Membaca Laporan Utamar TEMPO, 11 April 1992, tentang boom dai, siapa pun gembira dan bersyukur. Soalnya, dai yang selama ini digerakkan kalangan sarungan, dan terbatas di masjid-masjid atau surau-surau, kini semakin luas. Mereka yang menggelutinya berasal dari bermacam golongan dan kegiatannya sendiri merebak ke mana-mana: kampus, kantor, hotel, dan lain-lain. Emha Ainum Nadjib, yang disebut-sebut dai baru, adalah orang paling gembira dengan perkembangan ini. Betapa tidak, ia digemari banyak orang. Pengajian-pengajian yang diadakannya dibanjiri jemaah. Emha merasa bahwa dakwah yang dilakukan daidai baru paling bisa diterima masyarakat. Hingga ia membuat penilaian bahwa kaderisasi mubalig yang diadakan Majelis Tabligh Muhammadiyah tidak akan laku. Sayang sekali, Emha terlalu gegabah. Emha lupa bahwa umat yang membutuhkan dakwah di luar hotel-hotel atau kampus jauh lebih banyak. Mereka itu tinggal di desa dan daerah terpencil seperti daerah transmigran. Apakah Emha mampu berdakwah di daerah-daerah tersebut? Masih diragukan. Sebab, di sana transportasi sulit. Tidak ada publikasi dan honornya tak sampai jutaan rupiah. Malahan bisa terjadi sebaliknya, yakni si dai membayar sendiri dakwah yang dilakukannya. Jadi, untuk umat penggemar dai semacam Emha, mungkin saja dai-dai produk Majelis Tabligh memang tidak laku. Tapi, bagi umat jumlah terbesar, dai-dai ini laku. Sebab itu, tidak perlu ada perasaan lebih dibutuhkan ketimbang orang lain. ABDUL HAFIZ HANZ Fakultas Syariah Jurusan Peradilan Agama IAIN Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini