Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cara mencegah hoaks seputar Covid-19 adalah transparansi.
Pemerintah tak perlu gamang menangani KIPI.
Perlu aturan jelas agar masyarakat percaya vaksinasi lebih bermanfaat ketimbang bahayanya.
VAKSINASI yang cepat dan merata merupakan kunci penting pengendalian pandemi Covid-19. Pengalaman sejumlah negara, termasuk Indonesia, menunjukkan makin banyak orang divaksin, makin sedikit orang mati akibat virus corona. Vaksinasi juga terbukti cespleng mencegah meluasnya infeksi varian baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberhasilan program vaksinasi tak cukup hanya mengandalkan jaminan kemanjuran dan ketersediaan vaksin. Pemerintah juga harus meningkatkan kepercayaan masyarakat dengan bersikap transparan terhadap efek samping vaksinasi. Selain merupakan hak publik, informasi yang terbuka bisa menangkal berita bohong atau hoaks. Sejauh ini, pemerintah terkesan mengabaikan ihwal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersikap tidak transparan apalagi menutup-nutupi efek samping vaksinasi dapat menjadi amunisi bagi kelompok antivaksin. Selama ini, mereka memakai keluhan serius dan kasus kematian sebagai alasan penolakan. Kementerian Kesehatan dan Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang tidak trengginas menjelaskan kasus-kasus tersebut membuat sebagian masyarakat terpengaruh kampanye antivaksin. Suburnya hoaks di media sosial membuat sebagian masyarakat bingung. Di sejumlah daerah, tingkat vaksinasi juga masih rendah.
Program vaksinasi dimulai pada Januari lalu. Untuk membentuk kekebalan komunal, pemerintah menargetkan 70 persen penduduk Indonesia mendapatkan vaksin dosis lengkap pada akhir tahun ini. Sampai 21 September lalu, Kementerian Kesehatan mengklaim 45,8 juta orang sudah menerima suntikan dosis kedua vaksin Covid-19 atau 22 persen dari target. Saat ini Indonesia termasuk negara dengan vaksinasi dosis pertama yang telah melebihi 100 juta suntikan.
Sayangnya, vaksinasi belum merata di seluruh Republik: Jawa, Bali, dan Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan cakupan vaksinasi tertinggi. Di Lampung dan Sumatera Barat, vaksinasi masih rendah—bahkan rasio dosis pertama belum mencapai 20 persen.
Salah satu penyebab timpangnya laju vaksinasi adalah adanya anggota masyarakat yang tidak mau divaksin. Menurut Kementerian Kesehatan, mereka umumnya takut efek samping vaksinasi—sakit atau bahkan meninggal. Komnas KIPI, yang dibentuk Kementerian Kesehatan pada 2017, perlu bekerja lebih keras dalam meningkatkan kepercayaan publik terhadap program vaksinasi.
Apa yang terjadi pada Trio Fauqi Virdaus hendaknya menjadi pelajaran. Pria 22 tahun warga Duren Sawit, Jakarta Timur, itu meninggal pada 6 Mei lalu—sehari setelah menerima suntikan vaksin AstraZeneca. Patut disayangkan Komnas KIPI baru menggelar autopsi 18 hari setelah jenazah Trio dikubur. Hasil autopsi menemukan, semasa hidup, Trio tidak memiliki komorbid. Petugas tidak dapat menjelaskan sebab kematian almarhum. Hasil autopsi baru disampaikan kepada keluarga 82 hari setelah jenazah Trio diperiksa—molor dari dua minggu waktu yang dijanjikan. Penanganan yang centang perenang ini membuat keluarga kecewa: pemerintah dianggap gagap menangani pasien efek samping.
Belum ada vaksin yang sepenuhnya aman dari risiko. Karena itu, keluhan medis setelah penyuntikan vaksin merupakan hal yang wajar. Meski sakit atau kematian yang menimpa seseorang belum tentu disebabkan oleh vaksin Covid-19, pemerintah harus memberikan perhatian dengan serius, cepat, dan transparan. Masyarakat harus mengetahui risiko dan cara menangani efek samping vaksinasi. Informasi yang terbuka dan benar akan menjaga kepercayaan publik.
Hingga pertengahan September 2021, menurut Kementerian Kesehatan, ada 12.848 laporan aduan efek samping vaksinasi ke sejumlah Komisi Daerah KIPI. Dari jumlah itu, 318 merupakan kejadian medis serius. Tiga daerah dengan laporan terbanyak adalah Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Patut disayangkan, sampai saat ini, masyarakat masih kesulitan mengakses detail informasi penanganan laporan-laporan itu. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), pemerintah setiap negara berkewajiban membuka data efek samping vaksinasi kepada publik. Pemerintah hendaknya tidak buru-buru menyimpulkan efek samping vaksinasi merupakan akibat komorbid atau penyakit bawaan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017, penanganan efek samping imunisasi membutuhkan deteksi dan investigasi klinis.
Karena pertaruhan vaksinasi menyangkut keselamatan hidup orang ramai, pemerintah selayaknya tak main-main. Penanganan terhadap mereka yang mendapat efek samping KIPI harus dilakukan dengan saksama. Semua informasi atas keluhan medis setelah vaksinasi harus dibuka kepada publik. Transparansi ini penting untuk meyakinkan masyarakat bahwa efek samping vaksinasi tak sebanding dengan bahaya yang mengancam bila seseorang terjangkit Covid-19.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo