Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Stok utang pemerintah terus meningkat dan beban utang semakin memberatkan.
Hal ini akan melemahkan potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Pembenaran oleh pemerintah bersifat spekulatif.
Yusuf Wibisono
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stok utang pemerintah yang terus meningkat dan diiringi beban utang yang semakin memberatkan akan melemahkan potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Berlimpah bukti empiris kontemporer yang menunjukkan bahwa semakin tinggi stok utang pemerintah, semakin rendah pertumbuhan ekonominya. Stok utang yang semakin tinggi membuat alokasi anggaran publik akan semakin tidak bersifat pro-poor karena berbentuk pembayaran bunga utang yang masif. Dengan sebagian besar anggaran publik mengalir ke kelompok elite, dan bahkan ke luar negeri, daya beli dan permintaan agregat akan selalu tertekan serta membuat pertumbuhan ekonomi di bawah tingkat optimalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beban bunga utang kita terus meningkat dan pasca-pandemi Covid-19 melejit sangat tinggi. Sementara pada 2015 beban bunga utang "baru" mencapai Rp 150 triliun, dalam rancangan APBN 2023 angka ini akan menembus Rp 440 triliun, melonjak tiga kali lipat. Dengan kapasitas fiskal yang terus rendah, utang telah menjadi beban yang semakin mengimpit. Beban bunga utang melonjak, dari 17,9 persen pada penerimaan perpajakan pada 2019 menjadi 24,4 persen dari penerimaan pajak pada 2020. Seiring dengan pemulihan ekonomi, beban ini menurun, tapi tidak signifikan. Pada 2023, diproyeksikan rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak masih akan berada di kisaran 21,9 persen, jauh di atas batas aman di kisaran 7-10 persen.
Dengan hampir seperempat penerimaan perpajakan habis hanya untuk membayar bunga utang, ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas. Bertahan dengan paradigma arus utama yang sangat pro-kreditor tapi abai terhadap kondisi debitor, terutama kemampuan negara untuk memberikan stimulus fiskal dan perlindungan sosial kepada rakyat, sikap pemerintah itu terlihat menjadi amoral. Beban bunga utang dalam rancangan APBN yang senilai Rp 441 triliun untuk sejumlah kecil investor itu setara dengan hampir seluruh subsidi dan bantuan sosial utama untuk ratusan juta orang, dari subsidi LPG tabung 3 kilogram sebesar Rp 117,4 triliun, Program Keluarga Harapan dan Kartu Sembako Rp 74,2 triliun, subsidi listrik Rp 72,3 triliun, bantuan iuran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Rp 46,5 triliun, subsidi bunga kredit program Rp 45,6 triliun, subsidi pupuk Rp 25,3 triliun, Program Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah Rp 22,6 triliun, hingga Bantuan Langsung Tunai Dana Desa Rp 22,6 triliun.
Pada periode pemerintahan Presiden Jokowi, pertambahan stok utang pemerintah melambung tinggi. Pada 2014-2019, stok utang bertambah rata-rata Rp 435 triliun per tahun dan melonjak drastis pada 2020-2021 sebesar Rp 1.065 triliun per tahun seiring dengan datangnya pandemi. Pasca-pandemi, seiring dengan ledakan komoditas dan kewajiban defisit anggaran kembali di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023, tambahan utang kami proyeksikan akan menurun pada 2022-2024 menjadi "hanya" Rp 565 triliun per tahun. Dengan proyeksi ini, stok utang pemerintah kami perkirakan akan menembus Rp 8.600 triliun pada akhir 2024. Proyeksi ini konservatif, mengingat tanda-tanda berakhirnya ledakan komoditas telah terlihat sejak pertengahan tahun ini.
Ketergantungan APBN yang semakin tinggi pada utang terlihat jelas dari pembuatan utang baru pemerintah yang terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama melalui penerbitan surat berharga negara (SBN). Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, penerbitan SBN melonjak, dari Rp 32,3 triliun pada 2004 mencapai Rp 439 triliun pada 2014. Di era Presiden Jokowi, penerbitan SBN melambung tinggi, dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019. Setelah masa pandemi, penerbitan SBN meroket menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021.
Peningkatan jumlah utang baru setiap tahun berkorelasi kuat dengan besaran beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN "baru" di kisaran Rp 300 triliun. Pada 2019, angka ini melonjak menembus Rp 700 triliun dan pada 2021 menyentuh Rp 800 triliun. Strategi pengelolaan utang yang berfokus pada pembiayaan kembali utang (refinancing) untuk membayar pokok dan bunga utang yang jatuh tempo serta membuat pengelolaan utang sekadar "gali lubang tutup lubang". Utang baru dibuat untuk menutup kewajiban utang lama, tapi stok utang tidak pernah turun.
Pembenaran pemerintah untuk berutang umumnya spekulatif, yaitu bahwa utang akan digunakan untuk kegiatan produktif yang bakal menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, penerimaan perpajakan yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi akan mampu mengembalikan pokok utang sekaligus menutup beban bunganya. Maka, kegagalan mendorong pertumbuhan dan menarik pajak darinya harus dibayar dengan mahal: berutang kembali. Pada masa pandemi, kegagalan ini semakin masif dengan implikasi lonjakan angka utang yang sangat mengkhawatirkan. Lambatnya pemulihan ekonomi pasca-pandemi semakin memperparah lingkaran setan utang ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo