Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELARANGAN Hare Krishna, salah satu “sekte” dalam ajaran Hindu, telah mencederai prinsip kebinekaan dan kebebasan publik dalam menjalankan keyakinan. Tindakan itu dilakukan dengan penutupan ashram dan penurunan papan reklame sekte keagamaan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelarangan Hare Krishna ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama tentang Pembatasan Kegiatan Pengembanan Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali, yang berlaku sejak 16 Desember 2020. Dua lembaga yang menerbitkan SKB itu adalah Parisada Hindu Dharma Indonesia dan masyarakat Desa Adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu butir surat itu menyebutkan bahwa Hare Krishna dilarang melakukan ritual keagamaan di pura di seluruh Bali. Sekte itu juga dilarang menggunakan fasilitas publik, seperti jalan, pantai, dan lapangan, untuk pelbagai kegiatan.
Hare Krishna sudah ada di Bali sejak 1980-an. Sekte ini dianggap menyimpang karena memiliki ajaran dan ritual yang berbeda dengan ajaran Hindu yang umumnya berlaku.
Karena Hare Krishna memicu sejumlah konflik, Jaksa Agung RI pada 1984 mengeluarkan keputusan yang melarang peredaran barang cetakan yang memuat ajaran itu. Setelah reformasi 1998 yang mengakhiri pemerintah otoriter Orde Baru, Hare Krishna kembali beraktivitas.
SKB dua lembaga menyebutkan Hare Krishna bersalah karena menyebarkan ajarannya di tengah masyarakat Hindu Bali. Tokoh-tokoh Hare Krishna dituding telah menjelek-jelekkan agama Hindu serta mendiskreditkan adat, budaya, dan desa adat. Patut disayangkan kedua lembaga tidak mengklarifikasi tuduhan itu. Pemerintah seyogianya melakukan mediasi untuk mencari titik temu.
Pemberangusan hak publik dalam menjalankan keyakinannya merupakan tindakan melawan hukum. Apa yang menimpa Hare Krishna merupakan potret buram yang menimpa umat ajaran minoritas di Indonesia. Penganut Syiah dan Ahmadiyah juga ditekan dan diperlakukan buruk.
Pemerintah seharusnya melindungi kelompok minoritas. Pasal 28E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Pada bagian lain konstitusi kita disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Konflik antara kelompok mayoritas dan minoritas hendaknya tidak dijadikan alasan untuk memberangus mereka yang marginal. Pemerintah hendaknya membebaskan pemeluk agama mengembangkan tafsir atas ajaran agama. Tidak ada tafsir tunggal dalam beragama. Kelompok mayoritas tidak boleh memaksakan tafsir mereka untuk dipercaya oleh kelompok minoritas. Perihal perbedaan tafsir yang memicu konflik terbuka, pemerintah harus menegakkan hukum.
Mereka yang melanggar aturan harus ditindak. Menjaga hak publik dalam beribadah merupakan amanat konstitusi yang harus dijalankan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo