Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Buruh

Wilhelm Weitling dan Karl Marx terlibat debat. Dalam rapat dipimpin Engels mempersoalkan perlunya para anggota gerakan perbaikan nasib buruh untuk punya doktrin bersama. Buruh bisa merubah dunia.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK seorang pun kini ingat akan Wilhelm Weitling, seorang tukang jahit, ketika semua orang tak akan lupa Dr. Karl Marx. Tapi kedua orang itu pernah bertemu, di tahun 1846, dan dialog mereka bisa bercerita banyak tentang kemelaratan dan perjuangan. Hari itu ada rapat Deutscher Bildungsverein di Kota Brussels di awal musim semi. Perhimpunan itu sebenarnya pertemuan rahasia kaum kiri Jerman yang terusir dari tanah air. Marx masih berumur 27 tahun waktu itu: rambutnya tebal menjambul hitam, jas panjangnya terkancing sampai atas, dan ia cuma dikenal karena ia tadinya redaktur Rheinische Zeitung. Weitling sebaliknya. Dia tokoh gerakan buruh yang pernah dipenjarakan 10 bulan di Zurich karena bukunya yang menggambarkan Yesus sebagai seorang komunis revolusioner. Malah tahun itu, Weitling sudah menerbitkan tiga buku. Syahdan, kedua orang itu terlibat debat. Tentu saja Weitling bukan sebanding Marx. Dia seorang tukang jahit dan otodidak. Dia anak haram seorang babu Jerman. Wajahnya lumayan bagus, tapi di bawah rambut pirangnya dia berpakaian seperti pedagang keliling. Dan dia bicara bertele-tele dengan rupa orang yang kesusahan. Dan Marx yang selalu gemar berperang kata-kata jadi tak sabar. Yang dipersoalkan dalam rapat yang dipimpin Engels itu ialah perlunya para anggota gerakan perbaikan nasib buruh untuk punya doktrin bersama. Marx -- yang duduk di sebelah Engels dengan tangan pegang pensil dan kepalanya bagaikan kepala singa -- sudah mulai menembak bahkan sebelum Engels selesai. "Ayo ceritakan, Weitling," katanya, "argumen apa yang kau pakai untuk mempertahankan kegiatan revolusi-sosialmu." Weitling pun berpanjang lebar. Bukan tugasnya untuk bikin argumen, katanya. Dia tak bikin dasar pemikiran tak juga teori ekonomi. Dia hanya menggunakan apa yang ada untuk membuka mata buruh tentang nasib mereka. Mendengar ini, Marx angkat suara. Tanpa ide ilmiah dan doktrin yang kongkret, katanya, kita hanya akan kasih buruh satu permainan kosong. Weitling mencoba membela diri, dengan pipi pucatnya yang jadi memerah. Dia katakan, dengan suara menggeletar, bahwa orang macam dia tak bisa dikatakan cuma kosong. Betapa ia terhibur oleh ratusan surat dan pernyataan terima kasih dari para buruh di seluruh Jerman. Tak ayal, Marx meluap. Dia pukul meja keras-keras dan berdiri dan berteriak, "Kebloonan tak akan membantu siapa pun!" Dan rapat bubar. Konfrontasi hari itu bisa dipakai untuk ilustrasi tentang dua cara melihat dan menyelesaikan penderitaan buruh. Bagi Weitling, yang penting bukan teori dulu. Yang penting adalah perjuangan perbaikan nasib itu sendiri. Bagi Marx, seperti kemudian ditekankan oleh Lenin, tanpa teori revolusi tak ada revolusi. Lenin bahkan mengecam gerakan buruh yang tak mengembangkan kesadaran kelas ke perjuangan politik. Dia mengecam serikat sekerja yang cuma mengurus gaji, lembur, dan cuti. Tak aneh bila di Amerika di tahun 1940-an, gerakan buruh komunis berdemonstrasi untuk mengganyang Chiang Kaishek nun jauh di Cina, sedang gerakan buruh Katolik menuntut gaji naik demi anak-bini yang keroncongan. Tak mengherankan bila kaum Marxis kecewa ketika buruh gula di Jawa di tahun 1920-an cepat puas setelah mogok mereka berhasil dan gaji diperbaiki. Kok tak terus, padahal dunia belum diubah dan perjuangan belum selesai? Tapi itulah soalnya. Dunia memang perlu diubah, dan mengubahnya sulit serta lama, sementara buruh bukanlah semuanya para resi yang bisa tahan bertapa untuk surga yang masih jauh. Lagi pula, atas nama banyak hal yang muluk dan surga yang kelak, buruh sering jadi korban. Contohnya bisa di kanan, bisa di kiri. Rezim kanan Korea Selatan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, tapi caranya ialah dengan mendukung konglomerat (chaebol) dan di saat yang sama mengekang buruh agar tak menuntut banyak. "Jika kita membangun imperium," kata seorang pemimpin chaebol Lucky-Goldstar Group di Seoul kepada Wall Street Journal, "kita perlu anggota yang loyal." Dan seruan harap loyal itu juga terdengar di pemerintahan kiri yang justru membawa nama proletariat di tanduknya. Munculnya Solidaritas di Polandia dari tongkrongan komunisme adalah meletupnya lahar ketidakpuasan buruh di bawah satu partai bolsyewik -- setelah sejak zaman Lenin mereka disuruh membungkuk demi Revolusi. Siapa tahu bahwa ironi itu akan terjadi pula di Polandia yang baru kini. Solidaritas menang, ikut memerintah, dan harus membangun ekonomi. Kini Kuron, bekas pemimpin buruh yang jadi menteri perburuhan, tiap pekan muncul di televisi dan mengumandangkan logisnya pengorbanan. "Saya dulu biasa bekerja dengan pemogokan," katanya, mengeluh tapi apa daya, "kini saya harus memadamkannya." Dia tahu dilema ini karena dia buruh seperti juga Weitling di depan Marx tahu karena dia bukan intelektual yang bisa meramal sejarah bukan pula nabi yang bisa bicara tentang puasa dan surga. Dia cuma anak babu, si tukang jahit yang tahu apa artinya miskin. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus