Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Demam shogun di amerika

Sutradara: jerry london pemain: yoko shimada resensi oleh: eka budianto. (fl)

25 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMAM malam samurai mendadak melanda sejumlah kota di Amerika Serikat. Di kampus perguruan tinggi, rumah makan, toko dan dalam bis banyak orang mengucapkan kalimat bahasa Jepang kepada kenalan atau sahabatnya. Sake, minuman khas Jepang, yang dibuat dari beras, diserbu pembeli. Di Little Tokyo, Los Angeles, boneka kecil Shogun laris terjual. Ada apa sebenarnya? Jaringan televisi National Broadcasting Corporation (NBC), AS, ketika itu (15 - 19 September) tengah mengudarakan film Shogun, produksinya sendiri. Film tersebut -- diangkat dari novel Shogun, karya James Clavell, dengan masa putar 12 jam -memang berhasil merampas perhatian rakyat AS. Selama lima hari pemutarannya, diperkirakan lebih 25 juta keluarga menyaksikannya. Ia hampir saja mengungguli film seri Roots, produksi televisi ABC (American Broadcasting System) yang meraih penonton 32 juta keluarga tiga tahun lalu. Novel Shogun -- 1210 halaman, sudah dicetak 7 juta eksemplar--memang populer di AS. Ketika filmnya diputar, Dell Publishing Co., penerbitnya, mencetak ulang 3,5 juta lagi yang dikabarkan laris terjual. Kisah Shogun sesungguhnya bertumpu pada pengalaman John Blackthorne (dalam film diperankan Richard Chamberlain yang juga dikenal membintangi film seri TV Dr. Kildare), seorang navigator kapal layar Belanda Erasmus, 260 ton, yang terdampar di Jepang. Ketika itu (awal abad ke-17) Jepang tengah menginjak zaman permulaan Shogun, pemerintahan diktatur militer. Di sana Blackthorne secara berangsur terlibat dalam berbagai pertentangan antara sesama warlords. Ia banyak menolong bangsawan Toranaga (diperankan Toshiro Mifune) mencapai cita-citanya menjadi Shogun lewat serangkaian pertempuran. Tapi di sana pula Blackthorne jatuh hati pada lady Todo Mariko (diperankan Yoko Shimada), istri Buntaro, seorang Daimyo terkemuka Jepang. Berbeda dengan kisah dalam bukunya, Shogun setelah difilmkan hampir jadi romantis. Tulis Eka Budianta, wartawan TEMPO yang menontonnya di Los Angeles: "Hampir seluruh film ini dipenuhi dengan adegan percintaan gelap antara Blackthorne dengan Marikosan. Padahal bukunya, selain mengemukakan keindahan percintaan, juga memaparkan kekejaman intrik politik, seks dan jalan hidup sejarah Jepang. Banyak peristiwa dan suasana dalam buku tidak muncul di film. Tokoh Jepang di dalamnya dibiarkan berbahasa Jepang --sehingga banyak bagian tidak bisa dimengerti penonton." Shogun, dengan sutradara Jerry London, dibuat selama enam bulan (Juni-Desember 1979) dan menelan biaya US$22 juta (Rp 13,8 milyar). Sukses film itu diawali dengan suatu kerja keras dan promosi luar biasa. Sudah sejak tiga tahun lalu NBC mempublisitaskannya, setelah hak memfilmkannya dibeli US$1 juta (Rp 630 juta) dari James Clavell. Ditirunya cara promosi jaringan televisi ABC, yang sukses dengan film seri Roots, NBC menyediakan anggaran promosi US$0,5 juta (Rp 315 juta), sementara Roots menelan US$1 juta (Rp 630 juta). James Clavell diundangnya dalam suatu konperensi pers untuk menceritakan buku tersebut dan mengemukakan harapan akan pembuatan film itu. Ketika pengerjaan film akan dimulai, NBC melancarkan publisitas mengenai perahu kuno jenis apa yang harus dipakai untuk pelayaran dari San Fransisco ke Jepang. Gossip pun ditiupkan ke televisi tentang siapakah yang akan memegang peranan Blackthorne. Dan setelah film selesai dibuat, NBC menggalakkan strategi pemasarannya. Ia meniru sukses ABC memasarkan Roots dengan cara mempengaruhi guru dan murid. "Kami memang harus mampu menembus segala lapisan penonton," ungkap Ethel Wiant, Wakil Presiden NBC yang mengurus film serinya. Tidak berapa lama kemudian awak jaringan televisi tersebut sudah terlibat mcmbantu para guru menerangkan sejarah dan kebudayaan Jepang. Mereka juga menyediakan novel Shogun sebagai alat penunjang belajar, dan paket petunjuk memahami sejarah Jepang. Salah satu faktor yang membantu pemasaran adalah kenyataan bahwa Shogun sesungguhnya sudah populer di berbagai kampus. Stanford University di California, misalnya, juga turut membantu mengirimkan buku pegangan memahami kebudayaan Jepang kepada 15.000 anggota Lembaga llmu Sosial AS. Bahkan kelompok penerbitan Chicago Tribune Syndicate, termasuk di antaranya koran Philadelphia Inquirer dan New York Daily News, memasang halaman tambahan untuk memahami Shogun. Dengan izin pengarangnya, suatu perusahaan juga memanfaatkan demam itu dengan menjual T-Shirt, boneka-boneka dan lonceng model Shogun. Puncak promosinya adalah ketika NBC mengundang ke Los Angeles lebih 100 redaktur untuk menonton bagian awal film itu. Dan untuk menyebarkan kehebatan Shogun dari mulut ke mulut, NBC melakukan pemutaran preview di Hollywood untuk para produser, bintang film dan sutradara. Hal yang serupa juga dilakukannya di New York untuk para politikus, pedagang dan pemimpin sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus