Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLITIK punya ruang luas untuk siapa pun berbuat nista. Mereka yang menghendaki sikap ethis dalam politik harus bersedia dicemooh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tahun 1945, tak lama setelah kebuasan Hitler dan pembunuhan massal di Hiroshima oleh bom atom Amerika, Hans Morgenthau, pakar ilmu politik termasyhur itu, menyimpulkan, “Tak ada menara gading cukup tinggi dan jauh untuk melindungi kita dari cela (guilt): baik pelaku maupun mereka yang hanya berdiri melihat, si penindas maupun yang ditindas, sang pembunuh dan korbannya, berkelindan sangat rapat. Etika politik memang etika perbuatan keji.” Political ethics is indeed the ethics of doing evil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah realitas hidup di dunia, kata Morgenthau—digerakkan nafsu berkuasa, animus dominandi, atas alam dan sesama. Morgenthau, yang umumnya menganalisis hubungan antarbangsa, menggarisbawahi realisme politik ala Machiavelli. Meskipun ia tak menganggap gambaran suram dan seram itu segala-galanya, dari “realisme” seperti itu kita dibawa ke arah sikap yang menghalalkan penindasan dan pembantaian. Dari penaklukan buas oleh Cortez dan para conquistador di Meksiko di abad ke-16 sampai kebrutalan Israel di Palestina di abad ke-21, yang dilihat para “realis” adalah kisah yang lumrah—dan dapat dimaklumi.
Sebab “realisme” ini tak mengutamakan nilai-nilai, tak anggap perlu tuntunan hidup yang “baik dan benar”. “Realisme” akan mengatakan bahwa yang ethis itu cuma impian di kepalamu, dan apa yang “baik dan benar” tak pernah diakui secara universal.
Maka “realisme” (termasuk dengan mencemooh “etika-ndasmu!”) umumnya bukan pandangan mereka yang dianiaya, diculik, ditipu, dicurangi. “Realisme” hanya mempresentasikan keadaan yang ada, dan dengan demikian mengangguk kepada dan memaklumi status quo. Dengan mudah ia jadi ideologi mereka yang berkuasa.
Tapi sejarah juga sejarah revolusi-revolusi: pembangkangan terhadap status quo yang membuat perubahan nyaris mustahil dan penindasan jadi statis. Sejarah juga sejarah dari apa yang disebut Alain Badiou sebagai l’événement, kejadian yang di luar yang biasa, ketika yang “biasa” berarti penindasan.
Bersama “ke-jadi-an” itu kebenaran lahir: kebenaran yang tak nisbi, yang tak dilihat dan ditentukan secara sepihak, baik oleh yang melawan maupun yang dilawan.
Sebelumnya, para penindas umumnya bisa berdalih bahwa tak ada kebenaran yang universal: apa yang kalian anggap penindasan bagi kami adalah ketenteraman dan stabilitas. Dalam pandangan relativis tentang kebenaran semacam ini, apa yang dikemukakan Morgenthau berlaku: baik si penindas maupun yang ditindas, baik sang pembunuh dan korbannya, berkelindan rapat. Baik Prabowo (atau para penculik) maupun ibu-ibu yang selama bertahun-tahun menanggungkan kehilangan anak mereka, baik Munir dan pembunuhnya, baik anak-anak Gaza yang jadi mayat maupun Netanyahu—semua bisa dianggap berdosa. Atau semua sama-sama “benar”.
Pada gilirannya, tumbuhlah sinisme. Nilai “baik” dan “benar” tak perlu, apalagi dalam politik, sebab “semua sama saja”, semua pihak punya tangan-tangan kotor.
Tapi yang tertindas dan berontak bilang “tidak”. Merasakan dengan intens perbedaan berkuasa dan tak berkuasa, mereka menganggap—atau mencita-citakan—kebenaran berlaku buat siapa saja, bukan cuma buat kami, melainkan bagi tuan-tuan, bagi kita. Seperti tersurat dalam l’Homme Révolté: “kami berontak, maka kita ada”. Dan itulah tauladan pemberontakan Gandhi dan Nelson Mandela.
Kebenaran itu bukan sebuah rumus yang dipetik dari luar pengalaman dan siap pakai. Kebenaran itu terjadi dan berproses dalam laku, en acte, berada dalam satu tempat dan saat yang “singular”, tak bisa ditiru. Tapi pada saat yang sama ia menjangkau lewat batas ruang dan waktu. Itulah sebabnya cita-cita Revolusi 1945—yang memaklumkan kemerdekaan sebagai hak semua bangsa—bergaung kembali tiap kali kemerdekaan dimatikan. Seperti menjelang runtuhnya Orde Baru.
Sebab kemerdekaan senantiasa mendesak, memukau. Dan pada saat yang sama, berkali-kali tak terpenuhi, atau setengah terpenuhi. Maka kita pun dirundung satu kondisi di mana nilai-nilai muncul mengimbau, menuntut penuh, tak terhingga. Dalam Infinitely Demanding, Simon Critchley menuliskannya sebagai sebuah “tuntutan yang radikal”, yang membentuk diri kita jadi subyek yang menggumpal dan bergerak. “Kita tak tahu apakah tuntutan itu pancaran Tuhan, atau dari ruang misterius jauh di inti hidup, atau dari peri di dasar kebunku….”
Politik, yang selamanya menyangkut dan melibatkan kita dalam kebersamaan—atau dalam “ada-bersama-orang-lain”—tak bisa dilepaskan dari apa yang seharusnya dan sebaiknya bagi kehidupan dengan “se-sama”. Ada orang-orang yang tak menganggap nilai-nilai penting. Ada yang menganggap yang universal palsu. Tapi politik selalu bukan keasyikan soliter.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo