Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Terpuruk karena Kontrak Lama

PLN kelebihan pasokan listrik, yang sebagian besar dibeli dari pembangkit swasta. Memperburuk kondisi keuangan.

21 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PLN mengalami surplus pasokan listrik.

  • Menjual listrik kepada masyarakat dengan harga murah, membeli dari swasta mahal.

  • Perlu renegosiasi kontrak pembelian listrik swasta.

PERSOALAN runyam yang kembali memukul PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mesti menjadi perhatian serius pemerintah. Sudah sejak dulu perusahaan setrum negara ini kepayahan, karena model bisnis awut-awutan yang mereka jalani. PLN ditugasi menyediakan listrik murah untuk masyarakat, tapi ditekan membeli listrik mahal dari swasta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan banyak sektor industri makin mendorong kejatuhan kinerja PLN. Berkurangnya kegiatan industri membuat konsumsi listrik perseroan turun drastis. Pada saat bersamaan, pasokan listrik, terutama dari pembangkit listrik swasta (independent power producer/IPP), tak pernah berhenti. Misalnya, pada 2 Juni lalu, daya pasok listrik nasional mencapai 42.871 megawatt, tapi beban puncak pemakaiannya hanya 38.081 megawatt. Walhasil, ada surplus 4.790 megawatt yang tidak terpakai, tapi PLN harus tetap membayar ke pemasoknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLN terikat perjanjian dengan posisi tawar rendah ketika meneken perjanjian jual-beli listrik dari pembangkit swasta. Perseroan harus menyerap pasokan listrik dalam jumlah tertentu dari pembangkit swasta tanpa punya ruang untuk menolak jika terjadi penurunan kebutuhan. Maka, ketika pasokan berlebih seperti sekarang, PLN menyetop operasi pembangkitnya sendiri, yang ongkos produksinya justru lebih murah dari swasta.

Skema IPP muncul ketika PLN kekurangan pasokan tapi tak mampu membangun pembangkit sendiri. Untuk menarik minat swasta menjadi IPP, pemerintah menjamin listrik mereka akan dibeli PLN dengan harga yang sudah ditentukan di muka. Tak jarang kontrak bisnis itu diperoleh perusahaan yang terafiliasi dengan penguasa atau petinggi partai politik pendukungnya.

Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi rata-rata 8 persen per tahun, pemerintah mencanangkan megaproyek pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu megawatt. Tapi proyeksi pertumbuhan itu kenyataannya tak pernah tercapai. Artinya, tanpa adanya pandemi sekalipun PLN sudah mengalami kelebihan pasokan listrik.

Kondisi keuangan PLN juga diperparah oleh kebijakan populis pemerintah. Sejak 2018, pemerintah menolak usul kenaikan tarif dasar listrik PLN. Perseroan dipaksa menalangi selisih harga keekonomian dengan harga yang dijual ke masyarakat. Pembayaran dari pemerintah baru diterima dalam satu-dua tahun kemudian, setelah audit Badan Pemeriksa Keuangan rampung.

Dalam jangka pendek, dampak kebijakan itu membuat arus kas perusahaan berantakan. PLN harus mencari utang guna mengongkosi belanja operasi dan investasi mereka, dengan bunga tinggi. Dari laporan keuangan PLN per Juli 2021 yang belum diaudit, tercatat kewajiban jangka panjang telah mencapai Rp 500 triliun dan utang jangka pendek Rp 143 triliun.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara, sebagai pemegang saham tunggal, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang menjadi regulator bisnis listrik, harus aktif membantu PLN lepas dari lilitan persoalan kontrak lama pembelian listrik. Sebagai wakil pemerintah, dua kementerian tersebut harus mendorong PLN merenegosiasikan kontrak pembelian listriknya.

Kendati kontrak itu bersifat bisnis, klausul-klausul yang disepakati dalam kontrak tersebut berawal dari kebijakan politik, yang sialnya menjepit PLN dalam jangka panjang. Jika negosiasi itu membutuhkan perubahan aturan, pemerintah jangan sungkan merevisinya dengan segera. Sudah lazim kontrak yang tidak seimbang dan kentara ada intervensi politis diubah ketika merugikan salah satu pihak, apalagi jika itu perusahaan negara.

Dukungan total pemerintah, termasuk jika kemudian bersengketa di arbitrase, sangat diperlukan PLN agar bisa memformat ulang aktivitas bisnisnya. Jangan biarkan PLN terus-menerus menjadi “sapi perah” kepentingan kelompok tertentu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus