Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemala Atmojo
Pengamat Hukum Entertainment
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nostalgia larisnya serial film Catatan Si Boy, yang pertama kali dirilis pada 1987, kini berbuah sengketa di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Pasalnya, ada perusahaan yang ingin membuat lanjutan (Catatan Si Boy 6) dan ada perusahaan yang ingin membuat cerita baru dengan judul Catatan Si Boy saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singkatnya, kedua perusahaan-PT Tripar Multivision Plus dan PT MD Pictures-mendaftarkan rencana produksi mereka ke Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 5 Januari 2018, Pusat Pengembangan mengeluarkan tanda pemberitahuan pembuatan film (TPPF) atas nama PT Tripar Multivision, yang hendak memproduksi Catatan Si Boy 6. Namun, karena dianggap tidak ada laporan produksi selama tiga bulan, TPPF tersebut dianggap batal. PT Tripar Multivision pun keberatan.
Pada Juni 2019, Pusat Pengembangan mengeluarkan TPPF atas nama PT MD Pictures, yang bermaksud membuat film Catatan Si Boy (tanpa embel-embel angka). Perseteruan pun dimulai. Karena tidak ada titik temu, PT Tripar Multivision melayangkan somasi ke Pusat Pengembangan dan gugatan ke PTUN.
Kisah Catatan Si Boy memang panjang dan berliku. Film remaja ini bermula dari sandiwara radio yang disiarkan oleh Prambors, yang kemudian difilmkan. Tiga sekuel film (Catatan Si Boy I sampai Catatan Si Boy III) diproduksi oleh PT Bola Dunia Film. Setelah Catatan Si Boy III, pada April 1989, Direktur PT Radio Prambors membuat perjanjian penyerahan hak kepada seseorang untuk melanjutkan produksi Catatan Si Boy IV, V, dan VI. Penerima hak kemudian melakukan kerja sama dengan Raam Punjabi (PT Parkit Films) untuk memproduksi serial selanjutnya.
Parkit Films sempat memproduksi Catatan Si Boy IV, sedangkan Catatan Si Boy V-mungkin kerja sama-dalam katalog perfilman tercatat diproduksi kembali oleh PT Bola Dunia Film. Rupanya, pada Februari 2019, PT Prambors, yang kemudian berubah nama menjadi PT Radiondet Cipta Karya, membatalkan penyerahan hak yang pernah diberikan kepada seseorang tersebut. Lalu, pada Maret 2019, Radionet bekerja sama dengan PT MD Pictures untuk memproduksi film Catatan Si Boy.
Aspek legal aneka perjanjian tersebut bisa menjadi bahan kajian tersendiri. Mengenai pendaftaran TPPF di Pusat Pengembangan Perfilman, sesuai dengan Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Perfilman, setiap pelaku usaha yang hendak memproduksi film harus menyampaikan pemberitahuan kepada Menteri (Pusat Pengembangan Perfilman) dengan menyertakan judul, isi cerita, dan rencana produksi. Penting diperhatikan bahwa frasa menyertakan "judul, isi cerita, dan rencana produksi" bersifat kumulatif, bukan alternatif. Maka, pembuat film tidak bisa hanya memasukkan judul atau isi cerita. Harus ketiganya. Kemudian, ayat 4 menyatakan pembuat film wajib melaksanakan pembuatan film yang sudah dicatat itu paling lama tiga bulan sejak tanggal pencatatan.
Dengan demikian, apabila Pusat Pengembangan Perfilman dapat membuktikan bahwa PT Tripar Multivision Plus tidak memberikan laporannya dalam periode tiga bulan, pembatalan TPPF untuk PT Tripar Multivision tidak salah. Sebaliknya, apabila syarat-syarat pendaftaran yang dilakukan PT MD Pictures memenuhi syarat, TPPF harus diberikan.
Bagaimana dengan judul yang mirip? Judul tidak memiliki hak cipta. Namun judul bisa didaftarkan sebagai merek dagang (trademark) apabila memenuhi syarat. Kaitannya dengan pencatatan, apabila Pusat Pengembangan Perfilman menganggap antara Catatan Si Boy 6 dan Catatan Si Boy adalah dua hal yang berbeda, apalagi isinya berbeda, Pusat tidak punya alasan untuk tidak memberikan TPPF kepada keduanya.
Dalam industri perfilman, film dengan judul mirip atau sama persis bukanlah hal baru. Ada banyak film di dunia ini yang menggunakan judul sama persis, baik di Amerika Serikat, India, maupun negara lain. Misalnya, The Accused, Betrayed, Hot Pursuit, dan Bad Boys. Dengan demikian, PT Tripar tidak perlu meminta pembatalan TPPF yang dikeluarkan untuk PT MD Pictures. PT Tripar hanya perlu mendaftar ulang kepada Pusat Pengembangan Perfilman untuk mendapatkan TPPF baru.
Ihwal perlindungan yang diamanatkan undang-undang kepada Pusat Pengembangan Perfilman haruslah dimaknai sebagai perlindungan dari potensi kesamaan. Karena itu, Pusat tidak bisa menolak setiap pendaftaran selama memenuhi syarat. Namun, untuk menghindari potensi konflik, Pusat bisa saja menginformasikan kepada pemohon bahwa sudah ada judul yang mirip atau sama yang telah didaftarkan pihak lain. Apabila pemohon berkeras ingin tetap menggunakan (dengan isi yang berbeda), Pusat, menurut saya, harus mencatatnya. Jika kemudian ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan, mereka dapat menempuh jalan negosiasi, mediasi, atau gugatan melalui pengadilan niaga. Dalam hal TPPF, Pusat bukan institusi pemberi izin, penegak hukum, atau lembaga sensor.
Jadi, bagaimana kira-kira akhir drama Mas Boy ini di pengadilan? Seharusnya mudah bagi hakim PTUN untuk memutuskan. Namun, jika di dalamnya ada unsur-unsur selain aspek legal, kasus ini, seperti syair lagu Bengawan Solo, bisa mengalir sampai jauh.