Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Negara Hukum Vs Supremasi Hukum

Kita acap keliru memahami negara hukum dan supremasi hukum sehingga cenderung mendukung penegakan hukum yang melanggar hak asasi manusia. Indonesia bermartabat jika menjadi negara hukum.

18 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia sedang menuju negara supremasi hukum.

  • Semua orang memakai hukum dan aparat melaksanakannya meski melanggar hak asasi manusia.

  • Apa beda negara hukum dan supremasi hukum? Indonesia harus memilih yang mana?

HARI-HARI ini, kita melihat banyak putusan pengadilan yang terasa berlawanan dengan rasa keadilan yang semata menjalankan supremasi hukum karena dibuat dengan pertimbangan hukum yang dangkal. Sebut saja vonis rendah untuk seorang jaksa atau vonis ringan seorang menteri yang memakai wewenangnya untuk melakukan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya bukan hanya pada jumlah tahun dalam vonis. Para hakim juga memakai pertimbangan dan perbandingan dengan kasus-kasus lain yang daya rusaknya lebih kecil—seperti penipuan atau pencemaran nama—secara salah. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi menganggap sah secara prosedural proses legislasi yang demikian kotor karena dipaksakan untuk mengamputasi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di wilayah peraturan perundang-undangan, revisi Undang-Undang KPK dilahirkan untuk mematikan sebuah lembaga yang kehadirannya diperlukan dalam demokrasi guna membatasi kekuasaan yang korup. Setelahnya, lahir pula Undang-Undang Cipta Kerja yang melanggar hak-hak asasi pekerja dan mengancam perlindungan lingkungan.

Jika demikian banalnya tontonan hukum hari ini, apa yang tengah terjadi dengan institusi-institusi hukum kita? Padahal tak sedikit upaya reformasi kelembagaan sejak 1998.

Sejak 1999, keputusan politik telah menyatukan “atap” kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung dan melepaskannya dari kekuasaan eksekutif melalui Departemen Kehakiman. Seperangkat cetak biru pembaruan peradilan dipublikasikan sejak 2003. Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 juga sudah memasukkan dua lembaga baru ke tatanan kekuasaan kehakiman: Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Ada juga kekuasaan penegak hukum oleh kepolisian yang dilepaskan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Dari berbagai reformasi kelembagaan, sebagian berhasil dengan cukup baik. Informasi putusan Mahkamah Agung kini tersedia di Internet. Mahkamah Konstitusi berdiri kokoh, menjadi tumpuan harapan pengawasan terhadap pembuatan undang-undang. Masalahnya, pembaruan institusional itu tidak sejalan dengan delivery of justice atau tegaknya keadilan oleh lembaga-lembaga itu. 

Barangkali kita mesti menengok kembali gagasan rule of law atau negara hukum. Soalnya, kita acap memaknainya sebagai cangkang. Isinya tak pernah kita tengok. Dalam pemaknaan cangkang yang kosong, hukum dimaknai hanya sebagai peraturan atau seragam dan atribut penegak hukum. Reformasi kelembagaan semata proyek lembaga yang bersangkutan alih-alih visi negara. Akibatnya, reformasi kelembagaan kerap dianggap tuntas ketika suatu kegiatan selesai atau target tercapai. Padahal reformasi hukum seharusnya berkelindan antarlembaga, termasuk lembaga yang bukan penegak hukum.

Seiring dengan itu, supremasi hukum acap kita pahami sebagai supremasi undang-undang dan aparat penegak hukum. Maka, ketika suatu undang-undang diklaim dibuat dengan sah secara prosedural, ia menjelma menjadi hukum yang baik dan benar. Maka tindakan aparat berseragam yang dengan enteng menangkap para pembuat mural dan selebritas yang bertentangan dengan penguasa dianggap sebagai kebenaran, meski melanggar hak asasi manusia. Apalagi penegakan hukum semacam itu bukan prioritas, di tengah kian sempitnya kebebasan berpendapat dan merajalelanya korupsi di masa pandemi.

Gagasan supremasi hukum sebenarnya bukan berarti hukum selalu dianggap supreme—rujukan tertinggi—tanpa syarat. Supremasi hukum adalah bagian dari gagasan negara hukum atau rechtsstaat atau rule of law. Ia muncul, sejatinya, untuk dihadap-hadapkan pada supremasi kekuasaan dalam konteks negara hukum. Dengan kata lain, supremasi hukum adalah suatu metode menghentikan pengaturan negara melalui kekuasaan yang selalu ditentukan oleh siapa yang kuat, bukan pengaturan melalui tatanan hukum agar adil dan beradab. 

Gagasan ini tertuang dalam naskah awal Penjelasan UUD 1945, yang sudah tidak masuk naskah konstitusi sejak amendemen 1999-2002. Dalam naskah itu tertulis bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechsstaat), bukan negara berdasarkan kekuasaan (machsstaat). Pada saat itu, para pendiri Republik ingin meletakkan dasar negara hukum bagi sebuah bangsa yang baru lepas dari penjajahan, saat kekuasaan dijalankan berdasarkan apa yang diinginkan penguasa yang menjajah.

Mereka tidak menyatakan hukum sebagai supreme meski tidak adil dan dibuat dengan tidak partisipatif. Jangan lupa, gagasan negara hukum berbicara tentang bagaimana hukum seharusnya berfokus pada warga negara agar seimbang dalam duduk berdampingan dengan pemerintah. Karena itu, esensi negara hukum adalah hak asasi manusia dan pembatasan kekuasaan.

Berangkat dari pemahaman itu, pembaruan hukum semestinya berbicara tentang untuk siapa hukum dibuat. Sebuah hukum negara menjadi istimewa karena punya daya paksa, yaitu mengatur dan menertibkan. Pertanyaannya, mengatur untuk tujuan apa dan demi kepentingan siapa? Bila hukum dibuat untuk aktor-aktor politik yang ingin mengamankan dan memperbesar kekayaan dan kekuasaan mereka, tentu saja hukum hanya mengatur agar kondisi aman dan stabil bagi kelompok ini. Soal hak asasi dan perlindungan lingkungan bukan bagian dari gagasan yang menjadi pertimbangan.

Reformasi lembaga-lembaga hukum pun berfokus pada perbaikan kelembagaan dengan tujuan adanya hal-hal baru dalam lembaga yang terlihat sebagai hasil yang kasatmata. Akibatnya, pegiat pembaruan hukum cenderung abai terhadap konsolidasi aktor-aktor yang bertujuan merusak hukum.

Pada 2015, Javier Coralles menganalisis turunnya kondisi demokratis di Venezuela. Temuannya mengejutkan: kualitas demokrasi Venezuela anjlok justru oleh sebuah tatanan demokratis dengan cara yang terlihat baik-baik saja. Pada 2018, Kim Scheppele mencatat fenomena serupa di Hungaria: tatanan demokratis rusak pelan-pelan, tapi konstitusional. Para akademikus menyebutnya sebagai autocratic legalism, yaitu legalisasi yang menutupi pemerintahan autokratik. Dalam sebuah legalisme autokratik, semua tindakan penguasa yang sewenang-wenang berjalan secara konstitusional. Perubahan konstitusi untuk mendukungnya pun dilakukan dengan benar secara prosedural, meski isinya tidak mengandung semangat konstitusionalisme negara hukum.

Semua cerdik-pandai hukum diam dan bahkan mendukung, kata Coralles dan Scheppele, karena pada awalnya pemerintahan autokratik akan memulainya dengan melemahkan pengawasan terhadap mereka sendiri. Tujuannya, pada saatnya nanti, tidak ada lagi yang bisa mengatakan tindakan yang salah itu sebagai kesalahan. Padahal pengawas penting ini kekuasaan yudikatif dan masyarakat sipil, terutama kalangan cerdik-pandai hukum.

Sejarah negara hukum Indonesia menunjukkan gagasan negara hukum tidak berdiri dalam satu-dua dekade. Ia juga tidak bisa jatuh begitu saja dalam waktu cepat. Pada 1945, negara hukum dibangun sebagai bagian dari upaya melepaskan diri dari kolonialisme. Pada 1950-an, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung bekerja dengan baik, sementara kepolisian ditempatkan bersama tentara. Baru pada 1970-an kualitas penegakan hukum Indonesia menurun dan mulai bobrok.

Dalam riset Daniel S. Lev, Indonesianis dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, di tengah terjun bebasnya kualitas negara hukum, muncul sekelompok praktisi hukum yang mencoba bertahan dengan terus melancarkan kritik terhadap hukum yang sewenang-wenang. Advokat-advokat itu, di antaranya Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hien, mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, yang kini dikenal sebagai Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Melihat refleksi Lev, jika kita ingin punya Indonesia sebagai negara hukum, penting ada kekuatan masyarakat sipil yang terus melancarkan kritik dan memberi gagasan tandingan pada ide negara hukum yang dirusak aparatur negara. Dalam negara hukum, masyarakat sipil berada dalam—atau ditempatkan pada—posisi sangat penting.

Rupanya, sejarah tak bisa dicomot-pasang. Sejarah hukum 1970-an tampaknya sulit terulang kini. Dalam perdebatan proses dan isi Undang-Undang Cipta Kerja, para praktisi hukum terlihat sangat memihak praktik yang merusak tatanan negara hukum. Begitu pula cerdik-pandai dan praktisi hukum yang memasuki lembaga-lembaga yang memberikan harapan konsep negara hukum bisa tegak semacam Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Keberadaan mereka di sana justru menjauhkan cita-cita kita membangun negara hukum yang solid.

Jika kita masih ingin melihat Indonesia menjadi negara beradab yang menjunjung tinggi hukum dalam konsep negara hukum, bukan semata supremasi hukum, para cerdik-pandai dan praktisi hukum harus menghentikan peraturan yang tak adil dan kesewenang-wenangan penegak hukum dalam melaksanakan aturan. Kita mesti mendorong hukum yang mampu memenuhi, melindungi, dan menegakkan hak asasi, serta secara efektif membatasi kekuasaan penyelenggara negara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bivitri Susanti

Bivitri Susanti

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus