Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Jalan kapitalis menuju kemakmuran

Pengarang : peter l. berger penerjemah : mohamad oemar jakarta : lp3es, 1990. resensi oleh : rizal mallarangeng.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REVOLUSI KAPITALIS Oleh: Peter L. Berger Penerjemah: Mohamad Oemar Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1990, 334 halaman PETER Berger telah berubah. Dalam bukunya sebelumnya yang dibaca luas oleh kalangan peminat masalah-masalah pembangunan, Pyramids of Sacrifice (1974), posisi Berger netral: sosialisme dan kapitalisme adalah dua pilihan yang menyedihkan sebagai jalan menuju modernisasi keduanya meminta korban-korban manusia untuk menyangga "pembangunan". Kini, posisi Berger jelas: "capitalism ... is a morally saver bet." Mengapa? Pada awal 1970-an, Berger mengamati problem pembangunan hanya terbatas pada kasus-kasus di Amerika Latin. Tetapi di akhir 1970-an, ia "menemukan" Asia Timur. "Rio de Janeiro akan tampak lain kalau kita sudah melihat Singapura." Memang, buku Berger yang terbaru ini tidak menyembunyikan kekagumannya akan sukses modernisasi yang dicapai oleh Jepang dan empat Macan Kecil Asia (Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura). Laju pertumbuhan ekonomi negara-negara ini selama dua dekade jauh melampaui prestasi negara-negara industri Barat. Seluruh cerita sukses ini dicapai melalui jalan kapitalis. Sebaliknya, bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Berger tidak menyebut soal Eropa Timur), yang menempuh modernisasi melalui jalur sosialis, hanya berputar di lingkaran setan kemelaratan dan represi politik. Sosialisme-Marxisme, kata Berger, pertama-tama adalah janji-janji besar -- yang lebih cocok menjadi sabda para nabi, bukan ilmuwan sosial. Dalam hal ini posisi Berger kira-kira mirip dengan Zbigniew Brzezinski (The Grand Failure, 1990). Keduanya menganggap sosialisme lebih sebagai seruan-seruan utopis yang membutakan akal sehat. Marxisme memang cocok bagi semangat para patriot dengan emosi yang meledak-ledak, tetapi ia telah gagal dalam pengujian empiris. Dan karena itu pula eksperimen-eksperimen sosialisme (dalam hal ini Berger mengatakan tentang negara-negara sosialis di Dunia Ketiga) hanya menjumpai kebuntuan. Tentang hubungan antara sosialisme, kapitalisme, dan demokrasi, Berger hanya melengkapi pikiran-pikiran yang secara jelas disuarakan oleh ilmuwan-ilmuwan sosial Amerika yang "konservatif" (label ini sesungguhnya mudah menipu): sosialisme cenderung menghasilkan negara totaliter, sementara kapitalisme melahirkan negara demokrasi. Walau demokrasi harus dilihat sebagai proses yang bertingkat, hingga sekarang secara empiris pendapat semacam ini memang sulit dibantah. Kubu sosialis masih harus merumuskan dirinya kembali dan menunggu beberapa tahun lagi hingga eksperimen perestroika dan glasnost "selesai", untuk dapat mengemukakan kritik terhadap pendapat tersebut. Dalam mencari sebab-sebab sukses kapitalisme, Berger belum mampu beranjak jauh dari ide yang semula telah ditegakkan oleh Max Weber. Dasar ide ini adalah bahwa kelimpahan material merupakan hasil kombinasi antara rasionalitas dan semangat pengorbanan (asketisme). Yang pertama bersumber pada ilmu pengetahuan modern -- yang telah dirintis sejak Renaissance. Yang kedua bersumber pada etika Protestan yang disebarkan oleh Luther dan Calvin pada akhir Abad Pertengahan. Karena itu, menurut Berger, salah satu faktor terpenting yang menentukan keberhasilan kapitalisme di Asia Timur adalah kebudayaan. Kebudayaan semua negara yang sukses ini termasuk dalam rumpun kebudayaan Cina, serumpun kebudayaan yang walau tidak bersumber pada Protestanisme dan "Barat", pekat dengan warna pragmatisme, asketisme, dan aktivisme. Tetapi Berger tidak berhenti hanya pada pujian-pujian bagi kapitalisme. Soal utama kapitalisme tidak terletak pada dataran material, tetapi pada tingkatan simbolis. Kapitalisme, karena terlalu rasional, kering akan mitos. Pasar hanya bisa hidup berdampingan dengan akal sehat yang pragmatis. Padahal, dalam negara modern, mitos sesungguhnya fungsional, yaitu sebagai sumber legitimasi bagi tindakan-tindakan sosial politik. Karena itu, menurut Berger, hanya dengan memelihara kelestarian keluarga (family) dan agama, kapitalisme modern dapat mengatasi krisis legitimasi akibat hambarnya dinamika simbolis yang inheren. Kalau buku ini tidak diterbitkan pada tahun 1986, tetapi 3-4 tahun kemudian -- yaitu setelah diruntuhkannya patung Lenin di negara-negara sosialis Eropa Timur dan setelah Sidang Umum PKUS di awal 1990 lalu -- dia pasti menulis lebih panjang. Tidak dalam bentuk rangkaian proposisi yang sering dijelaskan melalui argumen-argumen yang terlalu singkat seperti dalam buku ini. Tetapi saya setuju dengan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang menulis Pengantar dalam buku ini, bahwa dibanding dengan karya klasik Schumpeter yang menjadi textbook wajib dalam memahami kapitalisme dan sosialisme -- Capitalism, Socialism and Democracy (1942) -- buku Berger ini lebih mudah dibaca, sekaligus tentu saja lebih mutakhir. Rizal Malarangeng

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus