Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAKHTA, pusat kekuasaan, juga pusat kekerasan dan kecemasan. Sejarah mencatat itu berkali-kali. Terutama ketika raja-raja merasa perlu menjelaskan asal-usul kekuasaan mereka dengan menyebut Tuhan ataupun nujum. Mereka butuh pembenaran dari yang gaib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang gaib, tentu saja, tak pernah jelas. Bagaimana ia beroperasi? Apa sebenarnya kehendaknya? Benarkah penghuni takhta direstui? Rasa waswas, terbuka atau tertutup, terus-menerus merundung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam riwayat kesultanan Turki—di mana kekuasaan dikatakan terkait dengan Allah—pola itu berulang dari masa ke masa. Seorang sultan lazim hidup dengan sederet perempuan: sarana untuk memproduksi keturunan. Dari harem akan lahir anak; tiap anak sulung lelaki diasumsikan akan menggantikan ayahnya berkuasa. Setidaknya sampai awal abad ke-17, dalam imperium Turki Usmani, sang pengganti tak ditentukan berdasarkan urutan kelahiran. Prinsip suksesi brutal: yang kuat yang dapat. Persaingan bengis.
Alan Mikhail, sejarawan dari Universitas Yale, yang menulis riwayat Sultan Selim dalam God’s Shadow, menyimpulkan, tiap pangeran adalah “ancaman eksistensial bagi ayahnya” dan “lebih langsung lagi bagi saudara tirinya”. Sejak ia lahir.
Sejak lahir tiap pangeran disiapkan ibu masing-masing buat menghadapi masa depan yang gemilang tapi juga menakutkan. Ia seperti gladiator di arena kekuasaan Usmani. Anak yang menang akan mengambil alih takhta. Anak-anak yang kalah dibunuh. Muhammad III (1595-1603) memulai bertakhta dengan membunuh 19 orang saudaranya sendiri. Ibu mereka—kalau tak ikut mati—dibuang.
Syahdan, 3 Mei 1481, Sultan Mehmet II wafat di tendanya, dalam sebuah ekspedisi militer. Penakluk Konstantinopel ini meninggal pada usia 49. Ia tak bisa hidup lama ternyata, dan ia tak bisa mewariskan kekuasaan yang tanpa rasa cemas.
Hari itu, kalangan istana segera waspada: dua pangeran terkuat, yang tinggal jauh dari ibu kota, dengan pasukan masing-masing, diperhitungkan akan segera berebut takhta di Istanbul. Pangeran Bayezid dari Kota Amasya, 580 kilometer dari ibu kota. Pangeran Cem, yang lebih muda, dari Konya, 460 kilometer jauhnya.
Mereka tak segera diberi tahu bahwa ayah mereka wafat. Wazir Agung Karamanli, pejabat paling berkuasa setelah Sultan, menahan berita itu. Secara rahasia ia bawa jenazah Mehmet II ke Istanbul dan—bertentangan dengan ketentuan Islam—ia simpan mayat itu selama tiga hari. Lalu diam-diam ia beri tahu Cem tentang takhta yang kosong itu, dan memintanya untuk tiba di Istanbul lebih dulu.
Tapi rahasia itu bocor. Mehmet meninggal di tenda perang; tak mungkin kalangan militer tak tahu. Mereka, yang disebut para Janissari—angkatan bersenjata profesional yang lebih kuat ketimbang kekuatan militer mana pun di Eropa masa itu—lebih mendukung Bayezid. Mereka berontak. Mereka gantung Karamanli.
Selama tiga minggu tak ada pengambil keputusan di Turki. Di ibu kota, para Janissari leluasa membuat rusuh. Dalam ketakutan, seorang mantan wazir, Ishak Pasha, mengutus orang untuk meminta Bayezid cepat-cepat datang.
21 Mei 1481, Bayezid tiba. Ia segera dinobatkan. Cem terlambat, tapi enam hari kemudian ia mengerahkan 4.000 anggota pasukan merebut sebuah kota. Perang saudara, dalam arti harfiah, berkecamuk.
Di awalnya, Cem unggul. Ia memaklumkan diri sebagai Sultan Anatolia, dan membuat Bursa jadi ibu kota. Ia menawarkan kepada Bayezid untuk membagi imperium jadi dua, tapi Bayezid menolak. “Tak ada ikatan persaudaraan di antara para penguasa,” katanya.
Perang mulai lagi, dan kali ini, 19 Juni 1481, Cem kalah. Si adik melarikan diri ke Kairo, berlindung di bawah kekuasaan Memluk, pesaing imperium Turki Usmani. Ia dijamu dengan mewah; tuan rumah senang bahwa di takhta Usmani ada perpecahan yang serius. Tapi tokoh penting Melmuk, Sultan Qaitbay, tak bersemangat membantu Cem berperang melawan Bayezid. Penguasa Mesir itu lebih beruntung menghadapi Turki yang retak di pusatnya.
Cem mulai resah. Kairo mempesonanya, meskipun ia merasa agak asing. Di Kairo, di dalam dan di luar istana, orang berbahasa Arab; ia kenal bahasa ini hanya dari pelajaran di masa kecil di harem. Masyarakat Kairo terasa lebih “islami”, sementara Cem biasa hidup (juga dalam hal seksual) tanpa banyak mendengar fikih.
Tapi ia ingin mengambil hati tuan rumah: dari Kairo, diiringi karavan yang ramai, ia pun pergi haji. Dialah pangeran Turki pertama—selama 600 tahun—yang menjalankan rukun Islam itu. Di Mekah dan Madinah, ia disambut meriah.
Semangatnya tumbuh. Ia mengirim pesan kepada kakaknya (yang juga musuhnya) di Istanbul. Sebuah sajak:
Kau tidur di kasur bermawar kebahagiaan.
Aku bertabur abu dari tanur kesedihan.
Bagi yang taat beribadat, bukankah keadilan akan didapat?
Bukankah itu hak sah ia yang datang ke kaki Kaabah?
Bayezid membalas, juga dengan sajak:
Sejak dahulu kala, kita dikaruniai keadaan ini.
Kenapa takdir tak kau akui?
“Aku pergi haji”, katamu, seraya menuntut hakmu.
Kenapa takhta dan nikmat duniawi yang kau tuju?
Pertukaran puisi itu menandai permusuhan mereka berlanjut, meskipun perang tak pecah lagi. Bayezid tetap waspada, dan Cem tetap tak bisa kembali. Ia hidup dari tempat ke tempat, di bawah perlindungan pelbagai kekuasaan Eropa. Terutama Paus Innocenti VIII, yang menganggap Turki Usmani sebagai wakil dunia Islam dan sebab itu ancaman yang harus diperangi.
Tapi, ketika Byzantine membayar Vatikan agar menahan Cem di Roma, Paus tak menolak....
Pada akhirnya Cem, tamu itu, atau sandera itu, meninggal sakit di Napoli di usia muda, 42 tahun. Hari itu, seperti dahulu, tak ada yang gaib. Yang berdengung hanya ambisi, kekerasan, kecemasan. Sering kali atas nama Tuhan.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo