Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUKUNGAN Presiden Joko Widodo terhadap rencana amendemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan alarm bahaya bagi demokrasi. Jika revisi konstitusi itu benar-benar terjadi, pembahasan sangat mungkin melebar ke isu krusial lain, seperti penambahan masa jabatan presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembahasan perpanjangan masa jabatan presiden mengemuka setiap kali muncul rencana amendemen UUD 1945. Sejak 2018, Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah menggulirkan ide perubahan itu untuk menghidupkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)—meski timbul-tenggelam dan memantik polemik. Belakangan, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengusulkannya kembali. Saat bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat, 13 Agustus lalu, ia menyampaikan rencana amendemen dengan janji berfokus pada Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), nama baru GBHN. Seusai pertemuan, Bambang Soesatyo menyatakan Jokowi mendukung rencana itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Janji pimpinan MPR yang akan membatasi amendemen tentu sulit dipegang. Mayoritas anggota MPR adalah kader partai pendukung pemerintah. Mereka dapat memanfaatkan amendemen untuk membuka kotak pandora pasal-pasal krusial yang bisa memperpanjang masa kekuasaan presiden. Perubahan pasal dengan mudah diajukan karena tidak ada aturan yang mewajibkan pembahasan sesuai dengan agenda. Amendemen atau usulan perubahan pasal bisa berjalan atas proposal sepertiga anggota MPR, dalam sidang yang dihadiri dua pertiga anggota, dan disetujui lebih dari separuh hadirin. Sepanjang disetujui forum, perubahan pasal bisa berjalan mulus.
Ketika proses amendemen bergulir, penolakan publik tidak ada artinya. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana demonstrasi orang banyak terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan pengesahan omnibus law cuma dianggap angin lalu.
Jangan pula naif mempercayai begitu saja pernyataan Jokowi bahwa dia tidak berniat dan tidak berminat menjadi presiden tiga kali. Kekuasaan adalah anggur yang ingin terus direguk manakala kesempatan tersedia. Dengan konsesi kadernya terus menjadi menteri, atau iming-iming keuntungan bisnis dan politik, partai politik dengan suka hati menerima gagasan tiga periode. Kandidat presiden lain dapat menyimpan hasrat masuk gelanggang hingga periode ketiga berakhir dengan harapan kelak dapat duduk di kursi presiden lebih lama. Dengan kata lain, pembicaraan tentang perpanjangan masa jabatan presiden melahirkan segala bentuk politik dagang sapi. Selain tiga periode, skenario lain yang disiapkan lewat amendemen UUD adalah penundaan pemilihan umum hingga 2027.
Jika ingin menyelamatkan demokrasi, Jokowi harus tegas menolak amendemen. Memberi harapan untuk memperpanjang kekuasaannya, revisi UUD sejatinya menyimpan ancaman bagi dirinya sendiri. Penetapan PPHN membuat presiden harus bertanggung kepada MPR—bukan kepada rakyat seperti yang selama ini terjadi. Jika pertanggungjawabannya ditolak MPR, Jokowi bisa terjungkal. Ide PPHN juga tidak relevan karena saat ini berlaku sistem perencanaan pembangunan nasional yang berjenjang.
Rencana amendemen konstitusi selayaknya tidak diteruskan. Amendemen merupakan pintu darurat untuk merespons situasi politik yang gawat, seperti peralihan kekuasaan yang tidak normal. Konstitusi memang bukan kitab suci yang tak bisa diutak-atik. Tapi amendemen UUD 1945 tidak seharusnya dengan gampang diobral.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo