Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Catatan Harian Seorang Teroris

MEMBACA buku harian Jabir meng-ingatkan kita pada Silas, tokoh me-ngenaskan dalam kisah Da Vinci Code.

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBACA buku harian Jabir meng-ingatkan kita pada Silas, tokoh me-ngenaskan dalam kisah Da Vinci Code. Soalnya, penuturan peracik bom murid mendiang Dr Azahari ini sungguh mirip dengan nasib sosok rekaan Dan Brown dalam bukunya yang kontroversial itu. Keduanya adalah idealis yang tersesat, yang percaya be-tul bahwa perintah guru agamanya mewakili suara Tuhan. Karena itu, dengan sangat bersemangat, mereka melakukan berbagai kekejaman terhadap siapa saja yang disebut sang guru sebagai musuh dari keyakinannya.

Silas, misalnya, dikisahkan menembak se-orang lelaki tua dengan penuh gairah dan membiarkan korbannya itu, seorang kurator museum, ber-usaha bersembunyi ke tempat gelap, pelan-pelan kehilang-an darah, dan tersengal menunggu ajal. ”Setiap embusan napasmu adalah dosa, tak ada tempat aman bagimu untuk bersembunyi, karena engkau akan diburu para malaikat,” kata Silas ketika meninggalkan buruannya.

Silas memang diceritakan merasa dirinya sebagai malaikat pemburu, karena itulah julukan yang diberikan sang guru agama kepadanya. Kita pun bertanya-tanya, apakah Jabir merasakan hal yang sama ketika ia menulis di buku hariannya, ”Ya Robbi..., masukkan hamba-Mu ini... ke dalam jannah abadi... bersanding dengan para bidadari....” Atau ketika ia menyaksikan korban bom hasil racikannya di Hotel Marriott dan di Cafe Nyoman yang bergelimpangan?

Pertanyaan serupa juga muncul saat di layar perak, kita menyaksikan Silas menyiksa dirinya dengan rantai berduri sebagai bagian dari ibadah. Adakah saat itu ia mengalami perasaan yang serupa dengan Jabir ketika menulis, ”Se-sungguhnya perjalanan jihad penuh dengan onak dan duri, dibayangi rasa takut, kelaparan, dan hilangnya nyawa….”

Pertanyaan-pertanyaan itu tentu tak ada jawabnya karena Silas hanyalah tokoh imajiner, sedangkan Jabir seorang manusia di dunia nyata. Yang lebih perlu dijawab adalah pertanyaan mengapa di dunia ini terlalu banyak orang berperilaku seperti Jabir, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan atas dasar keyakinan melakukan misi suci, menjalankan perintah Tuhannya. Sementara itu, mayoritas pemeluk agama yang sama menganggap tindakan itu justru bertentangan dengan perintah-Nya.

Jawaban atas pertanyaan ini mungkin memang tak akan ditemukan hanya dengan mencarinya di dalam r-uang aga-ma. Pasalnya, perilaku terorisme tak hanya dilakukan atas dasar keimanan kepada Yang Mahakuasa. Bahkan pelaku bom bunuh diri terhadap orang sipil ternyata justru pa-ling banyak dilakukan atas nama kebangsaan, seperti terjadi di Sri Lanka. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Harvard malah menyimpulkan bahwa secara umum setiap orang berpotensi menjadi pelaku teror, termasuk menjadi pengebom bunuh diri, asalkan mendapat pemicu dan kondisi yang sesuai.

Pemicu itu dapat berupa keyakinan agama, rasa patriotisme, atau dorongan batin yang lain. Tentu dibutuhkan juga kondisi yang mendukung, seperti kehadiran tokoh karismatis yang rajin melakukan rekrutmen. Dia-lah Kardinal Aringarosa bagi seorang Silas, Noor Din M. Top bagi Jabir, Velupillai Prabakharan bagi para pelaku bom bunuh diri Pembebasan Macan Tamil Eelam di Sri Lanka, dan Usamah bin Ladin bagi para pengikut Al-Qaidah. Lantas apa yang dapat dilakukan agar perilaku seperti yang dilakukan Jabir dapat diredam, bahkan kalau bisa dihilangkan?

Mencanangkan perang militer terhadap terorisme bukanlah jawabannya. Operasi militer malah membuat aksi kekerasan semakin mendapat legitimasi. Memandang meluasnya jaringan teror bukan sebagai ancaman militer tetapi sebagai sebuah gejala sosial mungkin akan membuahkan hasil yang lebih baik. Dalam pemikiran seperti ini, penulis Malcolm Gladwell menawarkan gagasan menarik.

Dalam bukunya yang terkenal, Tipping Point, pria yang ditahbiskan majalah Time sebagai salah seorang dari se-ratus penulis paling berpengaruh di dunia ini memandang maraknya sebuah perilaku sosial di masyarakat ternyata serupa dengan berjangkitnya penyakit menular. Ia menyimpulkan dibutuhkan sedikitnya kehadiran tiga je-nis tokoh agar sebuah perilaku sosial mewabah, yaitu para penjaja gagasan yang piawai (super-salesman), para ”penyambung” (connector), dan para ”perawi” (maven).

Tanpa kepiawaian Noor Din dalam menjual gagasan, Jabir dan Abdul Hadi mungkin tak pernah berurusan de-ngan polisi. Tanpa kehadiran mendiang Dr Azahari, para pengikut Jamaah Islamiyah mungkin tak begitu pandai meracik bom. Dan tanpa kehadiran sejumlah orang yang ”menyambungkan” orang-orang seperti Jabir dengan Azahari dan Noor Din, rangkaian tragedi bom Bali tak akan pernah terjadi.

Itu sebabnya membasmi terorisme pada dasarnya sama saja dengan mengendalikan penyakit menular. Memutuskan mata rantai para ”penjaja”, ”penghubung”, dan ”pe-rawi” akan lebih efektif ketimbang membasmi para ”Jabir”. Sebab, pada akhirnya Silas dan Jabir lebih patut dikasiha-ni sebagai korban jaringan terorisme ketimbang sebagai simpul penting jaringan kejahatan itu.

Bahkan, siapa tahu, Jabir pun sebenarnya mengalami ke-kecewaan seperti Silas pada akhir hayatnya: menyadari bahwa dirinya bukanlah malaikat seperti yang diyakini-nya selama ini, melainkan justru sebagai hantu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus