Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buruh memprotes peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang mengubah aturan pencairan Jaminan Hari Tua.
Pemerintah beralasan Jaminan Hari Tua sebelumnya menyalahi filosofi dan tak sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Belum ada kejelasan skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan untuk buruh yang kehilangan pekerjaan.
UNJUK RASA buruh memprotes Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang perubahan aturan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan alarm untuk pemerintah dalam mengelola dana publik. Presiden Joko Widodo perlu segera merespons tuntutan buruh agar eskalasi keresahan kaum pekerja tak terus meningkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan utama protes buruh adalah peraturan baru pemerintah yang membatasi pencairan Jaminan Hari Tua di usia pensiun 56 tahun. Regulasi ini sebenarnya mengembalikan mekanisme pengelolaan jaminan hari tua sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-undang itu memang hanya memperbolehkan pencairan sampai 30 persen setelah buruh membayar iuran selama minimal 10 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah beralasan perubahan dimungkinkan karena ada Undang-Undang Cipta Kerja yang melahirkan skema baru: Jaminan Kehilangan Pekerjaan untuk buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Apalagi peraturan Menteri Ketenagakerjaan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015, yang membolehkan pencairan Jaminan Hari Tua dengan skema yang amat longgar, sebenarnya melanggar Undang-Undang SJSN.
Pertentangan berbagai aturan ini tentu perlu diluruskan. Namun masalahnya, meski sudah ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang berlaku per Februari 2022, buruh baru bisa menggunakan hak ini setelah membayar iuran enam bulan berturut-turut. Jumlahnya yang hanya 45 persen dari nilai upah selama tiga bulan pertama, lalu turun menjadi 25 persen di tiga bulan berikutnya, juga belum tentu bisa menutup kebutuhan hidup buruh yang kehilangan pekerjaan. Intinya, dibutuhkan skema lain untuk memastikan buruh tak dirugikan.
Salah satu cara memecahkan perdebatan soal pertentangan aturan ini adalah mengangkat level regulasi soal jaminan hidup para buruh. Urusan sistem jaminan sosial nasional memang seharusnya diatur langsung melalui peraturan pemerintah yang diteken presiden. Apalagi ini menyangkut hajat hidup jutaan buruh dan melibatkan lintas kementerian dan lembaga. Presiden Joko Widodo tak sepantasnya mendelegasikan masalah jaminan sosial ini pada level kementerian semata.
Dana ratusan triliun rupiah yang dikumpulkan dari iuran buruh dan potongan gaji mereka punya peran amat penting untuk menjadi sumber dana berbagai program pembangunan. Saat ini Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek menginvestasikan sebagian besar dana buruh di Surat Berharga Negara dan berbagai surat berharga yang diterbitkan pemerintah. Kalau dikelola dengan tepat, model jaminan sosial ini seharusnya tak hanya bisa menjamin kesejahteraan buruh, tapi juga dapat menjadi alternatif pendanaan jangka panjang untuk berbagai proyek strategis nasional.
Masalahnya, pemerintah kerap kali membelanjakan dana publik ini untuk berbagai program yang tak jelas manfaatnya buat kepentingan khalayak ramai. Kontroversi seputar belanja berbagai peralatan militer supermahal sampai rencana pemindahan ibu kota, misalnya, salah satunya bermula dari ketidakrelaan publik ketika dana yang dikumpulkan dari pajak dan iuran jaminan sosial mereka digunakan serampangan. Apalagi pemerintah tak pernah memakai dana jaminan sosial untuk proyek yang secara langsung membantu buruh, seperti penyediaan rumah murah dan sejenisnya.
Sejatinya itulah esensi dari perdebatan publik seputar aturan Jaminan Hari Tua. Buruh, sebagai pemilik dana tersebut, merasa tak dilibatkan dalam pembahasan perubahan mendasar semacam ini. Kementerian Ketenagakerjaan memang mengklaim sudah melibatkan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional dalam sebuah pertemuan pada November 2021. Namun perwakilan buruh yang hadir dalam pertemuan tersebut membantah. Kehadiran dan masukan mereka dalam pertemuan itu bukanlah persetujuan.
Keberhasilan sebuah sistem jaminan sosial amat terkait dengan tingkat kepercayaan publik pada pengelolaannya. Jika pengelolaan triliunan rupiah dana jaminan sosial di negeri ini masih belum transparan dan tak tepat sasaran, jangan kaget jika protes dan ketakpuasan bakal selalu merebak. Apalagi jika perspektif para pengurus BP Jamsostek dan pemerintah cenderung mengabaikan fakta bahwa pemilik dana jaminan sosial itu sejatinya tetap para buruh dan pengusaha yang membayar iuran. Penggunaan dana jaminan sosial untuk membiayai berbagai proyek mercusuar yang tak jelas manfaatnya buat buruh sendiri hanya menambah ketidakpercayaan khalayak ramai.
Kisruh pengaturan dana JHT ini hanya bisa dipecahkan jika pemerintah melakukan introspeksi. Kembalikan esensi jaminan sosial sebagai mekanisme untuk menjamin kesejahteraan buruh, bukan mengimpit mereka yang sudah terjepit. Transparansi dan kehati-hatian dalam memilih instrumen investasi dana jaminan sosial harus menjadi prioritas. Ketika kondisi ekonomi nasional belum pulih dan kesejahteraan buruh belum ideal, pemerintah seharusnya tak mempersulit keadaan dengan pembatasan layanan yang menjadi hak para pekerja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo