Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cacah Jiwa

Cacah jiwa merupakan tugas nasional yang serius tapi tak seram. bila menjadi seram, tentu pelaksanaannya akan prihatin. keseraman dapat disengaja atau tidak. menyusun pertanyaan dan bersikap harus dgn wajar.

25 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNAHKAH anda mencoba menghitung jumlah bintang di langit? Di samping dianggap mustahil dan sia-sia, komat kamit menuding-nuding bintang yang terserak di kegelapan malam itu, dapat dianggap sinting. Karena hanya ahli tata surya dan perbintangan yang punya prerogatif dan sarana untuk itu. Padahal banyaknya bintang di langit, mungkin tidak sebesar jumlah penduduk Indonesia. Toh orang--dan pemerintah--kepingin tahu berapa mulut yang tiap hari mesti disuap dan bagaimana perikehidupan manusia Indonesia ini yang sebenarnya. Menghitung bintang yang tidak kawin, tidak beranak dan tidak suka bermigrasi saja sudah bikin pusing dan tidak pernah seratus persen benar. Apalagi menghitung manusia, dengan mesti mencatat segala ulah dan keadaannya yang sewaktu-waktu berubah itu. Dulu untuk menjamin kelengkapan hitungan di sementara negara lain, penduduk yang telah dicacah suka diberi pening. Maksudnya untuk memudahkan mencari yang masih terlewat, dan mencegah seseorang dihitung lebih dari sekali. Tetapi karena manusia itu ialah mahluk sosial dan mahluk ekonomi, pening dapat berubah menjadi penyangga atau malah gangguan status atau menjadi barang ekonomi, sarana penghindar kerepotan. Pinjam meminjam pening pun dilakukan. Pening hilang atau digadaikan amat boleh jadi. Maka pekerjaan menghitung pun menjadi justru lebih ruwet. Kakek saya mensensus kerbaunya yang dilepas di hutan dengan cap besi panas di pantatnya masing-masing. Biarpun kerbaunya hanya puluhan, kakek toh tak pernah tahu persis berapa jumlah kerbau hasil sensusnya. Dalam sensus, di samping alat dan cara menghitung diperlukan juga keahlian. Mencacah yang khas Di pedalaman Irian Jaya, mencacah penduduk yang terserak hunian dan tempat kerjanya di hutan-hutan itu, diperlukan akal kancil menghitung kepala buaya. Lewat kepala suku dan kepala kampung, penduduk dikumpulkan. Pembagian garam dan tembakau pun dijadikan sarana pokok. Sementara penduduk kumpul, konon telunjukpun sibuk menghitung kepala yang tampak, dan menanyakan anak bininya. Di masyarakat Badui, warga yang pantang meninggalkan huma garapannya dan tidak mengizinkan sembarang petugas berkeliaran menyusup ke sana ke mari, upaya khusus mesti diadakan. Sensus toh akhirnya harus cukup percaya apa kata pemimpin masyarakat Badui itu. Di Jakarta, menghitung tuna wisma merupakan kerepotan sendiri. Hanya di hari H, jam J, hansip berpetromax mungkin dikerahkan, membangunkan mereka yang berserakan tidur di tempat-tempat terbuka, atau di kawasan yang bukan hunian lazim. Manakala semua sudut kota telah dijelajahi, hitungan jumlah mereka pun dianggap memadai. Tercecer satu dua tak apa. Lebih baik daripada ditinggalkan sama sekali. Suku terasing yang mungkin amat merasa asing terhadap segala aturan di negara sendiri, lebih repot lagi mencacahnya. Kalau bisa diusahakan didekati untuk dihitung di tempat. Bila sulit, minta bantuan petugas Dinas Sosial setempat. Bila toh masih tidak mungkin, apa boleh buat,terpaksa mengandalkan pada catatan Dinas Sosial setempat. Ingat, jumlah mereka toh merupakan bagian yang amat kecil dari penduduk yang mudah dicacah. Serius tetapi tidak serem Cacah jiwa, merupakan tugas nasional yang serius, tetapi tidak serem. Bila menjadi serem, tentu pelaksananya akan prihatin. Karena dalam suasana kesereman, kecermatan hasil cacah jiwa dapat terganggu. Bila ada doa cacah jiwa, manteranya tentulah mengandung lafal tentang kewajaran dan kebenaran. Agar semua penduduk menjawab pertanyaan secara wajar dan benar. Kesereman dapat terjadi secara sengaja atau tak sengaja dari cara petugas mengajukan pertanyaan dan bersikap. Kesereman dapat pula terjadi dari pertanyaan yang diajukan. Menyusun pertanyaan sewajar mungkin, tidak menyentuh soal yang peka, dan melatih petugas untuk hanya mengupayakan pencatatan secara lengkap, benar dan teliti, merupakan jimat pensensusan. Bila petugas cacah jiwa boleh bersyukur maka syukur pertama tentunya kepada kesediaan penduduk menjadi pemberi keterangan yang baik. Syukur kedua, alhamdulillah sensus yang serius ini telah terlaksana tanpa menjadi serem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus