Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“KENANG, kenanglah kami…,” kata mereka yang tewas ketika berjuang untuk kemerdekaan, sebagai tergambar dalam sajak Chairil Anwar “Antara Krawang-Bekasi”. Dan ketika Karawang dan Bekasi kehilangan aura masa lalu yang heroik itu, orang pun mendirikan monumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak jelas sejak kapan manusia mulai membangun monumen. Kata “monumen” berasal dari kata monumentum dalam bahasa Latin, artinya pengingat atau rekaman. Lazimnya di sana terpacak seorang atau lebih pahlawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah kaprah pun lahir: kita membayangkan pahlawan yang, karena harus dikenang, adalah makhluk yang memberi arah dan tauladan dari sebuah masa yang tak ada lagi.
Padahal tidak. Padahal sebaliknya.
Jika kita baca baik-baik sajak Chairil Anwar, ada yang memukau dari baris-baris ini:
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
Kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Di sana tersirat, pahlawan adalah produk hari ini. Mereka yang gugur dalam pertempuran di wilayah antara Karawang dan Bekasi di tahun 1947 tentu tahu mengapa mereka angkat senjata melawan tentara Belanda yang tak hendak membiarkan orang Indonesia merdeka. Generasi sesudah itu mungkin juga tahu hal itu, tapi hanya sebagai isi pengetahuan, bukan laku dalam pengalaman. Ada jarak waktu, tentu, dan mungkin juga pengertian. Tapi generasi kini-lah yang menutup jarak itu.
Yang telah jadi tulang, yang gugur sekian dasawarsa yang lalu, adalah “kepunyaan” yang masih hidup. Seperti dikatakan Chairil, generasi yang masih hidup itulah yang menentukan nilai. Mereka-lah “yang berkata”.
Artinya, tiap generasi kini adalah pencipta. Mereka inilah yang “menghidupkan kembali” yang ditinggalkan masa lalu—tapi hanya seakan-akan demikian. Masa lalu tak pernah punya replika. Generasi yang sekarang, meskipun selalu dianjurkan dan selalu tak membantah, sebenarnya tak akan pernah “napaktilas”. Kata ini, dari bahasa Jawa, berarti menapak kembali jejak yang sudah ada. Tapi jejak itu ada, punya arti sebagai jejak—sesuatu yang tak terhapus—karena tak dihilangkan, karena diberi nilai sebagai yang layak atau tak layak oleh mereka yang menyusul kemudian. Tak ada yang bisa memaksa untuk tidak demikian.
Pada gilirannya, generasi yang sekarang pun hanya akan berkhayal jika bisa berbeda nasib. Kelak kemudian hari generasi kini akan seperti tulang-tulang yang berserakan di antara Karawang dan Bekasi itu: harus mengakui, dengan rela (atau dengan terpaksa), “Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata.” Lumpuh atau punah, mereka tak menentukan lagi.
Generasi sambung-menyambung, tapi tak menjadi satu—kecuali dalam abstraksi, dalam harapan, atau dalam ilusi. Kerja memang “belum selesai, belum apa-apa”, tapi justru karena itu sejarah mendorong datangnya pencipta-pencipta baru. Mereka yang akan datang kita sebut “pengganti”, tapi belum tentu “penerus”. Mereka bisa juga “pembangkang”.
Bahkan pertalian darah dengan anak-cucu tak menjamin apa-apa. Dalam sejarah, Sultan Mangkubumi (1749-1792), sebagaimana diceritakan sejarawan M.C. Ricklefs, tak menyukai dan meyakini kemampuan putra sulungnya, si calon pengganti. Anak muda ini tiba-tiba mati; ia diduga diracun ayahnya, Mangkubumi. Seabad sebelumnya, terkenal sudah bagaimana Amangkurat, putra Sultan Agung, tak mewarisi kecakapan ayahnya dalam memperbesar wibawa dan kekuasaan; Amangkurat jadi raja yang buas yang akhirnya meninggal di pengungsian setelah terusir dari istana.
Dinasti adalah sebuah ilusi. Kata “trah”—yang kini, di masa demokrasi, anehnya ditampilkan lagi—mengasumsikan kontinuitas dari keturunan satu darah. Tapi pada hakikatnya ia hanya konsep, atau “ideologi”, untuk mempertahankan apa yang sebenarnya tak dapat diprediksi. Sebab kekuasaan tak pernah punya tempat tetap—juga tak bisa dapat dipesan jauh hari. Kekuasaan, seperti kata Claude Lefort, adalah “tempat yang kosong”, lieu vide, sebuah istilah yang kurang tepat tapi bisa menjelaskan pergantian rezim dalam sejarah politik. Siapa pun tak ditakdirkan menjadi penghuni tempat itu, selama-lamanya. Zaman demokrasi menegaskan itu.
Sebagaimana kekuasaan, juga nilai-nilai luhur yang biasanya dikaitkan dengan pahlawan—salah satu sebab monumen didirikan. Nilai-nilai itu—kemuliaan hati, keberanian sikap, dan entah apa lagi—tak pernah punya tempat tetap. Yang pasti tidak di lubuk hati seseorang. “Lahir orang besar, dan tenggelam beratus ribu,” kata Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain. Nilai-nilai adalah sebuah proses—maka lebih baik disebut “penilaian”—yang tak henti-hentinya.
Dalam proses penilaian yang ibarat kain yang terus-menerus dianyam jutaan manusia itu, memang perlu satu buhul agar ada yang bisa di-“pegang”. Maka diusunglah Nelson Mandela atau Che Guevara. Tapi sosok itu, buhul itu, hanya sebuah titik yang nisbi. Ada hal-hal yang membatasi kebesaran seorang Mandela atau Guevara—hal-hal yang tak diketahui, tak bisa dirumuskan, dan berubah selamanya. Tiap monumen didirikan, selalu ada bayang-bayang di baliknya.
Itu sebabnya pemujaan kepada pahlawan atau pemimpin besar—yang di masa Demokrasi Terpimpin disebut “kultus individu”—sebenarnya genting. Percakapan dengan para pahlawan, dengan tokoh sejarah, adalah percakapan yang selalu dalam enigma. Untuk memakai kata-kata Chairil, percakapan “dalam hening di malam sepi/jika dada rasa hampa dan jam dinding berdetak”.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo