Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mengapa Kenaikan Pajak Hiburan Ditolak

Kenaikan pajak hiburan ditolak karena pajak pertambahan nilai akan naik menjadi 12 persen mulai tahun depan. Mengancam keberlangsungan usaha.

4 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kenaikan pajak hiburan menjadi minimal 40 persen bisa berakibat buruk pada 20 juta pekerja di sektor hiburan.

  • Mulai 1 Januari 2025, pajak pertambahan nilai akan kembali naik, menjadi 12 persen.

  • Pemerintah hanya mau main gampang meningkatkan pendapatan, sementara pengelolaan pajak berlangsung serampangan.

KENAIKAN pajak hiburan menjadi bukti teranyar buruknya manajemen perpajakan Indonesia. Pemerintah ingin menempuh cara mudah mengisi pundi-pundi negara tanpa memikirkan dampak panjangnya. Tujuan utamanya, yaitu meningkatkan pendapatan pajak, malah sulit tercapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati kenaikan pajak hiburan lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada Pasal 58 ayat 2, tertera tarif pajak barang dan jasa tertentu diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan spa terendah 40 persen dan tertinggi 75 persen. Ketentuan tersebut paling lambat diberlakukan pemerintah daerah per 1 Januari 2024. Dalam aturan sebelumnya, hanya tertera angka maksimal 75 persen dan tak ada ketentuan batas bawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanpa kenaikan pun pajak hiburan Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Di Thailand, yang ekonominya digerakkan oleh pariwisata, misalnya, diskotek dikenai cukai bertarif 5 persen. Di Malaysia, tempat hiburan dikenai service tax 6 persen. Adapun Filipina mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 18 persen, lebih tinggi dari PPN sektor lain yang sebesar 12 persen. Bandingkan dengan DKI Jakarta yang sebelumnya menerapkan pajak 25 persen buat diskotek, karaoke, klub malam, dan bar serta 35 persen untuk spa. Kenaikannya drastis. 

Menaikkan tarif dengan harapan menambah pendapatan pajak merupakan cara pikir yang keblinger. Apalagi ketika pajak itu sudah tinggi. Pada titik tertentu, konsumen akan meninggalkan industri hiburan karena harga yang kelewat mahal. Dampaknya bisa mengguncang 20 juta pekerja di sektor tersebut.

Kenaikan tarif juga akan berlaku pada PPN menjadi 12 persen. Ketentuan ini tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Aturan ini menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 2022, lalu menjadi 12 persen per 2025.

Angka itu tergolong tinggi karena rata-rata PPN—dipakai di 175 negara—adalah 10 persen, di luar Uni Eropa yang membatasi paling rendah 15 persen. Di Asia Tenggara, hanya Filipina yang menetapkan PPN 12 persen. Sedangkan Malaysia, Singapura, dan Thailand hanya mengenakan 7 persen. Kenaikan PPN merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab, PPN adalah pajak langsung yang dikenakan terhadap semua orang tanpa diskriminasi, termasuk masyarakat miskin yang mengkonsumsi barang dan jasa. 

Bagi negara dengan tingkat konsumsi tinggi seperti Indonesia, kenaikan pajak jenis ini membebani daya beli masyarakat dan mengurangi jumlah konsumsi publik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terancam melambat.

Langkah pemerintah, yang disetujui DPR, seperti kehabisan akal meningkatkan rasio meningkatkan rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2023, tax ratio Indonesia sebesar 10,21 persen—turun sedikit dari 10,39 persen pada 2022. Angka ini jauh di bawah rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyatakan tax ratio minimal 15 persen agar pembangunan bisa berkesinambungan. 

Pemerintah sepertinya lupa bahwa kunci meraih tax ratio yang sehat adalah perbaikan manajemen perpajakan, dari pemungutan, pengelolaan, sampai pemanfaatan pajak. Nyatanya, pengawasan serta penegakan hukum pajak masih lemah, angka korupsi tetap tinggi, dan pemanfaatannya sesuka hati penguasa. Misalnya: membangun ibu kota baru senilai Rp 466 triliun. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Main Cepat Menaikkan Pajak"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus