Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kejanggalan proyek kilang TPPI Pertamina.
Siapa yang bermain dalam sengkarut proyek itu?
Kapitalisme negara ala Jokowi terbukti tak efisien.
POLEMIK hasil tender proyek pembangunan fasilitas produksi olefin di Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) tak perlu terjadi bila sejak awal Pertamina tunduk pada tata kelola perusahaan yang bersih. Kegaduhan yang muncul belakangan ini tak lepas dari kurang transparannya pelaksanaan tender proyek tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karut-marut proyek pembangunan kompleks kilang olefin di Tuban, Jawa Timur, senilai US$ 45 miliar atau sekitar Rp 64 triliun ini mengemuka setelah Pertamina mengumumkan hasil tender, pada awal September lalu. Sempat mandek setahun terakhir, Pertamina akhirnya mengumumkan dua konsorsium lolos ke babak akhir. Mereka adalah konsorsium yang dipimpin Hyundai Engineering Co Ltd dan Technip. Salah satu dari konsorsium ini akan melanjutkan proses pembangunan fisik: dari rancang bangun, pengadaan barang, hingga konstruksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, komite audit Pertamina belakangan menemukan kejanggalan dalam proses pelaksanaan tender. Ini pula yang memantik ketegangan direksi dengan Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama. Salah satu kejanggalan itu, antara lain, tidak sesuainya hasil tender dengan dokumen prakualifikasi. Dokumen itu menyebutkan peserta lelang mesti memiliki pengalaman mendesain fasilitas produksi olefin. Nyatanya, Hyundai sebagai salah satu pemimpin konsorsium ditengarai tidak memiliki pengalaman rancang bangun kilang olefin.
Bukan hanya itu. Lolosnya Hyundai menjadi sorotan karena anak usaha perusahaan ini pernah terlibat kasus suap di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon II yang saat ini tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Persoalan ini menunjukkan Pertamina tidak melaksanakan tender dengan saksama.
Bukan hanya soal proses pemeriksaan peserta, Pertamina juga tak jeli menentukan pasar yang kelak hendak disasar olefin produksi kilang ini. Padahal penentuan produk dan target pasarnya sangat menentukan pilihan teknologi kilang yang akan dibangun. Pertamina sepenuhnya bergantung pada proposal yang masuk, dari pemilihan teknologi, desain teknik dasar, hingga tahap front-end engineering design. Perusahaan negara ini tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya: menyusun desain besar pengembangan produk olefin ke depan.
Tak mengherankan bila akhirnya megaproyek ini terjebak pada tarik-menarik kepentingan politik dan bisnis segelintir orang. Ini persoalan klasik yang menyebabkan impor bahan-bahan vital yang seharusnya bisa diproduksi sendiri di dalam negeri selalu sulit ditekan. Gara-gara pemerintah gagal membenahi tata kelola di perusahaan badan usaha milik negara, proyek strategis pembangunan kilang migas, misalnya, molor bertahun-tahun. Proyek pembangunan kilang itu hanya menjadi obyek perkelahian politik para mafia minyak.
Proyek kilang olefin sangat penting untuk memproduksi bahan baku industri petrokimia Indonesia. Selama ini, industri petrokimia kita dikuasai oleh satu-dua produsen yang hanya mampu memasok 30 persen permintaan domestik. Selebihnya dipenuhi dari impor. Sudah selayaknya pemerintah membuka kesempatan seluas mungkin kepada investor yang ingin masuk ke industri ini. Untuk itu, model kapitalisme negara melalui perusahaan BUMN yang menguat di era pemerintahan Joko Widodo harus diakhiri karena terbukti tak efisien.
Untuk proyek kilang olefin di Tuban, direksi Pertamina harus terbuka membeberkan seluruh proses tender. Proses yang terang benderang akan menjamin kompetisi yang adil dan mencegah kolusi. Ketika mengumumkan masuknya Pertamina ke TPPI pada Desember 2019 lalu, Jokowi meminta pembangunan kilang olefin ini harus selesai dalam tiga tahun. Tampaknya instruksi Presiden itu bakal sulit dipenuhi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo