Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Berebut Pengurus Palang Merah: Memalukan

Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Berebut jabatan di lembaga kemanusiaan itu bisa menjadi bahan pertanyaan di kalangan masyarakat. Apa sebenarnya yang terjadi?

14 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jusuf Kalla dan Agung Laksono saling klaim sebagai Ketua Palang Merah Indonesia.

  • Pengurus PMI seharusnya bekerja tanpa imbalan dan mengabdi pada kemanusiaan.

  • Lembaga ini bisa jadi sudah diracuni oleh keuntungan materi.

PALANG Merah Indonesia (PMI) memiliki dua kepengurusan di tingkat pusat yang sama-sama mengaku sah. Inilah hasil musyawarah nasional perkumpulan lembaga kemanusiaan yang usianya setara dengan usia republik ini. Musyawarah nasional itu dilangsungkan di Jakarta pada Ahad, 8 Desember 2024. Satu kubu dengan ketua umum Jusuf Kalla dan kubu lain dengan ketua umum Agung Laksono. Keduanya politikus senior Partai Golkar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanya satu kata yang tepat untuk merespons perpecahan ini: memalukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rebut-merebut pengurus di kalangan partai politik memang sudah dianggap lazim. Maklum, ada sekelompok orang yang tak mau di posisi kalah meskipun mereka menyebutkan bahwa cara-cara yang ditempuhnya sah. Jabatan di partai itu penting karena menjadi jalan menuju kekuasaan.

Di kalangan ormas keagamaan pun hal seperti itu sering terjadi, walau sesungguhnya memprihatinkan. Kok berseteru atas nama pengabdian pada agama? Contohnya ada muktamar luar biasa Nahdlatul Ulama hari-hari ini. Mungkin ormas keagamaan sudah mengelola aset yang besar dan itu barangkali mau diperebutkan. Maklum, ormas keagamaan sekarang tidak hanya mengurus akhlak umatnya, tapi juga mengurus usaha bisnis, misalnya, tambang.

Lalu untuk apa berebut jabatan di organisasi kemanusiaan nirlaba semacam PMI? Bukankah pengurus PMI (seharusnya) bersikap sukarela, bekerja tanpa mengharapkan imbalan, dan hanya sepenuhnya niat untuk mengabdi pada kemanusiaan?

Mereka seharusnya sudah selesai dengan urusan pribadinya, mapan dalam hidup. Jabatan sepenuhnya dicurahkan untuk menolong sesama. Menurut para pendakwah agama sejati (bukan penceramah agama yang mengandalkan canda), mengabdi dalam organisasi semacam PMI adalah menabung amal untuk kehidupan di akhirat.

Berebut jabatan di lembaga kemanusiaan itu bisa menjadi bahan pertanyaan di kalangan masyarakat. Apa sebenarnya yang terjadi? Apa dasar mereka saling berebut? Apakah ada yang masih dicari, misalnya, ketenaran diri atau malah sesuatu yang sangat-sangat jahat, yakni rebutan materi? Jika pertanyaan ini menjadi liar, ini malapetaka besar buat PMI. Lembaga ini bisa jadi sudah diracuni oleh keuntungan materi, dan bukan lagi bersifat sosial kemanusiaan.

Jusuf Kalla sudah sejak 2009 menjadi Ketua Umum PMI. Beliau dua kali menjadi wakil presiden. Usia sudah 82 tahun. Tentu di usia senjanya Kalla tak akan keberatan jika ada yang menggantikannya sebagai ketua umum. Apa sih yang mau dicari lagi dalam hidup ini?

Tapi mungkin Kalla tak terima jika digantikan Agung Laksono karena dia menempuh cara tak etis dengan menyelenggarakan musyawarah nasional tandingan. Agung kalah dalam pengumpulan suara untuk ketua umum dan naluri politikusnya muncul: merebut kekuasaan dengan bikin tandingan.

Apa yang dicari mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang pernah menduduki posisi beberapa menteri ini? Usianya juga sudah 75 tahun dan Agung adalah Ketua Pengawas Komite Donor Darah Indonesia (KDDI). Jabatan yang lumayan terhormat untuk sebuah pengabdian sukarela. Apa itu belum cukup?

PMI mendapat sumber dana dari pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Juga ada bantuan dari palang merah sedunia. Selebihnya mengandalkan dana dari masyarakat lewat acara Bulan Dana PMI. Cara menarik dana dari masyarakat pun dengan penuh keikhlasan, misalnya, dengan membagikan kupon. Jika Anda tak tertarik memberi dana, ya, tak apa-apa pula.

Begitu pula donor darah, kegiatan paling populer atas nama PMI. Tak ada donor yang minta dibayar dan kalaupun diberi sebungkus mi plus susu, itu sudah cukup sebagai pengganti sekantong darah. Tak ada donor yang bertanya darahnya nanti diberikan kepada siapa, apa sukunya, apa agamanya. Oh, tidak. Semuanya berlangsung dalam keikhlasan bahwa menolong sesama manusia sangat utama. Dalam hal memberi sumbangan dan donor ini berlaku pula prinsip bahwa donor dan penyumbang sama sekali tak membutuhkan kepopuleran. Mereka menerapkan prinsip tangan kanan memberi, tangan kiri tak boleh tahu.

Prinsip sukarela, ikhlas, dan bersedekah tanpa mengharapkan imbalan bisa jadi akan memudar jika di pucuk pimpinan PMI terjadi perseteruan. Karena masyarakat akan berpikir liar—apalagi di era media sosial orang mudah diprovokasi—bisa timbul dugaan jangan-jangan ada proyek yang mendatangkan cuan besar yang melibatkan PMI. Entah itu soal bisnis plasma darah atau alat kesehatan lain, meskipun bukan seperti yang didapat ormas keagamaan, seperti izin tambang. Selamatkan Palang Merah Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus