Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pemujaan Pada Habib Masa Kini

Mendewakan habib ciri mentalitas inferior dan feodalisme agama. Dipupuk sejak zaman kolonial.

7 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OTOKRITIK Mochtar Lubis tentang karakter masyarakat kita dalam Manusia Indonesia (1977) masih relevan hingga sekarang. Meski kerap disangkal, ciri-ciri tersebut terus hidup dalam alam bawah sadar kita. Dua di antaranya adalah berjiwa feodal dan berwatak lemah. Kita bisa melihatnya dari pemujaan terhadap mereka yang dianggap sebagai habib, “keturunan” Nabi Muhammad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menerima doktrin begitu saja, sebagian masyarakat menganggap orang yang menyandang gelar habib memiliki kedudukan sosial ataupun derajat yang lebih mulia. Ini menjelaskan alasan orang tersebut memiliki banyak pengikut meskipun tindak tanduknya tercela dan bahkan bertentangan dengan hukum positif. Gara-gara itu pula tak jarang masyarakat menjadi korban kejahatan orang dengan embel-embel “habib”. Orang awam mempercayai begitu saja omongan mereka, seperti dalam sejumlah kasus habib palsu di Kalimantan Selatan beberapa tahun terakhir.

Perkara Janes Meliawan Wibowo yang mengaku bernama Habib Ahmad Jans Assegaf, yang sedang ditangani Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, juga mencerminkan dua ciri masyarakat seperti yang dimaksud Mochtar Lubis. Ahmad membentuk grup pengajian di WhatsApp dan menahbiskan dirinya sebagai guru. Dia juga membuat blog berisi informasi nasabnya sebagai “keturunan” Nabi Muhammad dan mengklaim bisa mencatatkan nasab serupa bagi orang yang berminat. Sejumlah orang yang terobsesi mendapatkan gelar habib lewat jalur pintas ini kemudian rela merogoh kocek. 

Keinginan untuk mendapatkan status habib, bahkan meski harus membayar, merupakan contoh nyata masih lestarinya feodalisme agama. Dengan memiliki gelar habib, seseorang punya modal untuk memiliki kekuasaan religius seperti menjadi ulama. Meskipun gelar ini tak menganugerahkan hak yang istimewa bagi penyandangnya, anggapan sebagian orang Indonesia bahwa keturunan Nabi wajib dihormati membuat gelar tersebut menjadi penting.

Dirunut ke belakang, mental inferior tersebut dipupuk sejak era kolonial. Pemerintah Hindia Belanda membagi tiga golongan, yaitu orang-orang Eropa yang menempati kelas sosial teratas; orang-orang Timur Asing, termasuk orang Cina dan Arab, sebagai kelas menengah; dan orang Bumiputra di lapisan terbawah. Ketidaksetaraan itu lambat-laun diterima sebagai takdir, lalu merasuk ke dalam sanubari masyarakat kita hingga membentuk perasaan rendah diri yang awet sampai kini. 

Perasaan rendah diri tersebut, meminjam pendapat psikolog Alfred Adler, mendorong manusia untuk mengkompensasinya dengan mencari kesempurnaan yang tak dia miliki. Mental inferior itu lalu diluapkan dengan bereaksi secara berlebihan pada suatu hal. Misalnya dengan mengagung-agungkan mereka yang bergelar habib, tanpa menyisakan pikiran kritis sedikit pun.

Kelemahan masyarakat kita tersebut tak jarang dimanfaatkan penguasa, bahkan sejak era kolonial. Menurut Imaduddin Utsman, tokoh Nahdlatul Ulama yang meneliti zuriah Nabi Muhammad di Nusantara, dulu Belanda “merekrut” sejumlah orang dari Yaman untuk meredam potensi perlawanan umat Islam di sini. Orang-orang itu memuja-muji kebijakan pemerintah dan mendoakan Ratu Wilhelmina. Sebaliknya, mereka mengutuk pemberontakan, antara lain yang dilancarkan petani di Banten. Karena mereka dianggap sebagai keturunan Nabi, perkataan mereka banyak didengarkan oleh umat Islam di Hindia Belanda. 

Penelitian Imaduddin menyimpulkan bahwa sejumlah “keturunan” Nabi di Indonesia terputus nasabnya sehingga perlu diragukan. Jika kemudian ada penelitian lain yang membantah temuan Imaduddin, perdebatan soal “keaslian” keturunan Nabi semestinya sudah cukup menyadarkan umat bahwa silsilah dicatat oleh manusia dan, karenanya, bisa mengandung daif. Terbongkarnya praktik jual-beli gelar habib merupakan bukti lain bahwa status habib bisa saja didapatkan dari rekayasa.

Karena itu, fanatisme terhadap “keturunan” Nabi patut dikritik. Selain melestarikan sifat rendah diri, hal itu mengingkari kodrat bahwa setiap manusia terlahir setara. Dalam bahasa Buya Ahmad Syafii Maarif, “mendewa-dewakan keturunan Nabi merupakan bentuk perbudakan spiritual”.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus