Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA seolah-olah muncul dari ketiadaan. Puluh-an anak muda, banyak di antaranya bercelana tapi tak berbaju, bersenjata tapi tak berseragam, mengepung kantor pemerintah di Gleno, Ermera. Tak lama kemudian, kaca-kaca pecah, asap hitam mengapung, lantas lidah api menjilat-jilat—mula-mula kecil, lama-lama hampir seluruh bangunan terbungkus api. Hari itu, Rabu pekan lalu, kekerasan telah menjalar ke luar Ibu Kota Dili.
Empat tahun setelah merdeka, Timor Leste adalah serangkaian teror: intimidasi, fitnah politik, mobilisasi massa, dan api yang bergerak membakar. Siapa yang melakukannya, kita mungkin tak akan pernah tahu. Yang jelas, iring-iringan penebar teror ini semakin hari semakin panjang—menandakan kian banyaknya ”penumpang gelap” dalam tiap-tiap mob. Yang terang, hampir semua orang yang bergerak-bergerombol itu menggumamkan satu hal: pemerintah telah gagal total, Perdana Menteri Mari Al-katiri harus cepat-cepat mundur.
Memang, api yang besar berasal dari api yang kecil. Lima pekan silam, Panglima Militer Brigadir Jenderal Taur Matan Ruak memecat sekitar 600 tentara yang mogok kerja, memprotes perlakuan tidak adil. Ya, sejauh ini kita mendengar: diskriminasi telah terjadi, dan masa lalu menjadi ukuran keberhasilan karier militer. Tentara yang ber-asal dari barat (Loromonu) tidak menyumbang banyak untuk kemerdekaan Timor Leste. Sebaliknya mereka yang ber-asal dari timur (Lorosae). Dalam sekejap status mereka yang dipecat menjadi desertir, dan Mari Alkatiri yang merestui sepenuhnya langkah yang diambil panglima militernya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kebijakan itu.
Konflik kini berkembang di luar barak, berevolusi. Di kalangan masyarakat, sentimen etnik menggelegak secara sporadis: etnik-etnik dari barat melawan etnik-etnik dari timur. Di kalangan elite, pertentangan lama, antara Presi-den Xanana Gusmao dan Perdana Menteri Mari Alkatiri, menyala terang di hadapan publik. Di antara keduanya, tampillah seorang mayor yang membawa 600 pasukannya ke bukit-bukit di barat daya Dili. Mayor Alfredo Reinado mendesak Xanana segera membubarkan parlemen, meng-ancam Alkatiri selekasnya mundur.
Dan perlahan-lahan kita bisa mencium, Xanana yang humanis itu jadi serba salah. Ia menghindari konflik langsung, memilih diam daripada membubarkan parlemen. Parlemen adalah tempat bertumpunya kekuatan politik Alkatiri—lebih dari separuhnya dikuasai oleh Fretilin. Membubarkan parlemen sama saja dengan menyulut sebuah perang saudara. Sementara itu, di lain pihak, Mari Alkatiri justru memanfaatkan momentum ini untuk mengecilkan arti kekuatan pemberontak sekaligus memperlihatkan kekuat-an Fretilin di lapangan.
Kini, 2.500 pasukan asing ambil bagian mengamankan Timor Leste. Dan tak lama lagi pasukan PBB yang kekuat-annya lebih netral dan besar akan mendarat, kemudian melucuti senjata yang sudah banyak tersebar di kalangan milisi-milisi sipil. Mudah-mudahan, Timor Leste yang sengsara itu berhasil menghindarkan konflik yang berujung perang saudara. Kendati demikian, sebuah kekhawatiran selalu menghadang. Pasukan PBB tak selamanya bisa berada di sana, sementara bara konflik Xanana-Alkatiri, Loromonu-Lorosae, belum lagi padam. Merdeka memang tak mudah, tapi menyerahkan alternatif solusi konflik ini kepada rak-yat lewat referendum mungkin jalan terbaik-nya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo