Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imron Samsuharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNGKAPAN dalam bahasa Jawa strata ngoko, wonge dhewe, mencuat kembali bersamaan dengan ingar-bingar politik menjelang Pemilihan Umum 2024. Wonge dhewe, yang biasa pula dilafalkan wonge dhewek, berarti “orangnya sendiri”, “bukan orang lain”, alias “saudara” yang dianggap dekat secara sosiologis, kekerabatan, atau asal daerah. Ini kira-kira semakna dengan wong kito galo dalam bahasa Palembang dan urang awak dalam bahasa Minang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para calon legislator memajang kata wonge dhewe di baliho-balihonya yang dipasang di daerah pemilihannya. Tujuan bahasa politik ini jelas, yakni mereka ingin membangun jalinan sosiologis dengan khalayak di wilayah itu dengan harapan masyarakat setempat menganggap mereka sebagai saudara sendiri dan memberi dukungan.
Sebutan wonge dhewe berasal dari kata wong atau orang dan dhewe atau sendiri. Kata wong mendapat panambang (akhiran) -e berubah menjadi wonge- yang bermakna “orangnya”. Fungsi wuwuhan (imbuhan) -e itu adalah kata ganti milik (posesif). Imbuhan -e dalam bahasa Jawa semakna dengan akhiran -nya dalam bahasa Indonesia. Bandingkan omahe, bapake, pikire dalam bahasa Jawa yang jika diindonesiakan menjadi rumahnya, bapaknya, pikirnya. Hanya, imbuhan -e berubah menjadi -ne jika kata asal atau kata dasarnya bersuku akhir terbuka, seperti ibune, bukune, sepatune yang dibentuk dari ibu+ne, buku+ne, sepatu+ne. Kata ibune, bukune, sepatune masing-masing berarti ibunya, bukunya, sepatunya.
Istilah wonge dhewe marak digunakan calon legislator Dewan Perwakilan Rakyat; dewan perwakilan rakyat daerah tingkat provinsi, kota, dan kabupaten; serta Dewan Perwakilan Daerah. Uniknya, di ranah pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden, tak lazim muncul istilah wonge dhewe. Hal ini tampaknya terjadi karena pemilihan calon presiden mencakup keseluruhan wilayah Indonesia, tidak seperti pemilihan calon legislator yang mengacu pada daerah pemilihan tertentu.
Pemanfaatan istilah wonge dhewe dalam kampanye calon legislator ini tak lepas dari upaya pencitraan mereka. Murdiyanto lewat artikel “Citraan Bahasa Indonesia dalam Kampanye Politik” dalam Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Konteks Global pada 2017 mengemukakan bahwa pencitraan tidak selalu menghasilkan opini publik yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pelaku pencitraan. Menurut Murdiyanto, bahasa citraan itu dapat ditemukan antara lain pada level leksikal dan gramatikal. Pada level leksikal, "bentuknya dapat berupa pencitraan lewat klasifikasi leksikal, leksikal yang diperjuangkan, leksikal yang memarginalkan orang lain, leksikal bernuansa kedaerahan, metafora, dan relasi makna".
Penggunaan wonge dhewe dalam kampanye calon legislator termasuk pencitraan pada level leksikal bernuansa kedaerahan. Pada level ini, bahasa yang digunakan dapat berupa leksem bahasa daerah seperti wareg alias kenyang atau leksem bahasa Indonesia yang mereferensi ke daerah atau kelompok etnis tertentu, seperti blusukan.
Penggunaan leksem tersebut punya nilai ideologis tertentu, yakni calon legislator berusaha menyentuh sentimen etnisitas dan lokal pemilih. Sang calon ingin menunjukkan latar belakang kultural atau lokal yang sama dengan pemilih. Ia berniat mengeksplorasi diri melalui pilihan leksikal bahasa daerah guna menarik dukungan dan meraup suara pemilih. Padahal, seusai pemilihan umum, calon yang terpilih ataupun yang gagal umumnya lupa terhadap makna dan hakikat yang dikandung istilah wonge dhewe.
*) Editor online, lulusan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Wonge Dhewe"