Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Eksistensi badak Sumatera di habitat alami kian tergusur seiring dengan pembukaan hutan
Di era Presiden Soeharto, pemerintah berupaya menangkarkan badak Sumatera yang terancam punah karena habitatnya tergusur
Sayangnya upaya penangkaran gagal karena badak Sumatera mati akibat tidak cocok dengan habitat buatan
POPULASI badak Sumatera kian mengkhawatirkan seiring dengan pembukaan hutan yang menggusur habitat satwa langka itu. Pemerintah berupaya mencegah kepunahan hewan bernama Latin Dicerorhinus sumatrensis itu dengan berencana membangun penangkarannya di Aceh Timur, Aceh. Terakhir kali rapat tentang rencana tersebut digelar pada awal September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebetulnya, sejak era Presiden Soeharto, penangkaran badak Sumatera telah diupayakan. Namun, menurut artikel majalah Tempo edisi 1 Desember 1990 bertajuk “Rahasia Cinta Si Cula Dua”, upaya tersebut gagal. Meski begitu, pemerintah saat itu terus berupaya menangkarkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eksistensi badak Sumatera yang bercula dua memang makin terancam. Cula mereka dianggap sebagai obat yang berharga sehingga di mana pun mereka terus diburu. Di luar habitat yang asli, mereka sulit beranak-pinak. Pelbagai kebun binatang mencoba menangkarkannya. “Belum satu pun yang berhasil,” kata Linus Simanjuntak, Kepala Kebun Binatang Ragunan, Jakarta.
Perilaku seksual badak sendiri, Linus menambahkan, masih belum banyak diketahui. Walhasil, sulit membangun medan buatan yang merangsang berahi mereka. Populasi badak Sumatera kini ditaksir tinggal 600-700 ekor. Mereka berada di kerimbunan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, Bukit Barisan, Gunung Leuser, dan Taman Nasional Way Kambas.
Jenis badak ini terdapat pula di perbatasan Kalimantan Timur dan Sarawak, Malaysia. Di Ragunan saat ini ada sepasang badak. Yang jantan, Si Jalu, berasal dari hutan Torgamba, Riau, sementara yang betina, Dusun, dari hutan Sungai Dusun, Sarawak.
Pekan-pekan ini, hubungan cinta kedua satwa itu diamati dengan mengerahkan tenaga sukarela dari Sahabat Satwa, kelompok pencinta binatang. Tujuannya: mendapatkan gambaran detail mengenai bagaimana mereka kawin.
Untuk tujuan penyediaan bibit di penangkaran, Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) bekerja sama dengan American Association of Zoological Park and Aquaria (AAZPA) telah menangkap tujuh badak selama 1985-1989. Ditambah dengan penangkapan di Sarawak, jumlah badak yang ditangkarkan lewat proyek AAZPA mencapai 20-an.
Tiga badak dibawa ke Inggris, empat ke Kebun Binatang Cincinnati, Amerika Serikat, dan selebihnya ke kebun binatang lokal. “Sayang empat ekor di antaranya mati di penangkaran,” ujar Kathy Mackinnon, dari perwakilan World Wildlife Fund untuk Indonesia.
Saat upaya penangkaran itu masih belum berjalan, ada berita tak sedap: badak di Kerinci Seblat ditembak, konon oleh petugas kepolisian dan Komando Distrik Militer Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Berkat laporan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim ke Panglima Angkatan Bersenjata RI, Kepolisian Daerah Sumatera Barat dan Komando Resor Militer 032/Wirabraja cepat bertindak.
Hasilnya, Kepala Kepolisian Sektor Indrapura, Letnan Satu Rusli, bersama sepuluh anak buahnya dipanggil ke Markas Polda. Di pihak lain, Kopral Satu Zulhelmi, personel Bintara Pembina Desa Tapan, diperiksa oleh Polisi Militer ABRI setempat. Sepasukan Brigade Mobil diturunkan ke hutan untuk mencari bukti pembantaian badak itu.
Hasil pengusutan secara resmi belum diumumkan, tapi ada pelbagai spekulasi. Emil Salim, misalnya, menyebutkan tujuh badak mati oleh para oknum bersenjata itu. Sumber Tempo di Polres Pesisir Selatan bahkan menyebut angka 40 ekor, terdiri atas badak dan rusa.
Di kalangan masyarakat Pancung Soal, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa harga cula badak Rp 2-4 juta per ons dan seekor badak bisa memberikan 8-10 ons cula. Setidaknya 16 orang di Pancung Soal pun kini dicurigai sebagai penadah. Selain diduga menampung jarahan dari hutan, mereka dicurigai membiayai perburuan itu. “Sayang mereka kabur sebelum sempat dimintai keterangan,” ucap Kapolres Pesisir Selatan Letnan Kolonel Tengku Puteh Djuana.
Satuan Brimob yang turun ke hutan pun tak menemukan bangkai badak yang terkena tembakan atau jerat. Direktur Jenderal PHPA Sutisna Wartaputra ragu para pemburu itu mudah menjumpai badak di hutan. “Yang ahli saja hanya bisa menangkap tujuh ekor,” kata Sutisna.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo