Bank tanpa Riba: Perlu "Political Will" Pemerintah Kolom Dawam Rahardjo dalam TEMPO, 25 Agustus, mengulas "Bunga dan Riba". Tulisan ini sangat menarik, sekaligus sebagai bukti bahwa perbedaan pendapat mengenai bunga dan riba ini tidak pernah habis-habisnya dan semakin berbobot. Ada dua hal yang menarik perhatian saya untuk mengomentari. Pertama, tentang tiga pendapat mengenai halal-haramnya bunga. Kedua, tentang argumentasi ilmiah oleh sekelompok ahli yang mendapat pendidikan ilmu-ilmu dari Barat, seperti A.M. Saefuddin dan Murasa Sarkaniputra. Untuk masalah pertama, ada tiga pendapat, yakni: Halal karena bermanfaat dan tidak memberatkan. Muhsyabihat karena belum jelas halal-haramnya. Haram karena bunga bank lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Soal haram jelas sekali tertulis dalam Quran. Didukung pula oleh hadis-hadis sahih (benar), tidak perlu ada komentar lagi. Sedangkan terhadap mutasyabihat, sudah ada pedoman termasuk dari Nabi: bila kita menghadapi perkara yang meragukan, lebih baik ditinggalkan saja. Konsekuensinya, jika bunga itu termasuk perkara syubat (ragu), tinggalkan saja agar kita terhindar dari api neraka. Lalu bagaimana dengan hukum darurat? Sebab, menurut hadis sahih, "keadaan darurat membolehkan yang haram". Persoalannya, apakah di Indonesia rumus darurat masih wajar diberlakukan. Bukankah mayoritas penduduknya muslim? Sebenarnya, yang paling penting dalam masalah ini adalah ada atau tidaknya political will pemerintah untuk mengamalkan bank tanpa bunga. Persoalannya, apakah jika sesuatu yang belum bisa dilaksanakan itu hukumnya menjadi boleh. Saya kira tidak. Contoh, korupsi itu haram, tetapi, berhubung masih banyak peminatnya, apakah menjadi boleh. Dengan demikian, karena keadaan darurat tidak dapat diberlakukan pada bunga bank ini, akhirnya kembali ke haram. Maka, tinggallah dua pendapat saja, halal atau haram. Namun, sayang sekali setelah mengkaji bahwa darurat saja sudah tidak dapat berlaku mutasyabihat pun harus ditinggalkan. Di mana lagi letak argumen yang mampu menghalalkan bunga bank? Akhirnya pendapat yang menyatakan bunga bank itu halal hanyalah mengada-ada. Masalah berikutnya yang ingin saya komentari adalah pendapat Dawam Rahardjo yang mengharamkan bunga itu. Dalam tulisan itu, Dawam lebih banyak bicara tentang data-data historis belaka sehingga kita menjadi yakin bahwa bunga bank itu sejak zaman kuno sudah dibenci orang. Tetapi kemudian dimunculkan lagi oleh "drakula kapitalis". Sehingga beredar lagi di dunia bisnis, yang menghasilkan kesenjangan yang tak kunjung terpecahkan. Menurut saya, bank tanpa bunga merupakan sistem yang bermanfaat di masa depan. Ia akan mampu mengurangi kesenjangan antara si kaya (pemilik modal) dan si miskin (buruh). Konsep bagi hasil akan mampu mengerem seseorang sehingga tidak kaya berlebihan, sementara saudaranya menderita kelaparan. Bank tanpa bunga lebih cocok dalam menghadapi keguncangan dalam krisis perbankan dan memburuknya mekanisme pembayaran suatu negara. Di tanah air kita, keguncangan dunia perbankan mulai terasa akhir-akhir ini sehingga banyak bank melakukan aksi yang disebut liability management techniques, menaikkan tingkat bunga, berikut hadiah-hadiah untuk mendapatkan deposito. Bank tanpa bunga menganut apa yang disebut equity based system, yang tidak menggunakan tingkat bunga yang ditetapkan sebelumnya dan tidak menjamin nilai nominal dari deposito. Keguncangan pada posisi aset segera diserap oleh perubahan-perubahan dalam nilai saham (deposito-deposito) masyarakat pada bank. Karenanya, nilai riil dari aset dan utang-utang bank dalam sistem ini akan sama di setiap waktu. Berarti konsep bank tanpa bunga lebih fleksibel. Sementara itu, pada bank pakai bunga, karena nilai nominal deposito ditetapkan sebelumnya, keguncangan tersebut dapat menyebabkan perbedaan antara aset riil dan utang riil. Dan tidak jelas pula bagaimana ketidakseimbangan ini akan dikoreksi dan kapan proses itu akan berhenti. Ini berarti terdapat kekakuan dalam sistem bank dengan bunga. Inilah antara lain argumen para pakar ekonomi Islam yang dengan tegas mengharamkan bunga. Bila banyak umat yang yakin hal ini, padahal mereka hidup dalam dunia riba, maka bagaimana jalan keluarnya? Sebaiknya, bagi mereka yang mendepositokan/menabung uangnya, lebih baik tidak mengambil bunganya. Kembalikan kepada negara atau kepada fakir miskin agar terhindar dari api neraka yang dijanjikan Allah. Untuk mereka yang meminjam uang di bank, silakan teruskan, Anda hanya memenuhi janji dan jelas tidak memakan riba. Perjalanan sistem perbankan Islam ini masih jauh. Tetapi kesempatan kita untuk terus memperbincangkannya tetap terbuka. Umat Islam, saya kira, harus terus menyebarluaskan pendapat seperti ini agar secara bertahap akhirnya dipahami oleh para pengambil keputusan, maka berlakulah bank tanpa bunga. Insya Allah. Ir. M. KOESMAWAN, M.Sc. M.B.A. Jalan Puri Kembangan A XI/6 Jakarta 11610
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini