Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Hamidi*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM lama ini Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Peraturan ini, secara holistis, mengatur pengumpulan, penelaahan, pengumuman, dan penetapan nama rupabumi yang baku serta penyusunan gazeter Republik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal 3 PP Nomor 2 Tahun 2021 berisi prinsip penamaan rupabumi. Dua dari sepuluh prinsip itu mengatur bahasa yang digunakan dalam pembakuan nama rupabumi, yaitu (a) menggunakan bahasa Indonesia; dan (b) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila unsur rupabumi memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Seiring dengan diterbitkannya peraturan ini, sejumlah media daring tampak berupaya mempertentangkan kedua prinsip itu. Contohnya, tengoklah judul-judul berita dari tiga media daring ini: “Presiden Jokowi Terbitkan PP yang Bolehkan Nama Pulau, Gunung, dan Laut Pakai Bahasa Daerah dan Asing”, “Jokowi Perbolehkan Penamaan Gunung hingga Pulau Menggunakan Bahasa Asing”, “Mardani: Lucu dan Aneh Penamaan Pulau hingga Sungai Boleh Pakai Bahasa Asing”.
Lewat judul-judul itu, media menonjolkan satu sisi yang berkaitan dengan prinsip pada huruf b, sedangkan prinsip pada huruf a umpama ditenggelamkan begitu saja. Agaknya, demi meraup lintasan (traffic) yang tinggi dari pembaca, media mengonstruksi bahwa “yang daerah” dan “yang asing”, yang dalam konteks ini dibenturkan dengan narasi keindonesiaan, makin diberi tempat di negeri ini.
Interpretasi atas keduanya, sejatinya, cukup jelas. Pasal tersebut mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia. Bisa kita lihat, setidak-tidaknya, berdasarkan dua hal. Pertama, posisinya berada di urutan pertama (mendahului bahasa daerah dan asing). Kedua, kelugasan redaksi kalimat: menggunakan bahasa Indonesia. Itu berbeda dengan prinsip pada huruf b yang mengandung anak kalimat tentang nilai-nilai khusus. Kedua prinsip itu seiring-sejalan dengan butir-butir Pasal 36 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan Republik Indonesia. Dengan memenuhi ketentuan nilai-nilai khusus atas unsur rupabumi, keduanya bersifat substitutif.
Yang tidak “ditoleransi” oleh Pasal 3 PP Nomor 2 Tahun 2021 adalah, misalnya, kasus keminggris pada San Diego Hills, nama kompleks permakaman, dan Hippocrates Houses, nama perumahan saya tinggal. Mau ditelusuri dari sisi mana pun, keduanya sama sekali tidak mencerminkan nilai khusus tadi.
Interpretasi nilai-nilai khusus dalam huruf b tidak berdiri sendiri, tapi berhubungan pula dengan kelekatan toponimik (toponymic attachment) yang dialami masyarakat setempat (lihat Kostanski, 2009; 2016). Dalam konteks bahasa asing, misalnya, di Makassar ada Fort Rotterdam, benteng peninggalan Belanda yang namanya kebelanda-belandaan. Di satu sisi, nama semacam itu sah di hadapan konstitusi karena nilai sejarah yang dikandungnya. Di lain sisi, masyarakat setempat, sebagai pemilik local genius, menerima pula pelembagaan nama itu sebagai representasi memori kolektifnya. Artinya, mereka memaknai nilai sejarah nama itu dalam asosiasi positif, sehingga nama itu benar-benar hidup sebagai suatu identitas.
Sebuah kota di pedalaman Sumatera pada zaman Belanda dinamai Fort de Kock—diambil dari nama benteng yang didirikan Belanda pada 1825. Walakin, tampaknya, masyarakat setempat tidak menyimpan memori kolektif yang membentuk kelekatan toponimik positif terhadap nama itu. Setelah Belanda angkat kaki, masyarakat mengembalikan nama kota itu ke nama semula sebelum Belanda memasuki wilayah tersebut, yaitu Bukittinggi. Kasus ini serupa dengan pengubahan nama ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan.
Melalui Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 1971, pemerintah mengganti nama Kota Madya Makassar menjadi Ujungpandang. Selain mempertimbangkan heterogenitas masyarakat yang menempati wilayah itu (makassar dianggap hanya merepresentasikan satu etnis, tapi justru di sini masalahnya), pengubahan nama tersebut merupakan konsekuensi politis atas kesepakatan antar-pejabat daerah yang wilayah pemerintahannya bersisian. Dalam perkembangannya, pengubahan itu memicu kecaman dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk akademikus, sejarawan, dan budayawan. Nama Makassar secara resmi kembali digunakan setelah pemerintah meneken PP Nomor 86 Tahun 1999. Dalam peraturan itu, pernyataan “keinginan masyarakat Ujung Pandang untuk mengubah nama Kota Ujung Pandang menjadi Kota Makassar” merefleksikan determinasi kelekatan toponimik dalam penamaan rupabumi.
Dalam konteks bahasa daerah pun begitu. Tentang ini, saya punya contoh menarik. Di wilayah geobudaya Minangkabau, nama sejumlah unsur rupabumi mengalami pengindonesiaan, misalnya Balaijaring, Ikurkoto, dan Padanglawas. Padahal dalam komunikasi sehari-hari masyarakat setempat tidak pernah mengartikulasikan demikian. Pengindonesiaan itu justru mencerabut nilai budaya nama yang bersangkutan. Mereka mengartikulasikan Balaijariang, Ikuakoto, dan Padanglaweh. Antara jariang, jaring, laweh, dan lawas sama sekali berbeda. Lantas apa makna ikur—sementara ikua bagi masyarakat setempat bermakna “ekor”? Memakai perspektif bahasa Indonesia pun, ikur nirmakna.
Meminjam terminologi Anderson (1983), Indonesia adalah imagined communities, entitas yang sengaja dikonstruksi untuk menyatukan beragam kebudayaan yang tersebar di wilayahnya. Pola pikir, gagasan, dan produk kebudayaan masyarakat lokal mengimplikasikan nilai-nilai lokalitas, termasuk dalam kaitannya dengan nama rupabumi. Dengan demikian, sebaik-baiknya nama yang dibakukan untuk sebuah tempat adalah nama yang benar-benar hidup bersama masyarakatnya, bukan nama yang berjarak dari mereka, apalagi nama yang dipaksakan pengindonesiaannya. Dalam hal ini, Badan Informasi Geospasial selaku otoritas berwenang mesti terus menggandeng linguis, sejarawan, dan budayawan dalam upaya pembakuan nama rupabumi.
*) ALUMNUS ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo