Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Buya Syafii, Kalimatun Sawa, dan Negara Pancasila

Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa. Dengan latar belakang agama, suku, dan budaya yang berbeda, kesepakatan itu dibangun oleh para founding fathers, tak lain, demi keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inilah "kalimatun sawa" dimaksud.

8 Juni 2022 | 20.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni tahun ini diliputi duka mendalam. Empat hari sebelumnya, di hari termulia (sayyidul ayym), Jumat, 27 Mei 2022, Prof Dr KH Ahmad Syafii Maarif kembali ke hadirat-Nya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum Muhammadiyah 1998-2005 yang akrab disapa Buya Syafii itu, tak lain, adalah anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Kita tentu sangat kehilangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita semua berduka, bukan hanya karena Buya Syafii adalah tokoh penting di lembaga yang sangat terhormat itu. Lembaga yang mempunyai tanggungjawab mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu, kita benar-benar kehilangan sosok teladan.

Banyak gelar untuknya. Guru bangsa, Penjaga Pancasila, Manusia Pancasila, dan bahkan Pancasilais sejati pun layak diberikan. Buya Syafii, sebagaimana Gus Dur, bagaikan buku yang tak akan pernah selesai dibaca.

Kalimatun sawa

Dalam konteks “menjaga” Pancasila, kita memang tak bisa menafikkan peran tiga tokoh bangsa ini: Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii. Sumbangsih mereka tidak kecil nilainya, dengan bobot kontribusi yang luar biasa.

Cak Nur, kita tahu, sudah cukup lama mengembangkan konsepsi Pancasila sebagai “kalimatun sawa”, menjadi titik temu yang menyatukan pelbagai keragaman dan perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika.

Pemikiran yang masyhur pada 1980an tersebut, sampai kini pun masih menjadi rujukan utama. Istilah “kalimatun sawa” itu sendiri sebenarnya sudah tak asing bagi umat Islam, merupakan istilah baku yang secara tegas disebutkan Al-Quran. Yakni, dalam surat Ali Imran ayat 64.

Syekh Nawawi al-Bantani, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa konteks ayat itu diturunkan kepada kaum Nasrani Najran yang tidak mau menerima ajakan Rasulullah Saw untuk memeluk Islam. Mereka terus berdalih dengan menyampaikan segala dalil, juga tak mau membayar jizyah atau pajak.

Tak hanya kepada Nasrani Najran, ayat tersebut juga ditujukan kepada kaum Yahudi Madinah. Di antara mereka saling berselisih paham perihal agama nabi Ibrahim.

Perselisihan itu pun pada akhirnya melibatkan Rasulullah Saw sebagai kepala negara untuk mencari jalan keluarnya. Maka turunlah perintah Allah agar meninggalkan perdebatan dan mencari titik temu sebagai jalan tengah. Titik temu inilah yang kemudian disebut “kalimatun sawa”.

Cak Nur menyebut “kalimatun sawa” sebagai “common platform” atau kesepakatan bersama. Oleh Sayyed Hossen Nashr disebut dengan “a common a words”. Intelektual muslim dari Teheran ini pula yang pemikirannya banyak memengaruhi pandangan Cak Nur.

Dalam perspektif itulah, Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa. Dengan latar belakang agama, suku, dan budaya yang berbeda, kesepakatan itu dibangun oleh para founding fathers, tak lain, demi keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inilah “kalimatun sawa” dimaksud.

Pada dekade 1980an, terutama umat Islam, memang mengalami “dilema ideologis” ketika pemerintahan Suharto memberlakukan kebijakan penerapan asas tunggal bagi seluruh ormas dan partai politik. Pancasila harus menjadi satu-satunya ideologi. Tak ada pilihan lain!

Konstitusi telah “membebankan” itu, sebagaimana UU Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar; juga UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun yang menarik, NU justru telah terlebih dahulu menerima Pancasila sebagai asas sebelum UU itu sendiri diterapkan.

Keputusan fundamental tersebut ditetapkan pada Muktamar NU di Situbondo (1984), setelah tahun sebelumnya melalui Munas Alim Ulama di tempat yang sama dirumuskan Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam. Adapun Muhammadiyah baru pada 1986 menerimanya.

Ketetapan dua ormas terbesar itu menjadi tonggak penting dalam kerangka mengokohkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Juga demi keutuhan bangsa.

Bagi NU, negara berdasarkan Pancasila merupakan perwujudan dari Mu'hadah Wathniyah (perjanjian kebangsaan). Muhammadiyah menyebutnya sebagai Drul 'Ahdi was-Syahdah (negara perjanjian dan kesaksian atau pembuktian).

Yang sangat menarik sebenarnya, baik NU maupun Muhammadiyah telah memberikan contoh terbaik, bagaimana "tafsir" atas Pancasila harus dilakukan. Sehingga penerimaan itu bukan sekadar "tunduk" pada kepentingan kekuasaan. Bukan pula karena alasan pragmatisme politik semata. Sebaliknya, lebih karena kesadaran historis, juga berdasarkan pada prinsip dan landasan keagamaan.

Keteladanan NU dan Muhammadiyah di dalam mengokohkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, tentu tak dapat dilepaskan dari peran Gus Dur dan Buya Syafii, sebagai pemimpin ormas besar yang sangat berpengaruh.

Kita tahu, sejak muda Gus Dur telah banyak mengembangkan pemikiran tansformatif. Terutama, menyangkut hubungan antara agama dan negara yang harus saling menopang (komplementer). Jasa besar di balik keputusan fundamental NU yang telah mengantarkannya sebagai Ketua Umum PBNU saat itu. Perubahan mendasar pun dilakukan, khususnya berkaitan dengan orientasi politik kebangsaan dan komitmen kerakyatan.

Sementara Buya Syafii, meski baru tampil memimpin Muhammadiyah pada 1990an, namun sekembalinya dari Chicago pada 1983, juga telah banyak mengembangkan pemikiran mendasar tentang masalah keislaman dan kebangsaan. Kita bisa membaca karya-karyanya, antara lain: Islam dan Masalah Kenegaraan (1984).

Selama kepemimpinannya di Muhammadiyah tak sedikit perubahan dilakukan. Dia selalu mendorong Muhammadiyah dan NU, yang mewakili dua arus utama Islam Indonesia, agar terus bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan NKRI dari segala macam tangan perusak. Tanpa kecuali, dari mereka yang memakai bendera agama.

Baginya, Muhammadiyah dan NU adalah benteng utama untuk membendung infiltrasi ideologi yang telah kehilangan perspektif masa depan untuk Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan.

Gincu dan garam

Antara Buya Syafii dan Cak Nur sebenarnya berada pada “frekuensi” keislaman dan keindonesiaan yang sama. Mereka, disebut Gus Dur sebagai "pendekar Chicago", murid terbaik dari Fazlur Rahman, pemikir neo-modernisme Islam kelahiran Pakistan. Selain mereka, juga ada Amien Rais.

Oleh Gus Dur, Buya Syafii dijelaskan sebagai orang yang tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem. Dia mempunyai kesamaan dengan Cak Nur, lebih mengutamakan pada aspek kultural Islam.

Beda dengan Amien Rais yang memandang arti kekuasaan politik menjadi sangat penting, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Sampai saat ini pun dia masih “getol” memperjuangkannya melalui partai politik.

Diakui sendiri oleh Buya Syafii, dari Fazlur Rahman lah dia dapatkan pencerahan. Sebelum itu, karena banyak dipengaruhi pemikiran Abul A'la Maududi dan Sayyid Qutub, dia termasuk fundamentalis dalam pemahaman keislaman. Bahkan, pernah pula terobsesi untuk mendirikan negara Islam.

Diceritakan, ketika hal itu dia sampaikan secara langsung kepada sang guru, dan bermaksud meminta seperempat saja ilmunya, Fazlur Rahman sama sekali tak mempersoalkan. Justru dia hanya menjawab dengan senyum. “Nanti akan saya berikan semua.” Demikian Fazlur Rahman.

Namun yang menarik, baru tiga bulan “nyantri” kepadanya, Buya Syafii telah berubah haluan. Padahal empat tahun dia berguru kepada sang neo-modernis itu. “Fazlur Rahman telah mencuci otak saya, dari dia saya bisa menangkap ruh Al-Quran yang sebenarnya,” terang Buya Syafii.

Pemahaman keislaman itulah yang kemudian sangat memengaruhi jalan pemikiran Buya Syafii. Bahkan, dia termasuk generasi awal yang mengusung “paham” neo-modernisme di Indonesia. Corak dasar pemahaman yang lebih menekankan pada substansi dan esensi nilai-nilai Islam daripada formalisasi (ajaran) Islam itu sendiri.

Dengan bahasa sederhana, dia sering istilahkan dengan Islam gincu dan Islam garam. Maksudnya jelas, kita jangan mudah terjebak dengan Islam gincu. Sekadar lipstik, hanya terlihat merah merona membasahi bibir. Tetapi hambar ketika dirasa. Islam yang hanya mementingkan dan selalu menonjolkan simbol-simbol.

Jadilah Islam garam, pesannya. Tidak terjebak pada simbol dan formalisasi, namun substansinya terasa. Sebagaimana sifat garam, larut, tidak terlihat, namun meninggalkan jejak. Jelas rasanya. Islam garam lebih mengutamakan substansi nilai-nilai Islam. Kemaslahatannya benar-benar dirasakan.

Dalam konteks bernegara, kalangan Islam gincu jelas mencitakan terbentuknya negara Islam. Setidaknya, melakukan formalisasi hukum Islam. Hal mana Buya Syafii sendiri pun pernah mendambakannya. Namun sebaliknya, Islam garam tak lagi mempersoalkan bentuk negara, tetapi lebih kepada substansi nilai-nilai yang diterapkannya.

Dalam keyakinan Buya Syafii, Islam adalah ruh yang memberikan landasan spiritual, etik dan moral. Yakni, Islam yang damai. Islam yang konstruktif. Islam yang dapat mengayomi bangsa ini, tanpa membedakan suku, agama, dan lain-lain. Singkat kata, keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan.

Dalam kerangka itulah kita memahami konsistensi Buya Syafii di dalam menjaga keutuhan NKRI. Baginya, ini sudah final karena ideologi dan dasar negara Pancasila merupakan capaian terbaik bagi umat Islam khususnya. Ada dua alasan yang dia sampaikan:

Pertama, negara Indonesia tidak hanya menjamin kebebasan umat Islam untuk menjalankan ajarannya, tetapi fasilitas juga diberikan oleh negara;

Kedua, konstitusi negara (di dalamnya termaktub Pancasila) tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan, pada taraf tertentu, telah merefleksikan ajaran tauhid.

Maka, pesannya tegas: jangan biarkan siapa pun juga yang hendak menenggelamkan negara ini dengan mengganti ideologi Pancasila. Dengan nilai-nilai Pancasila, umat Islam Indonesia telah dapat membumikan ajaran Islam dengan baik melalui media dasar yang telah disepakati itu. Negara Pancasila sudah sangat baik. Dengan demikian, negara dengan merk Islam tidak diperlukan lagi untuk Indonesia.

Kalisuren, 7 Juni 2022

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus