Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kita acap memakai
Ini istilah yang keliru. Apa istilah yang benar?
TRAGEDI terbakarnya Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, pada 8 September lalu, yang memakan korban jiwa 47 narapidana (per 13 September), setidaknya mendedahkan kepada khalayak dua kealpaan: lalainya otoritas berwenang merawat fasilitas penjara dan pembiaran terhadap “kelebihan kapasitas” penjara. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly sendiri mengakui Lembaga Pemasyarakatan mengalami “kelebihan kapasitas”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Curhat Pak Menteri soal “kelebihan kapasitas” penjara kemudian disambut dan diamplifikasi oleh masyarakat dan media. Penasaran berapa skala persebaran frasa ini? Ketika saya ketik “kelebihan kapasitas lapas Tangerang” (dengan tanda kutip) di mesin pencari Google, beberapa hari setelah Rabu nahas itu, muncul 35 ribu lebih hasil pencarian. “Lapas Tangerang yang Terbakar Kelebihan Kapasitas” (Republika.co.id); “Kebakaran Lapas Tangerang, Pemerintah Didesak Selesaikan Persoalan Kelebihan Kapasitas” (Beritasatu.com); dan “Kelebihan Kapasitas Dinilai Jadi Penyebab Kebakaran Lapas Tangerang” (Jawapos.com), untuk menyebut beberapa kepala berita pasca-kejadian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah Lembaga Pemasyarakatan Tangerang “kelebihan kapasitas”? Apa sebenarnya makna frasa ini? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kapasitas”: “1. ruang yang tersedia; daya tampung”, “3. keluaran maksimum; kemampuan berproduksi”. Jadi, “kelebihan kapasitas” bermakna “kelebihan ruang/daya tampung”. Faktanya, Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang ternyata hanya punya daya tampung 600 orang, tapi diisi 2.072 narapidana ketika kebakaran terjadi (Koran Tempo digital, 9 September 2021). Lho?
Alih-alih kelebihan kapasitas, Lembaga Pemasyarakatan Tangerang sebenarnya “kekurangan kapasitas, kelebihan penghuni”—sehingga terlalu sesak. Ada keliru nalar dalam penggunaan “kelebihan kapasitas” untuk kasus itu, karena secara semantis (maknawi) ternyata terbalik. Jika dimajaskan semangkuk bubur, kapasitas tentulah mangkuknya. Adapun penghuni penjara ibarat isi mangkuk alias buburnya. Jika bubur sampai luber tak tertampung, pastilah karena “kelebihan bubur”, bukan “kelebihan mangkuk”.
“Lho, bukankah ‘kelebihan kapasitas’ itu terjemahan dari frasa bahasa Inggris overcapacity?” Demikian argumen seorang teman. Baiklah, mari kita telisik makna overcapacity. Cambridge Dictionary memberikan batasan overcapacity sebagai “a situation in which companies in an industry can make and supply more products than customers buy or are expected to buy”. Adapun Meriam-Webster Dictionary membuat definisi lebih lugas: “excessive capacity for production or services in relation to demand”.
Andaikan ada pabrik ban mobil yang menghasilkan 10 ribu ban merek X per bulan. Padahal daya serap pasar atas ban merek ini cuma 6.000 buah per bulan. Artinya, produksi ban ini mengalami overcapacity alias kelebihan kapasitas, yang berakibat sebagian produk tidak terserap pasar dan harga jatuh—hukum besi ekonomi.
Dalam berbagai artikel berbahasa Inggris, bisa kita jumpai banyak contoh pemakaian overcapacity. Situs milik European Chamber memuat analisis “Overcapacity in China: An Impediment to the Party’s Reform Agenda”. Adapun The Wall Street Journal mengunggah ulasan “Chinese Overcapacity Returns to Haunt Global Industry”. Sedangkan Steel Committee di bawah The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mempublikasikan artikel “Global Overcapacity, A Growing Risk for the Latin American Steel Industry”. Tak satu pun di antara entitas ini menggunakan frasa overcapacity alias “kelebihan kapasitas” untuk makna “kekurangan ruang, kelebihan penghuni”.
Jika kita tengok ke belakang, mulai pertengahan 2021 sebenarnya pernah terjadi “kelebihan kapasitas”—dalam makna yang benar—di negeri ini. Deraan pandemi Covid-19 pada pertengahan 2020 malah membuat masyarakat dilanda cycling frenzy. “Demam” ini memicu membubungnya permintaan akan sepeda, yang mendorong industri menambah produksi. Sayangnya, permintaan kemudian kembali anjlok, karena demam bersepeda sepertinya hanya kegilaan yang sementara—sama seperti berbagai “demam sosial” lain. Sedangkan industri telanjur menaikkan produksi dengan ekspansi pabrik. Terjadilah “kelebihan kapasitas” produksi, sehingga harga sepeda saat itu jatuh hingga 30 persen (Tempo.co, 20 Juli 2021).
Ketika kegagalan spekulasi bisnis itu terjadi, hampir tak muncul ujaran bahwa produksi sepeda “kelebihan kapasitas”. Frasa ini justru hanya ramai berseliweran saat ada kerusuhan atau musibah di penjara, ketika “kelebihan kapasitas” dipahami sebagai salah satu kondisi yang melatarbelakangi. Sepertinya hanya sedikit orang Indonesia yang menggunakan frasa ini secara tepat. Boleh jadi fenomena ini berkaitan dengan tingkat literasi masyarakat kita yang tergolong rendah, peringkat ke-62 dari 70 negara (survei PISA-OECD 2019). Mungkin kita perlu lebih kontemplatif dan memperbanyak membaca artikel dengan ilmu dan kedalaman, alih-alih hanya tenggelam dalam banjir informasi yang superfisial dan bergegas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo