Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BIAYA politik mahal dalam pemilihan umum di Indonesia merupakan masalah kronis yang harus dicarikan solusinya. Kebutuhan dana untuk mendapatkan suara dari pemilih yang makin transaksional membuat peluang mendapatkan legislator berkualitas makin kecil. Sebaliknya, makin besar kemungkinan korupsi dari calon terpilih yang ingin mengembalikan “modal” secepatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan para calon legislator dalam pemilu dengan sistem proporsional terbuka telah menjadi keluhan dalam beberapa tahun terakhir. Pada Pemilu 2024, kebutuhan dana ditengarai makin besar. Politikus dari Partai Golkar, Dito Ariotedjo, mengaku mengeluarkan dana lebih dari Rp 10 miliar. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, menyatakan mengucurkan Rp 6 miliar hanya untuk mencetak alat peraga kampanye. Sudah begitu pun keduanya gagal terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dito dan Masinton hanya contoh dari 9.917 calon anggota DPR yang berebut suara. Mereka berasal dari 18 partai politik dan bersaing di 84 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Ada pula calon anggota dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan kabupaten atau kota serta Dewan Perwakilan Daerah. Selain buat keperluan alat peraga kampanye semacam spanduk dan baliho, kebutuhan dana terbesar dialokasikan untuk “amplop” yang dibagikan kepada para calon pemilih alias politik uang.
Angka yang disebut Dito dan Masinton jauh melampaui kebutuhan dana untuk keperluan serupa di pemilu sebelumnya. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia pada 2014 menemukan ongkos calon legislator di DPR mencapai Rp 1,15-4,46 miliar. Adapun studi Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan calon legislator mesti mengeluarkan Rp 1 miliar hingga lebih dari Rp 5 miliar.
Kebutuhan dana juga tergambar pada lalu lintas peredaran uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan lalu lintas keuangan yang mencurigakan pada lebih dari 6.000 rekening pengurus partai peserta Pemilu 2024 atau calon legislator. Transaksi janggal tersebut mengarah pada dugaan politik uang di masa kampanye. Total dana yang diendus PPATK mencapai Rp 51,4 triliun. Salah satu indikasinya adalah uang miliaran rupiah disetor ke rekening pengurus partai. Tak lama kemudian, uang tersebut ditukar dengan pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu.
Dana besar yang diperlukan pada masa kampanye membuat kandidat terpilih mungkin saja melakukan korupsi. Banyak kasus korupsi yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir menguatkan dugaan itu. Aktivis partai menggerogoti dana negara untuk kebutuhan dana pribadi atau partainya. Kecenderungan itu makin terbuka dengan alokasi “pos-pos basah” untuk partai-partai yang bergabung dalam koalisi pemerintah.
Dalam jangka panjang, biaya politik yang tinggi menyempitkan jalan bagi orang-orang berkualitas tapi tak memiliki cukup modal. Akibatnya, DPR yang menentukan nasib masyarakat banyak melalui berbagai produk undang-undang akan diisi oleh politikus medioker yang disokong modal kuat.
Pekerjaan pada masa-masa mendatang adalah merumuskan sistem pemilu yang sederhana tapi menghasilkan legislator yang berkualitas. Meski berat, pekerjaan tersebut harus segera dimulai.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mahalnya Kursi Legislator Kita"