DIA datang dengan wajah capek seorang eksekutif yang sudah kehilangan nafsu. "Saya kepingin berhenti," ia mendesah. "Saya kepingin melakukan hal-hal yang lain." Umurnya 57. Orang mengatakan ia cukup sukses. Ia telah memimpin biro arsitek itu selama seperempat abad. Ia dianggap pemimpin yang menghasilkan satu holding company yang membawahkan beberapa bisnis. "Saya kepingin berhenti, tapi saya tak tahu siapa yang tepat mengganti saya," katanya. "Dan saya juga tak tahu bagaimana caranya memilih pegganti saya." Cerita ini mungkin tak pernah terjadi dalam kehidupan Anda. Tapi ia bukan sesuatu yang mustahil. Sebuah perusahaan baja Jerman, Hoesch, punya seorang bos bernama Detlev Rohwedder. Pada suatu saat, ia meninggalkan perusahaan itu buat sementara, untuk memimpin Treuhandanstalt, badan yang bertugas menswastakan firma-firma yang dahulu ada di Jerman Timur. November 1990, Rohwedder memutuskan untuk terus bekerja di Treuhandanstalt. Posisinya kosong. Siapa yang mengganti, tak disiapkannya dengan baik. Baik direktur keuangan maupun direktur pemasaran bersaing untuk menduduki posisi itu. Ketika setelah beberapa bulan kemudian yang ditunjuk oleh dewan komisaris adalah seorang lain di luar Hoesch, sang direktur keuangan minta berhenti. Ada yang tak enak dalam peristiwa seperti itu- dan bukan hanya soal perasaan. "Perselisihan begitu bisa mencederai perusahaan," tulis The Economist dalam sebuah analisanya 9 Maret 1991. "Selama pergulatan yang berkepanjangan untuk kepemimpinan, keputusan-keputusan penting yang strategis jadi tertunda, citra perusahaan di masyarakat jadi cacat, dan kepercayaan bank bisa rusak. Bahkan, setelah perselisihan diselesaikan, keretakan yang mendalam sering masih tersisa dalam perusahaan itu." Mengganti pemimpin memang bukan perkara mudah- terutama apabila posisi pemimpin begitu dominan, begitu menentukan, dan begitu tinggi di pucuk sunyi. Sebab itu, orang cenderung memilih kontinuitas antara pemimpin lama dan pemimpin baru karena orang mengharapkan semacam garansi: semoga penggantian pimpinan, proses yang musykil itu, tak menghasilkan buah yang salah. Tapi "kontinuitas" punya risikonya sendiri. Bisakah Jan Tim- mer, seorang veteran dalam perusahaan Philips, misalnya, membawa Philips ke arah yang tak mengulangi kesalahan lama? Tidakkah memilih kontinuitas cenderung melahirkan produk fotokopi? Bukankah itu jalan ke arah terusnya sebuah langgam dan strategi yang ada- biarpun langgam dan strategi itu keliru? Apalagi jika si pemimpin tua yang memilih sendiri penggantinya? Tidak selamanya, memang. Menurut The Ecnomist pula, menjelang Armand Hammer meninggal, ia menunjuk Ray Irani untuk memimpin Occidental Petroleum. Irani ternyata tak cuma membebek pak tua yang otoriter itu. Ia membuat perubahan radikal dan berhasil. Dan kita pun ingat akan Spanyol, ketika Jenderal Franco mangkat dan menunjuk Juan Carlos sebagai kepala negara: raja yang muda itulah yang membawa Spanyol ke arah demokrasi seperti sekarang, tanpa gejolak, lebih mantap, setelah berpuluh tahun mengkeret di bawah otokrasi Franco. Tapi Occidental Petroleum dan Spanyol barangkali bernasib mujur. Ada yang lebih celaka. Pada umur 26 tahun, Warwick Fairfax meneruskan kepemimpinan perusahaan keluarganya, John Fairfax & Sons, sebuah konglomerat media Australia. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan mencoba aneh-aneh dan terlibat utang besar. Dan bangkrut. Walhasil, seorang pemimpin tampaknya memang tetap diuji pada saat ia tak ingin bekerja lagi. Banyak perusahaan yang telah terbukti berhasil di dalam tes itu. Tapi tak semua perusahaan punya rencana dalam perkara suksesi. Bahkan, menurut survei Korn Ferry International, sebuah firma yang menjual jasa merekrut para eksekutif, ada lebih dari 100 perusahaan top di Amerika tak tahu bagaimana caranya memilih pengganti bos mereka. Tapi memang bagaimana cara yang mujarab untuk menyiapkan pengganti? Tampaknya, tak ada sistem dan prosedur yang bersih dari risiko, dan tak ada yang bebas dari cacat. Apabila yang dipertaruhkan ialah sesuatu yang besar sekali harganya, risiko dan cacat memang akan tambah mengancam. Soalnya kemudian: siapakah, lapisan dan pihak yang manakah, yang paling berat akan nenanggung risiko. Dan The Economist menulis, "Sebuah birokrasi yang luas, yang boloog-bolong oleh vested interests, dapat ... melahirkan seorang calon hasil kompromi yang tak layak untuk memimpin seluruh perusahaan." Maka, berbahagialah bila bisnis Anda belum jadi oktopus yang kegemukan, punya sistem suksesi yang baik, dan pernah diuji dalam praktek- serta bernasib mujur. Tanpa itu, que sera sera sajalah. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini