualif untuk editor, mutaliah untuk subscriber, dan ahlan untuk notice.
Istilah mualif meluas, misalnya “suntingan mualif” muncul dalam Majlis (1935). Selanjutnya kata sunting digunakan dalam arti “edit” sekaligus “tulis/karang”. Sebagai contoh, kalimat “jika ada di sana (akhbar bangsa asing) bahwa pikiran yang berharga2 dapatlah tuan terjemahkan dan sunting di mana2 ruangan akhbar Melayu” muncul dalam Saudara (1936).
Kata penyunting juga berarti “editor” sekaligus “penulis/pengarang”, misalnya “tuan penyunting” (Majallah Guru, 1934; Saudara, 1935), “penyunting”, “pengarang (editor)”, “penyunting halaman Sahabat Pena”, dan “penyunting halaman kanak2” (Saudara, 1937). Selanjutnya muncul juga kata suntingkan dan tersunting dengan arti “tuliskan”/ “terbitkan” dan “terbit”/ “diterbitkan”, misalnya “seperti perkataan yang kita suntingkan” (Majallah Guru, 1932), “yang tersunting adanya” (Saudara, 1935), “tersunting” (Saudara, 1931; Al-Imam 1907, Majallah Guru, 1932), “tersunting di dalamnya pada tiap-tiap kali terbitnya” (Saudara, 1935).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo