Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Hamidi*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONTEKS adalah instrumen penting dalam praktik berbahasa. Setiap peserta tutur mesti memahami konteks, baik konteks pertuturan secara generik maupun konteks sosiokultural mitra tutur secara spesifik. Tuturan bermakna karena konteks. Tanpa konteks, tuturan seumpama ruang hampa. Memaknai tanpa konteks hanya bisa dilakukan oleh kamus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pentingnya pemahaman atas konteks dalam praktik berbahasa, secara terang-benderang, tampak pada persoalan “bipang Ambawang” dalam pidato Pak Presiden. Sebagian besar masyarakat, tentunya sebagian besar masyarakat muslim, menyayangkan penyebutan “bipang Ambawang” dalam pidato peringatan Hari Bangga Buatan Indonesia (HBBI) itu. Substansi pidato Pak Presiden yang sebetulnya gagah dan mulia runtuh seketika. Pasalnya, bipang Ambawang sama sekali bukanlah makanan yang lazim dihidangkan dalam suasana Lebaran. “Bipang Ambawang” disebutkan dalam konteks berpidato yang tidak tepat.
Makanan khas Kalimantan Barat itu takkan menjadi persoalan andai kata pihak yang terlibat dalam penyusunan materi pidato Pak Presiden mampu mengidentifikasi dan membangun konteks pidato secara lebih cermat. Sayangnya, berdasarkan alur dan isi pidato, tampak bahwa pihak-pihak yang bertugas menyusun teks pidato Pak Presiden berhasrat “mendayung sekali untuk melampaui dua-tiga pulau”. Hasrat demikian membuat konteks pidato menjadi tidak jelas. Pemaknaan masyarakat atas pidato Pak Presiden jadi taksa.
Pak Presiden berpidato dalam konteks apa? “Mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai dan membeli produk lokal”, sebagaimana diterangkan Menteri Perdagangan dalam video klarifikasi dan permohonan maaf berjudul “Pernyataan Menteri Perdagangan #MakinBanggaBuatanIndonesia” yang diunggah melalui saluran YouTube Kementerian Perdagangan pada 8 Mei 2021, atau “menyambut perayaan Lebaran”, sebagaimana kalimat pembuka pidato Pak Presiden yang berbunyi “Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian, sebentar lagi Lebaran”?
Apabila pidato tersebut dirancang dalam konteks menyambut Lebaran, sasaran pidato spesifik, yakni hanya mitra tutur yang merayakan Lebaran. Mitra tutur yang merayakan Lebaran adalah umat Islam. Bipang Ambawang bukanlah makanan khas daerah yang tepat ditawarkan kepada mereka untuk dipesan secara daring (online). Mereka tidak mengonsumsi bipang Ambawang karena makanan ini bertentangan dengan akidahnya. Namun promosi keberagaman makanan khas daerah tetap dapat dilakukan, disesuaikan dengan konteks mitra tutur. Dari sebanyak itu makanan khas daerah yang sesuai dengan akidah umat Islam, yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini, mengapa yang “tersebut” oleh Pak Presiden adalah bipang Ambawang, yang tak lain merupakan babi panggang?
Begitu pula sebaliknya. Apabila pidato tersebut dirancang dalam konteks memperingati HBBI dan wacana yang hendak ditonjolkan adalah keberagaman makanan khas daerah, yang berasal dari kelompok masyarakat dengan tradisi dan agama yang juga beragam, lepaskan konteks menyambut Lebaran darinya. Soalnya, mitra tutur di antara keduanya tidak persis sama. Tidak perlu memaksakan meleburkan keduanya dalam satu wacana apabila dapat diduga bakal menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat. Ketika masyarakat sudah heboh, jangan malah ngumpet di balik dalih “makanan Indonesia digemari kelompok masyarakat yang beragam” atau “Pak Presiden adalah pemimpin bagi umat semua agama”. Dalih tersebut tidak relevan karena, jelas-jelas, wacana itu dibangun dalam kerangka “sebentar lagi Lebaran”, sebagaimana kalimat pembuka pidato Pak Presiden.
Apabila konteks yang dibangun jelas, daya ilokusi (illocutionary force) yang diterima oleh masyarakat juga jelas, sehingga efek perlokusi (perlocutionary effect) yang ditunjukkannya jelas pula: memesan makanan khas daerah secara daring atau tidak. Daya ilokusi tuturan Pak Presiden adalah ajakan untuk memesan makanan khas daerah secara daring, sebagai pelepas rindu atau sebagai pengganti oleh-oleh, karena mobilitas masyarakat dibatasi oleh pemerintah. Namun, ketika konteks yang dibangun tidak jelas, masyarakat tentu tidak mampu menangkap daya ilokusi tuturan secara tepat. Pada akhirnya efek perlokusi yang ditunjukkan oleh masyarakat takkan selaras dengan daya ilokusi yang diperformasikan para penggagas pidato. Mesti disadari bahwa masyarakat tidak berada pada posisi kemampuan berbahasa yang setara.
Kalau konteksnya sudah tepat, penyampaiannya juga jernih, masyarakat takkan kebingungan. Takkan pula perlu klarifikasi datang dari segala penjuru. Dalam catatan saya, ada beberapa klarifikasi yang menarik. Pertama, “bedakan antara Lebaran dan mudik”. Lebaran memang hanya milik umat Islam, sedangkan “libur perayaan Lebaran” adalah milik siapa saja, tidak terbatas oleh sekat agama tertentu. Jadi yang mudik dalam suasana Lebaran bukan muslim saja. Kedua, “Lebaran tahun ini bertepatan dengan Kenaikan Isa Almasih”, jadi sah-sah saja Pak Presiden nyelipin bipang Ambawang dalam pidatonya. Tapi wacana pidato tersebut tidak dibangun dengan konteks Kenaikan Isa Almasih. Perayaan ini, satu kali pun, tidak disebutkan oleh Pak Presiden. Ketiga, “bipang yang disebut Pak Presiden adalah makanan khas daerah yang berbahan baku beras”, padahal jelas-jelas Pak Presiden menyebut “bipang Ambawang”, bukan bipang yang lain. Ambawang, nama kecamatan di Kalimantan Barat, mempersempit makna bipang yang dimaksudkan oleh Pak Presiden. Kalaupun di Kalimantan sana ada makanan berbahan baku beras serupa “bipang” bagi Jawa, makanan itu lazim disebut sebagai “walatih bepang”, khas Banjar.
Jadi, ya, gitu.
*) ALUMNUS ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo