Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Indonesia, jika Anda tertimpa kemalangan karena ketidakadilan, Anda tak boleh mengeluh di media sosial atau di depan wartawan, apalagi mengkritik aparat karena perkara Anda ditangani dengan buruk. Karena ketidakadilan menyangkut sistem, keluhan Anda sangat mungkin menyangkut dan menyinggung orang lain atau sebuah lembaga. Jika mereka terluka, hidup Anda akan runyam karena bisa berurusan dengan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal 27 dan 28 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa membuat hidup Anda babak-belur. Undang-undang itu mengadopsi hukuman penghinaan atau pencemaran nama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merujuknya lagi dari hukum kolonial Belanda. Dalam UU ITE, Anda terancam delik kejahatan dengan hukuman enam tahun—syarat yang cukup bagi polisi untuk menciduk Anda. Kini bahkan ada polisi siber yang memantau status media sosial tiap orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sersan Dua Yusuf Muhammad Ginting pada Januari lalu mengalaminya. Detasemen Polisi Militer I Bukit Barisan di Pematangsiantar, Sumatera Utara, menetapkan dia sebagai tersangka pemerasan dan pencemaran nama. Polisi militer menganggap Yusuf bersalah karena mengundang wartawan ketika menyampaikan tuntutan ganti rugi perusahaan yang mempekerjakan anaknya. Anak Yusuf kehilangan tangan kiri ketika sedang bekerja.
Tahun lalu, seorang sersan kepala di Komando Distrik Militer Medan juga mendapat hukuman disiplin karena istrinya acap membuat “status negatif” di media sosial. Tak cukup menahan suaminya, Kodim Medan juga memakai UU ITE untuk menyeret si istri ke polisi.
Kita bisa menderetkan kasus-kasus absurd mereka yang dihukum karena protes atau berkeluh-kesah di media elektronik. Dari pasien rumah sakit Prita Mulyasari hingga Baiq Nuril, seorang guru di Nusa Tenggara Barat yang merekam ancaman cabul kepala sekolah. Mantan aktivis mahasiswa Jumhur Hidayat mendekam di penjara gara-gara memuat status di Twitter pada 7 Oktober 2020 yang menyebutkan Undang-Undang Cipta Kerja melenggangkan investor primitif, Tiongkok, dan pengusaha rakus. Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, sejak UU ITE berlaku pada 2008, ada 3.594 orang yang berurusan dengan hukum karena menyatakan pendapat di muka umum dan media elektronik.
Awalnya UU ITE dibuat untuk melindungi konsumen saat melakukan transaksi elektronik. Belakangan muncul pasal karet 27 dan 28 yang mengekang kebebasan berpendapat. Tanpa ukuran jelas tentang batas-batas penghinaan dan pencemaran nama, dua pasal itu acap dipakai mengadukan seseorang. UU ITE nyaris tak pernah dipakai untuk melindungi konsumen yang dirugikan dalam transaksi digital.
Usaha Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian RI membuat surat keputusan bersama menafsirkan pasal 27, 28, dan 36 sungguh sia-sia. Dikampanyekan untuk mencegah penyalahgunaan UU ITE, surat keputusan itu nyatanya tak menyentuh esensi persoalan.
Ketimbang membuat tafsir yang bisa ditafsirkan lagi, pemerintah seharusnya membawa UU Informasi dan Transaksi Elektronik ke Dewan Perwakilan Rakyat dan menghapusnya. Sepanjang pasal-pasal itu tetap ada, polisi dapat memakainya untuk menyeret siapa saja yang tak disukainya ke muka hukum. Dalam keadaan ini, hukum cuma alat kekuasaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo