Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH enam bulan ini Ade, orang tua siswa di SD Negeri 1 Pagi, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tak pusing memikirkan kelanjutan sekolah anaknya. Beban membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) sebesar Rp 50 ribu, yang biasanya harus ditanggung pada awal bulan, kini sudah diambil alih oleh pemerintah.
Pemerintah pusat menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Rp 19.500 sejak pertengahan tahun lalu, sedangkan mulai Januari 2006 pemerintah Jakarta mengadakan Bantuan Ope-rasional Pendidikan (BOP) Rp 50 ribu. Kini Ade hanya menyiapkan buku pelajaran. Itu pun bisa dibeli di mana saja. ”Sekolah cuma memberi tahu judul dan penerbit,” katanya. Bahkan di beberapa- sekolah, seperti SDN 3 Pagi Cawang-, -Jakarta Timur, setiap siswa yang tak mam-pu mendapat pinjaman buku. ”Saya sama sekali tidak keluar duit,” kata Hartini, orang tua siswa.
Dua belas tahun setelah wajib belajar- dicanangkan, barulah pemerintah mam-pu menyediakan anggaran untuk membantu para siswa. Dari dana BOS dan BOP, pengelola SD dan SMP negeri di Jakarta bisa menutup pengeluar-an rutin dan kegiatan ekstrakuliku-ler. -Sayang, penyaluran bantuan ini tak berjalan mulus.
Problem ini kini dialami Nursyamsiah, Kepala SD Negeri 1 Pagi, Kebayo-ran Baru, Jakarta Selatan—sekolah yang masih satu kota dengan pemerintah pusat. Dana BOS dan BOP ternyata baru mengucur tiga bulan pada Maret 2006—tiga bulan setelah Dinas Pendidik-an Dasar Jakarta melarang segala bentuk- pungutan di sekolah karena mereka sudah mendapat bantuan. Sementara itu pengeluaran rutin sekolah terus berjalan. ”Kami sudah telanjur kontrak de-ngan pemasok komputer, dan harus membayar cicilan,” katanya.
Nursyamsiah terpaksa memutar akal untuk menutup pengeluaran. Pendingin- udara di ruangannya kini tak pernah di-nyalakan. ”Kami bahkan sampai ber-utang ke orang tua siswa yang mampu,” ujarnya.
Bosan diutangi, orang tua siswa yang tergabung dalam Komite Sekolah ber-usaha mencari jalan keluar. Selain menerima sumbangan dari orang tua yang berada, komite menyebar propo-sal ke perusahaan-perusahaan yang me-miliki- perhatian pada pendidikan. Kegiat-an sekolah seperti acara Maulid Nabi Muham-mad pun menjadi ajang mengumpulkan dana dari perusahaan. ”Kami menyewakan tempat bagi mere-ka untuk menjual produknya,” kata Ketua Komite, Dewi Ayu.
Dana yang masuk lumayan, tapi jelas tak mencukupi. Dewi mengaku khawatir para siswa terancam tak bisa mendapat pelajaran tambahan dan kegiatan ekstrakulikuler. Misalnya untuk pelajaran komputer, biasanya setiap siswa ditarik- bayaran Rp 15 ribu per bulan. Larang-an menarik iuran menyebabkan kegiat-an yang membuat sekolah mendapat akreditasi A ini bisa terhambat. ”Padahal siswa antusias dengan komputer,” ujarnya.
Dengan pelbagai kritik di sana-sini, bagaimanapun niat pemerintah untuk me-nuntaskan program wajib belajar pa-tut dipuji. Menurut Kepala Dinas Pendidik-an Dasar Jakarta, Sylviana Murni, dengan- dana BOP dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Rp 698 mi-liar, tak ada alasan orang tua murid untuk tidak menyekolahkan anak-nya. Sylviana optimistis program ini akan mengurangi jumlah anak putus sekolah di tingkat SD dan dan SMP di Jakarta, yang tahun lalu mencapai 4.000 siswa.
Tak hanya di Jakarta, sekolah gratis juga menjadi program sejumlah pemerin-tah provinsi dan kabupaten lain. Di Kutai Kartanegara, pemerintah meng-alokasikan dana Rp 90 miliar untuk 849 sekolah dasar dan menengah, negeri maupun swasta.
Idrus Sy Me, Kepala Dinas Pendidikan Kutai Kartanegara, menuturkan dana sebesar itu dibagi untuk 25 ribu siswa. Setiap murid SD menerima Rp 10 ribu per bulan, siswa SMP mendapat Rp 20 ribu, dan Rp 25 ribu untuk siswa SMU.
Kucuran dana tersebut, kata Idrus, cukup untuk menggratiskan biaya pen-didikan di seluruh wilayahnya. Maklum, Kutai Kartanegara adalah kabu-paten terkaya di Indonesia, dengan APBD Rp 3,7 triliun. Siswa di provinsi ini juga mendapat kemewahan yang tak didapat di daerah lain. Misalnya, murid di SDN 7 Timbau di Kecamatan Tenggarong bisa bersekolah di gedung megah dengan pelbagai fasilitas pendukung seperti lapangan olahraga dan laboratorium dengan gratis.
Walau ada bantuan BOS, mereka rupa-nya lebih mengandalkan kucuran dana dari orang tua siswa yang bersedia menjadi donatur. Maklum, para orang tua umumnya pejabat pemerintah. ”Anak Sekretaris Daerah juga bersekolah di sini,” kata Junaidi, Kepala SDN 7. Dana yang melimpah ini akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan guru. Mereka bisa meningkatkan pendapatan dengan memberikan pelajaran pengenalan bahasa Inggris dan komputer, di luar jam belajar resmi sekolah.
Sayangnya, kondisi ini tak dialami oleh murid-murid SDN Filial 18 Tanah Datar, Kecamatan Muara Badak, masih di provinsi kaya itu. Kondisi sekolah- ini sunguh memprihatinkan. Bangunan berdinding kayu, beratap seng, dan berlantai tanah ini tak lebih baik ketimbang kandang ayam.
Beberapa tiang penyangga bangunan mulai keropos dimakan rayap, sehingga mengancam keselamatan siswa. Pada saat hujan turun, lantai kelas berubah menjadi kubangan lumpur. Sekolah yang hanya memiliki tiga ruang kelas itu terpaksa berjalan apa adanya. Satu ruangan digunakan dua kelas yang berbeda.
Para siswa yang umumnya berasal dari keluarga tak mampu datang tanpa seragam, sepatu, dan buku pelajaran. Lantaran rumah siswa berjarak 7-10 kilo-meter, dan tak ada angkutan umum, keterlambatan menjadi hal biasa.
Kesengsaraan 105 murid SD negeri itu untuk menuntaskan wajib belajar ini karena leletnya kerja birokrat di Kutai. Provinsi bergelimang harta itu lambat mengucurkan subsidi untuk siswa. Dana BOS dari pemerintah pusat sekitar Rp 2 juta juga belum mengalir. ”Terpaksa saya memakai uang pribadi atau mengutang untuk membeli kapur,” kata Rusmiati, guru yang sudah 10 tahun mengajar di sana. Usul untuk melakukan renovasi sekolah sebesar Rp 363 juta sama sekali tak mendapat tanggapan dari pemerintah kabupaten. Suatu hal yang patut disayangkan.
Masih di Kecamatan Muara Badak, para orang tua murid SD Negeri 17 saat ini merasa dibebani pungutan buku paket. Mereka harus membayar Rp 400 ribu per caturwulan. ”Kalau tak bayar, anak saya pasti disindir di kelas,” kata Fendi, buruh berpenghasilan Rp 300 ribu per bulan. Sekolah juga kerap menarik iuran tanpa mengajak berunding orang tua, misalnya iuran untuk membuat pagar sekolah sebesar Rp 10 ribu per siswa.
Lain lagi pengalaman Kabupaten Ba-nyuwangi, Jawa Timur. Sejak November 2005, pemerintah setempat memerintahkan sekolah menghentikan pungutan dana SPP. Tapi kebijakan Bupati Ratna Ani Lestari ini justru tak henti dikritik DPRD dan kelompok masyarakat lainnya. Ketua DPRD Ahmad Wahyudi mengatakan bahwa kebijakan itu meng-akibatkan dampak negatif bagi dunia pendidikan, karena sekolah jadi kekurangan dana.
Gara-gara kemelut politik, program pendidikan gratis di Banyuwangi tak jelas nasibnya. Sekolah negeri tetap patuh pada perintah Ratna, tapi dana dari APBD tak kunjung cair. Padahal dana BOS yang diterima dari pemerintah pusat juga selalu molor dari waktu yang dijanjikan. Program Ratna memberikan subsidi Rp 50 ribu per siswa SD dan Rp 100 ribu per siswa SMP tak kunjung terlaksana.
Untuk mempertahankan proses belajar, SMP Negeri 1 Banyuwangi kini cuma mengandalkan dana Sekolah Standar Nasional (SSN) dari Departemen Pendidikan Nasional. ”Kami hanya memungut Rp 15 ribu per bulan untuk laboratorium IPA dan bahasa,” kata kepala sekolah Sujanto. Tapi, tanpa uang SPP, sekolah tak bisa lagi melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler atau pelajaran tambahan.
Program pendidikan gratis yang berjalan baik terjadi di Kabupaten Jembrana, Bali. Ide brilian Bupati Gede Winasa membuat siswa bebas dari pungutan, tiga tahun silam. Ia menggabungkan 22 sekolah dasar dan menengah sehingga bisa mengirit dana Rp 3,3 miliar. Gede juga menciutkan jumlah dinas di lingkungan kabupaten dari 13 menjadi 7. Pemangkasan ini menghemat dana Rp 3 miliar. Duit inilah yang dipakai untuk membiayai pendidikan gratis.
Bukan hanya gratis, pemerintah juga memperhatikan fasilitas pendukung dan kesejahteraan guru. Di SDN 2 Banjar, misalnya, semua lantai kelas telah dilapisi keramik. Tak ada siswa dan guru yang berkeliaran di luar ruangan saat jam pelajaran.
”Guru hanya boleh keluar jika membawa surat tugas dari kepala sekolah,” kata Nyoman Sudjana, kepala sekolah. Jika kedapatan tak membawa surat, mereka akan mendapat surat teguran dari Badan Pengawas Daerah.
Tak hanya meminta guru dan siswa disiplin, pemerintah Jembrana juga sangat mengawasi kesehatan siswa. Seminggu sekali petugas kesehatan dari puskesmas berkunjung ke sekolah-sekolah, memeriksa kesehatan siswa. Kantin pun tak lolos dari pengamatan petugas kesehatan. ”Mereka memeriksa apakah kantin sudah menjual makanan yang sehat atau tidak,” kata Sudjana.
Adek Media Roza, SG Wibisono (Kutai Kartanegara), Mahbub Djunaidy (Banyuwangi), Made Mustika (Jembrana)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo