Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMAJINASI kita perlu sesuatu yang gelap dan negatif: itulah yang membuat cerita Mahabharata bertahan berabad-abad. Sejak 400 tahun Sebelum Masehi, epos itu dibaca lagi, diproduksi lagi, ditafsir lagi; tapi kita tetap asyik mengikuti Bhima mereguk darah Dursasana yang dibantainya. Generasi demi generasi bertepuk tangan ketika Drupadi, istri para Pandawa, mencuci rambutnya dengan darah segar pangeran Kurawa yang gugur itu. Dendam adalah tabungan yang tersimpan secara menggairahkan—dan, seperti dalam film silat dan Star Wars, bisa mengasyikkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dendam, pembalasan, dan tokoh gelap memberi kita rasa lebih dari sekadar mencandu cerita kekerasan: kita merasa menemukan cerita tentang “keadilan”, dan menjadikannya sebuah wacana moral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dursasana, menurut para pembaca Mahabharata kini, adalah lawan dari apa yang “moral”—meskipun sebenarnya tak banyak adegan dalam epos ini yang mendukung penilaian itu. Umumnya kita hanya mengingatnya sebagai salah satu pangeran Kurawa yang di malam judi yang nahas itu mabuk kemenangan dan mabuk tuak. Ia mencoba menelanjangi dan memerkosa Drupadi di depan majelis; Bhima menyimpan dendam untuk meminum darah Dursasana karena itu. Tapi, selain insiden itu, apa lagi yang seperti Darth Vader pada orang ini?
Saya tak tahu bagaimana Mahabharata terbentuk. Epos ini panjang: puisi yang hampir 100 ribu kuplet, atau tujuh kali gabungan epos Yunani Kuno, Iliad dan Odiseus. Mustahil hanya Resi Wiyasa yang menggubahnya.
Mahabharata bisa dilihat sebagai rekaman sejarah, itihasa, tentang konflik politik dua cabang keluarga Bharata sekitar 2.500 tahun yang lalu. Tapi ia juga jadi ajaran dharma, hukum moral. Berkembang jadi tiga kali lebih panjang dari semula—dan kian jauh dari tempat dan waktu ia digubah—Mahabharata mempertegas sifat ajaran moralnya dengan mempersonifikasikan kekejian dalam sederet tokoh “gelap”—sebagai tauladan buruk. Dalam jejer wayang kulit dan golek, mereka bahkan dikelompokkan di sebelah kiri dalang; para Kurawa dan gergasi tak bisa berpindah.
Tapi sifat itihasa Mahabharata tak bisa hilang. Sebagai narasi, di dalamnya manusia dan peristiwa hadir majemuk, tak untuk direduksi ke satu sisi.
Mungkin itu sebabnya kita tak mudah menilai, misalnya, tokoh Durna dalam perang itu. Saya kira asalnya guru para kesatria ini tokoh nyata yang hidup. Ia tak sesederhana dalam bayangan kita hari ini.
Kini “Durna” nama yang diumpat. Ia kebusukan yang menghalalkan pihak yang salah—meskipun tak banyak adegan Mahabharata yang menunjukkannya pantas tercela. Artinya, ketika seseorang cuma dijadikan elemen narasi moral, ia diproduksi dalam satu corak yang mandek. Kita bahkan mengabaikan kematian Durna yang tak adil.
Mahabharata menceritakan bagaimana Durna gugur. Setelah hari ke-15 peperangan, para pangeran Pandawa merencanakan membunuh brahmana tua yang tak terkalahkan ini. Maka disebarkanlah berita bohong, bahwa putranya, Aswatama, tewas terbunuh. Durna terguncang. Ia merasa masa depannya sirna. Maka ia meletakkan senjata dan duduk bermeditasi di tepi Kurusetra. Pada saat itulah panglima perang Pandawa, Drestajumena, datang dan memenggal leher brahmana yang sedang khusyuk itu.
Siapa yang di jalan dharma, siapa yang melanggarnya? Drestajumena tahu, Durna orang yang tertipu. Aswatama tak mati. Yang mati seekor gajah dengan nama itu—yang sengaja dibunuh dan diramaikan untuk menyesatkan Durna. Dan berhasil.
Mahabharata tak menghapus kejahatan Pandawa ini. Epos ini mengakui, Durna (atau siapa pun) tak bisa terus-menerus dikutuk. Teks pun kembali jadi itihasa yang mencoba merekam satu tokoh dalam pelbagai sisinya. Di saat itu ia justru jadi dharma yang bernilai.
Cerita bisa memuaskan kebutuhan kita akan sosok gelap dan negatif, tapi dengan mengakui historisitas sang tokoh, narasi tak bisa membentuknya sekehendak hati. Durna tak berhenti cuma sebagai elemen Kurawa, dan Kurawa tak bisa hanya jadi onggokan yang tanpa moral. Sejarah, berbeda dengan ajaran moral, punya banyak lorong tak lurus. “History has many cunning passages, contrived corridors,” kata T.S. Eliot dalam sajak “Gerontion”.
Tapi itihasa bisa diubah jadi ajaran moral, dan manusia bisa terjebak dalam demarkasi yang ditegakkannya sendiri: Ada “kita”-yang-benar, ada “mereka”-yang-tak-benar. Narasi pun menyembunyikan politik yang membuat “mereka” pantas dipisahkan. Di awal abad ke-18 Paku Buwono I memperkenalkan jejer wong sabrangan dalam tatanan wayang: sejak itu, di sebelah kiri dalang “orang seberang” tergolong mereka yang “tak bermoral”. Penguasa meletakkan “mereka” sebagai musuh. Dan apa yang ditegakkan? Bukan tatanan moral yang baru.
Akan sia-sia jika Mahabharata hanya jadi cerita balas dendam. Dendam membuat kita merasa berhak melakukan hal-hal yang sebenarnya tak kita kehendaki jadi pola kehidupan. Kita perlu pengakuan dosa sendiri.
Dalam Bhagawat Gita, Krisna—yang dipuja sebagai titisan dewa Wishnu—menunjukkan pengakuan itu: “Akulah judi segala tipu daya.” Judi, dyūtam, jalan menyambut ketakpastian; chhalayatām menunjukkan betapa kelirunya menganggap hanya ada satu asas yang menjamin kebaikan.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo