PERNAHKAH anda mencoba menghitung jumlah bintang di langit? Di
samping dianggap mustahil dan sia-sia, komat kamit
menuding-nuding bintang yang terserak di kegelapan malam itu,
dapat dianggap sinting. Karena hanya ahli tata surya dan
perbintangan yang punya prerogatif dan sarana untuk itu. Padahal
banyaknya bintang di langit, mungkin tidak sebesar jumlah
penduduk Indonesia.
Toh orang--dan pemerintah--kepingin tahu berapa mulut yang tiap
hari mesti disuap dan bagaimana perikehidupan manusia Indonesia
ini yang sebenarnya. Menghitung bintang yang tidak kawin, tidak
beranak dan tidak suka bermigrasi saja sudah bikin pusing dan
tidak pernah seratus persen benar. Apalagi menghitung manusia,
dengan mesti mencatat segala ulah dan keadaannya yang
sewaktu-waktu berubah itu.
Dulu untuk menjamin kelengkapan hitungan di sementara negara
lain, penduduk yang telah dicacah suka diberi pening. Maksudnya
untuk memudahkan mencari yang masih terlewat, dan mencegah
seseorang dihitung lebih dari sekali.
Tetapi karena manusia itu ialah mahluk sosial dan mahluk
ekonomi, pening dapat berubah menjadi penyangga atau malah
gangguan status atau menjadi barang ekonomi, sarana penghindar
kerepotan. Pinjam meminjam pening pun dilakukan. Pening hilang
atau digadaikan amat boleh jadi. Maka pekerjaan menghitung pun
menjadi justru lebih ruwet.
Kakek saya mensensus kerbaunya yang dilepas di hutan dengan cap
besi panas di pantatnya masing-masing. Biarpun kerbaunya hanya
puluhan, kakek toh tak pernah tahu persis berapa jumlah kerbau
hasil sensusnya. Dalam sensus, di samping alat dan cara
menghitung diperlukan juga keahlian.
Mencacah yang khas
Di pedalaman Irian Jaya, mencacah penduduk yang terserak hunian
dan tempat kerjanya di hutan-hutan itu, diperlukan akal kancil
menghitung kepala buaya. Lewat kepala suku dan kepala kampung,
penduduk dikumpulkan. Pembagian garam dan tembakau pun dijadikan
sarana pokok. Sementara penduduk kumpul, konon telunjukpun sibuk
menghitung kepala yang tampak, dan menanyakan anak bininya.
Di masyarakat Badui, warga yang pantang meninggalkan huma
garapannya dan tidak mengizinkan sembarang petugas berkeliaran
menyusup ke sana ke mari, upaya khusus mesti diadakan. Sensus
toh akhirnya harus cukup percaya apa kata pemimpin masyarakat
Badui itu.
Di Jakarta, menghitung tuna wisma merupakan kerepotan sendiri.
Hanya di hari H, jam J, hansip berpetromax mungkin dikerahkan,
membangunkan mereka yang berserakan tidur di tempat-tempat
terbuka, atau di kawasan yang bukan hunian lazim. Manakala semua
sudut kota telah dijelajahi, hitungan jumlah mereka pun dianggap
memadai. Tercecer satu dua tak apa. Lebih baik daripada
ditinggalkan sama sekali.
Suku terasing yang mungkin amat merasa asing terhadap segala
aturan di negara sendiri, lebih repot lagi mencacahnya. Kalau
bisa diusahakan didekati untuk dihitung di tempat. Bila sulit,
minta bantuan petugas Dinas Sosial setempat. Bila toh masih
tidak mungkin, apa boleh buat,terpaksa mengandalkan pada catatan
Dinas Sosial setempat. Ingat, jumlah mereka toh merupakan bagian
yang amat kecil dari penduduk yang mudah dicacah.
Serius tetapi tidak serem
Cacah jiwa, merupakan tugas nasional yang serius, tetapi tidak
serem. Bila menjadi serem, tentu pelaksananya akan prihatin.
Karena dalam suasana kesereman, kecermatan hasil cacah jiwa
dapat terganggu. Bila ada doa cacah jiwa, manteranya tentulah
mengandung lafal tentang kewajaran dan kebenaran. Agar semua
penduduk menjawab pertanyaan secara wajar dan benar.
Kesereman dapat terjadi secara sengaja atau tak sengaja dari
cara petugas mengajukan pertanyaan dan bersikap. Kesereman dapat
pula terjadi dari pertanyaan yang diajukan. Menyusun pertanyaan
sewajar mungkin, tidak menyentuh soal yang peka, dan melatih
petugas untuk hanya mengupayakan pencatatan secara lengkap,
benar dan teliti, merupakan jimat pensensusan.
Bila petugas cacah jiwa boleh bersyukur maka syukur pertama
tentunya kepada kesediaan penduduk menjadi pemberi keterangan
yang baik. Syukur kedua, alhamdulillah sensus yang serius ini
telah terlaksana tanpa menjadi serem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini