Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendekatan militer dan keamanan terbukti tak menyelesaikan konflik Papua.
Menuntaskan konflik masa lalu jadi pintu pertama menyelesaikan konflik Papua.
Memahami keinginan orang Papua adalah kuncinya.
KORBAN utama konflik bersenjata di Papua adalah masyarakat sipil. Pemerintah seyogianya mengakhiri masalah berkepanjangan ini dengan menjalankan pendekatan dialog dan tidak makin banyak mengirimkan pasukan militer. Kelompok bersenjata di Papua sepatutnya juga tidak menjadikan masyarakat sebagai obyek serangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gabriella Meilani, tenaga di pusat kesehatan masyarakat Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, adalah korban mutakhir. Ia berusaha menyelamatkan diri ketika sekelompok orang bersenjata menyerang dan membakar puskesmas, pasar, sekolah, rumah, dan kantor bank. Usahanya gagal. Jenazahnya ditemukan di jurang, di tubuhnya banyak luka. Empat koleganya terluka dan seorang lainnya hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan Organisasi Papua Merdeka mengaku terlibat dalam penyerangan itu. Namun kelompok ini membantah jika disebut menyerang dan membunuh tenaga kesehatan. Penyerangan terhadap fasilitas publik dan masyarakat sipil itu tak bisa dibenarkan. Karena itu, kepolisian mesti menyelidiki tindak pidana tersebut.
Aparat keamanan semestinya juga cepat mengantisipasi serangan. Sebab, kelompok bersenjata itu sebelumnya telah menyampaikan ancaman. Mereka menyatakan akan menghancurkan semua fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah Indonesia. Sayang, penjagaan terhadap kantor dan perumahan tidak dilakukan segera.
Serangan itu menunjukkan buruknya situasi di Papua. Konflik bersenjata terus berulang. Masyarakat sipil terjepit di antara dua moncong senjata. Ketika kekerasan menjadi satu-satunya jalan kedua pihak, jatuhnya korban tidak dapat dihindari. Seperti dilaporkan Amnesty International Indonesia, situasi hak asasi manusia di wilayah Papua dan Papua Barat memburuk sepanjang 2020.
Lembaga itu mencatat, sepanjang tahun lalu terjadi setidaknya 19 pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan dengan 30 korban jiwa. Kepercayaan orang Papua kepada pemerintah makin anjlok karena aparat keamanan tidak pernah serius melakukan investigasi, apalagi menyeret pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut ke pengadilan.
Tragedi Kiwirok semestinya menunjukkan bahwa pendekatan keamanan oleh pemerintah Indonesia gagal menyelesaikan konflik Papua. Pengerahan tentara dan polisi terbukti tidak dapat mematikan kelompok bersenjata di sana. Seperti lingkaran setan, setiap kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Pemerintah harus memutus rantai kekerasan di sana agar tidak ada lagi korban akibat konflik yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad itu.
Sudah saatnya pemerintah mengedepankan pendekatan dialog untuk menuntaskan masalah Papua. Pemerintah dapat memulainya dengan menuntaskan sejumlah akar persoalan yang selama ini belum diselesaikan, seperti diskriminasi, peminggiran, rasisme, dan pelanggaran hak asasi manusia. Konflik berkepanjangan telah mengganggu pranata sosial di sana. Sekolah, fasilitas kesehatan, dan fasilitas publik lain mundur akibat aksi kekerasan yang tak kunjung usai ini. Masalah Papua bisa selesai jika pranata demokrasi—yang ditandai, antara lain, dengan penegakan hukum—bisa menjalankan fungsinya.
Tanpa upaya menuntaskan kasus masa lalu dan memahami keinginan orang Papua, pemerintah akan terus mengulang kesalahan yang sama. Pendekatan keamanan hanya akan menciptakan luka-luka baru pada masyarakat sipil.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo