DEMAM malam samurai mendadak melanda sejumlah kota di Amerika
Serikat. Di kampus perguruan tinggi, rumah makan, toko dan dalam
bis banyak orang mengucapkan kalimat bahasa Jepang kepada
kenalan atau sahabatnya. Sake, minuman khas Jepang, yang dibuat
dari beras, diserbu pembeli. Di Little Tokyo, Los Angeles,
boneka kecil Shogun laris terjual.
Ada apa sebenarnya? Jaringan televisi National Broadcasting
Corporation (NBC), AS, ketika itu (15 - 19 September) tengah
mengudarakan film Shogun, produksinya sendiri. Film tersebut --
diangkat dari novel Shogun, karya James Clavell, dengan masa
putar 12 jam -memang berhasil merampas perhatian rakyat AS.
Selama lima hari pemutarannya, diperkirakan lebih 25 juta
keluarga menyaksikannya. Ia hampir saja mengungguli film seri
Roots, produksi televisi ABC (American Broadcasting System) yang
meraih penonton 32 juta keluarga tiga tahun lalu.
Novel Shogun -- 1210 halaman, sudah dicetak 7 juta
eksemplar--memang populer di AS. Ketika filmnya diputar, Dell
Publishing Co., penerbitnya, mencetak ulang 3,5 juta lagi yang
dikabarkan laris terjual. Kisah Shogun sesungguhnya bertumpu
pada pengalaman John Blackthorne (dalam film diperankan Richard
Chamberlain yang juga dikenal membintangi film seri TV Dr.
Kildare), seorang navigator kapal layar Belanda Erasmus, 260
ton, yang terdampar di Jepang.
Ketika itu (awal abad ke-17) Jepang tengah menginjak zaman
permulaan Shogun, pemerintahan diktatur militer. Di sana
Blackthorne secara berangsur terlibat dalam berbagai
pertentangan antara sesama warlords. Ia banyak menolong
bangsawan Toranaga (diperankan Toshiro Mifune) mencapai
cita-citanya menjadi Shogun lewat serangkaian pertempuran. Tapi
di sana pula Blackthorne jatuh hati pada lady Todo Mariko
(diperankan Yoko Shimada), istri Buntaro, seorang Daimyo
terkemuka Jepang.
Berbeda dengan kisah dalam bukunya, Shogun setelah difilmkan
hampir jadi romantis. Tulis Eka Budianta, wartawan TEMPO yang
menontonnya di Los Angeles: "Hampir seluruh film ini dipenuhi
dengan adegan percintaan gelap antara Blackthorne dengan
Marikosan. Padahal bukunya, selain mengemukakan keindahan
percintaan, juga memaparkan kekejaman intrik politik, seks dan
jalan hidup sejarah Jepang. Banyak peristiwa dan suasana dalam
buku tidak muncul di film. Tokoh Jepang di dalamnya dibiarkan
berbahasa Jepang --sehingga banyak bagian tidak bisa dimengerti
penonton."
Shogun, dengan sutradara Jerry London, dibuat selama enam bulan
(Juni-Desember 1979) dan menelan biaya US$22 juta (Rp 13,8
milyar). Sukses film itu diawali dengan suatu kerja keras dan
promosi luar biasa. Sudah sejak tiga tahun lalu NBC
mempublisitaskannya, setelah hak memfilmkannya dibeli US$1 juta
(Rp 630 juta) dari James Clavell.
Ditirunya cara promosi jaringan televisi ABC, yang sukses dengan
film seri Roots, NBC menyediakan anggaran promosi US$0,5 juta
(Rp 315 juta), sementara Roots menelan US$1 juta (Rp 630 juta).
James Clavell diundangnya dalam suatu konperensi pers untuk
menceritakan buku tersebut dan mengemukakan harapan akan
pembuatan film itu.
Ketika pengerjaan film akan dimulai, NBC melancarkan publisitas
mengenai perahu kuno jenis apa yang harus dipakai untuk
pelayaran dari San Fransisco ke Jepang. Gossip pun ditiupkan ke
televisi tentang siapakah yang akan memegang peranan
Blackthorne.
Dan setelah film selesai dibuat, NBC menggalakkan strategi
pemasarannya. Ia meniru sukses ABC memasarkan Roots dengan cara
mempengaruhi guru dan murid. "Kami memang harus mampu menembus
segala lapisan penonton," ungkap Ethel Wiant, Wakil Presiden NBC
yang mengurus film serinya.
Tidak berapa lama kemudian awak jaringan televisi tersebut sudah
terlibat mcmbantu para guru menerangkan sejarah dan kebudayaan
Jepang. Mereka juga menyediakan novel Shogun sebagai alat
penunjang belajar, dan paket petunjuk memahami sejarah Jepang.
Salah satu faktor yang membantu pemasaran adalah kenyataan bahwa
Shogun sesungguhnya sudah populer di berbagai kampus. Stanford
University di California, misalnya, juga turut membantu
mengirimkan buku pegangan memahami kebudayaan Jepang kepada
15.000 anggota Lembaga llmu Sosial AS. Bahkan kelompok
penerbitan Chicago Tribune Syndicate, termasuk di antaranya
koran Philadelphia Inquirer dan New York Daily News, memasang
halaman tambahan untuk memahami Shogun.
Dengan izin pengarangnya, suatu perusahaan juga memanfaatkan
demam itu dengan menjual T-Shirt, boneka-boneka dan lonceng
model Shogun. Puncak promosinya adalah ketika NBC mengundang ke
Los Angeles lebih 100 redaktur untuk menonton bagian awal film
itu.
Dan untuk menyebarkan kehebatan Shogun dari mulut ke mulut, NBC
melakukan pemutaran preview di Hollywood untuk para produser,
bintang film dan sutradara. Hal yang serupa juga dilakukannya di
New York untuk para politikus, pedagang dan pemimpin sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini