Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERAYAAN Natal tahun ini jelas beda dibanding dua kali perayaaan sebelumnya. Saat itu, karena musibah pandemi, semua serba dibatasi. Perayaan di tengah keprihatinan. Namun kini lebih membahagiakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang sama telah dirasakan juga oleh umat Islam saat merayakan Idulfitri 1443 H dan penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi Saw belum lama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selamat untuk saudara-saudara kami, umat Kristiani. Kita semua tentu merasakan kebahagiaan.
* * *
Apakah Anda juga mengucapkan Selamat Natal untuk mereka? Jika iya, apa motivasi Anda? Jika tidak, kenapa? Apakah Anda akan mengecam mereka yang melakukannya?
Pertanyaan tersebut dilontarkan KH. Muhammad Adnan, mantan Ketua PWNU Jateng, saat “Dialog Interaktif Penguatan Moderasi Beragama bersama Aktivis Mahasiswa” di kampus Undip Semarang, beberapa waktu lalu.
Dia sendiri mengakui, bukanlah termasuk yang melarang ucapan tersebut. Apalagi mengharamkannya. “Dengan ucapan itu, apakah akan mengurangi keimanan kita?” Demikian pengasuh Pesantren Kebangsaan yang juga dosen Fisip Undip itu, dengan nada bertanya memberi jawaban.
Harus diakui, selama ini kita memang tak lepas dari persoalan tersebut. Tentu karena beda pemahaman. Perdebatan karena perbedaan ini sudah berlangsung lama. Seakan telah menjadi tradisi tahunan, setiap kali Natal dirayakan.
Tak jarang, sesama kita saling bersitegang. Bahkan, ketegangan bisa memuncak, dan berakhir dengan “vonis” memurtadkan dan atau mengkafirkan sesama muslim sendiri karena perbedaan itu.
Sementara kita jarang (bahkan tak pernah) mendengar sesama umat Kristiani, atau dari kalangan agama lain, berdebat soal ucapan selamat Idulfitri saat umat Islam merayakannya. Ketika mereka beramai-ramai mengucapkan itu, kita (umat Islam) juga menerimanya dengan sangat gembira.
Tak adil rasanya jika kita hanya mau menerima, tetapi tak pernah memberi. Berbuat baik, menebar kebaikan, sudah semestinya dilakukan. Ini bukan karena rumus “take and give” semata.
Justru, rumus itu sebenarnya tak berlaku dalam konsep persaudaraan (ukhuwah), yang harus lebih mengutamakan keserasian dan keterikatan karena kasih sayang. Persaudaraan yang tidak dibatasi dengan perbedaan keyakinan.
“Kunjung mengunjungilah, bertukar hadiahlah.” Demikian pesan keteladanan yang Nabi Saw sampaikan.
Dalam konteks itu, contoh mutakhir telah diteladankan Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad Al-Thayib, misalnya. Setiap dua hari menjelang perayaan Natal, dia selalu mengunjungi Gereja Ortodoks Koptik, gereja Kristen utama dan tertua di Mesir.
Kunjungan tersebut tak lain untuk bersilaturrahmi dengan pemimpin tertingginya, yaitu Paus Tawadros (Theodoros) II. Juga mengucapkan selamat Natal. Ucapan ini disampaikan pula kepada Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Katolik Roma. Bahkan kepada umat Nasrani di seluruh dunia.
Pandangannya tentang hal itu juga sangat tegas. “Suara yang melarang dan mengharamkan menyampaikan selamat dan tahniah kepada pemeluk Kristiani yang merayakan hari Natal adalah pemikiran ekstrem yang tidak ada pertaliannya dengan agama Islam.” Demikian “fatwa”-nya.
Syeikh Ahmad Al-Thayib adalah satu di antara ulama Sunni terkemuka yang membolehkan ucapan selamat Natal. Ulama besar lainnya: Syeikh Yusuf Qardhawi, Syeikh Ali Jumu'ah, Syeikh Mustafa Zarqa. Untuk kalangan muda, ada Al-Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri dari Cyprus. Selain itu, Majelis Fatwa Mesir, juga Masjelis Fatwa Eropa.
Sementara ulama yang mengharamkan, terutama dari kalangan Wahabi Salafi. Beberapa nama terkemuka, bisa disebutkan: Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz, Syeikh Abu Abdullah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syeikh Ibrahim bin Ja'far, Syeikh Ja'far Al-Thalhawi.
Jika harus dijelaskan, kenapa ulama berbeda pendapat dan pemahaman, setidaknya karena beberapa alasan. Yang jelas, tak ada satupun ayat al-Quran maupun Hadits Nabi yang secara tegas menyebutkan tentang keharaman atau membolehkan.
Padahal situasi dan kondisi sosial ketika Nabi Saw masih hidup mengharuskannya untuk memberikan fatwa hukum atas masalah tersebut. Kenapa? Nabi dan para sahabatnya saat itu hidup berdampingan dengan kalangan Yahudi dan Nasrani.
Karena tidak ditemukan ayat Al-Quran dan Hadits Nabi yang dengan jelas dan tegas menyebutkannya, maka permasalahan tersebut termasuk dalam kategori “ijtihadi”.
Dengan demikian, baik ulama yang membolehkan maupun mengharamkan itu, hanya berpegang pada keumuman (generalitas) ayat atau Hadits yang diyakini terkait dengan hukum atas permasalahan tersebut. Itulah kenapa mereka berbeda pendapat.
Generalitas dimaksud, bagi yang mengharamkan, misalnya, berpegang pada ayat: “Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, maka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Qs. Al-Furqan: 72).
Bahwa mengucapkan selamat Natal diyakini telah memberikan kesaksian palsu karena sama halnya dengan mengikuti keyakinan Kristiani. Maka hindari segala aktivitas yang tidak ada faedahnya. “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” Hadits riwayat Imam Abu Dawud ini pula yang dijadikan dalil.
Sebaliknya, ulama yang membolehkan bersandar pada ayat: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8).
Bahwa menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani adalah termasuk kebaikan. Mereka bukan musuh, juga tidak memusuhi, karena faktor agama.
Apalagi tahniah itu juga disebutkan dengan jelas, sebagaimana ayat: “Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku....” (Qs. Maryam: 33). Inilah yang oleh Prof. Dr. Quraish Shihab disebut ucapan selamat Natal versi Al-Quran.
Jika menyampaikan ucapan itu diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan penyelenggaraan hari raya Natal, seperti yang dilakukan oleh Banser selama ini, sebenarnya juga bisa dimaklumi.
Dasarnya, jelas. Sayyidina Umar ibn Khattab, saat “penaklukkan” Yerussalem, juga memberikan jaminan keberlangsungan peribadatan dan perayaan yang dilakukan kaum Nasrani Aelia, Quds, Palestina.
* * *
Singkat kata, “banyak jalan menuju Roma.” Demikian Raja Dangdut Rhoma Irama. Nasihatnya, jangan terpaku pada satu cara untuk menggapai cita-cita. Banyak jalan, selalu ada pilihan. “Janganlah dirimu mengenal putus asa,” tegasnya.
Nasihat itu juga berlaku dalam kehidupan beragama kita. Tak seharusnya kita meributkan persoalan yang di dalamnya jelas ada perbedaan pendapat dan pemahaman. Bagi umat awam seperti saya, misalnya, tinggal mengikuti: “dalil” mana yang diyakini. Tanpa mereduksi sedikitpun keyakinan hakiki di dalam hati.
Dalam “beragama” itu, jika dirumuskan, bukan hanya 5 + 5 = 10 yang pada akhirnya melahirkan pandangan sempit dan sikap kaku. Tetapi 10 itu merupakan hasil dari 4 + 6 atau 5 x 2 atau 15 - 5 atau 60 : 6. Rumus inilah yang justru akan membuat kita lebih terbuka dengan segala perbedaan yang ada.
Karena sejatinya, perbedaan itu tak terhindarkan. Apalagi bagi kita, bangsa Indonesia, yang memang dikaruniai keberagaman. Perbedaan karena faktor alamiyah atau primordial, haruslah kita terima apa adanya. Inilah sunnatuLlah.
Perbedaan secara ilmiyah, karena hasil pemikiran (ijtihad), jika masih perlu didialogkan, lakukanlah dengan kejernihan hati dan sikap terbuka. Demikian pula, perbedaan karena faktor amaliyah berkaitan dengan (praktek) keberagamaan, tak seharusnya membuat kita bersitegang dan berujung saling menyesatkan.
Akhirul kalam, “saya mengajak seluruh umat Kristiani menjadikan peringatan Natal tahun ini sebagai momentum untuk merawat harmoni dan kerukunan dalam keragaman dan kebhinekaan.” Demikian Menag Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pesan Natal 2022.
Kalisuren, 26 Desember 2022