Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samsudin Adlawi*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGAGAPAN dalam menggunakan kata atau istilah medis masih kita jumpai di tengah masyarakat. Hingga kini, banyak orang belum terbiasa menggunakan beberapa kata/istilah dunia kesehatan. Saling tukar istilah “vaksinasi” dan “imunisasi”—seperti diurai panjang-lebar oleh Iwan Kurniawan di rubrik Bahasa majalah Tempo edisi 1-7 Februari 2021—salah satu contoh penguat adanya kegagapan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa kesalahan pemakaian istilah kesehatan terjadi sejak zaman baheula. Celakanya, sampai sekarang masyarakat (sebagai pasien), dokter, dan paramedis tidak menyadari akan kesalahan itu. Boleh jadi mereka memang tidak mengerti arti kata/istilah kesehatan yang diucapkannya.
Misalnya soal obat. Semua orang yang sedang sakit pasti ingin (cepat) sembuh. Dalam ikhtiarnya, ada yang berobat ke rumah sakit atau mendatangi tempat praktik dokter. Ada pula yang hanya membeli obat ke apotek. Untuk bisa sembuh, mereka butuh obat.
Nah, kesalahan penyebutan istilah kesehatan muncul dalam “cara memasukkan obat ke tubuh”. Kesalahan itu tidak hanya dilakukan oleh pasien yang notabene awam terhadap dunia kesehatan. Sebagian dokter dan apoteker melakukan kesalahan yang sama.
Kita tahu, jenis obat ada tiga. Kalau tidak cair (sirop), ya berupa tablet/pil dan kapsul. Obat-obat tersebut biasanya diberikan setelah dokter tuntas memeriksa/menganalisis dan memastikan penyakit pasiennya. Saat menyerahkan obat, dokter menerangkan cara menggunakannya. Penjelasan dokter merujuk pada keterangan yang tertulis di sampul plastik bungkus obatnya. Misalnya “diminum 3X sehari, @2 kapsul”. Atau “diminum 2X sehari, @3 tablet”
“Pil atau kapsul ini diminum tiga kali dalam sehari; pagi, siang, dan malam. Setiap minum, harus dua kapsul. Atau diminum dua kali sehari, setiap minum harus tiga tablet,” kata dokter kepada pasien yang meminta penjelasan ulang.
Penjelasan yang sama sering kita dengar ketika membeli obat di apotek—dengan resep atau tanpa resep dokter. Sebelum ayah saya wafat pada Ramadan tahun lalu, saya berkali-kali membelikannya obat dengan resep dokter di salah satu apotek milik rumah sakit swasta di Banyuwangi, Jawa Timur. Saat menyerahkan beberapa kaplet obat, apotekernya menerangkan cara menggunakan obat tersebut. Penjelasan cara “minum” obatnya sangat rinci. Sama detailnya dengan penjelasan dokter di atas tadi.
Padahal, dari tiga obat yang saya terima saat itu, tidak ada yang berbentuk sirop. Semuanya berbentuk padat, yakni berupa kapsul dan tablet. Seharusnya kapsul dan tablet tidak “diminum”, tapi “ditelan”. Sebab, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan tegas menjelaskan bahwa “minum” merupakan “aktivitas memasukkan air (atau benda cair) ke dalam mulut dan meneguknya”.
Ketika menjelaskan cara memasukkan kapsul dan tablet ke tubuh, seyogianya dokter dan apoteker jangan memakai kata “diminum”. Lebih tepat bila menggunakan kata “ditelan”. Sebab, KBBI mencatat, “menelan” sebagai turunan kata “telan” bermakna “memasukkan (makanan) ke dalam kerongkongan”. Pengertian itu diperkuat dengan contoh yang (kebetulan) menggunakan obyek pil: ~ pil.
Pil atau tablet sebenarnya bisa “diminum”, asalkan dihancurkan lebih dulu sampai lembut. Serbuk halus itu lalu dilarutkan ke dalam air. Untuk kapsul lebih mudah. Tidak perlu menggerusnya, cukup dibuka cangkangnya. Lalu dimasukkan ke dalam segelas air. Agar bisa “diminum”.
Saat kecil dulu, saya tidak pernah berhasil “meminum” tablet, sekalipun yang sudah digerus lembut. Pun kapsul yang sudah dibuka cangkangnya. Meski saya sudah berusaha menelan sebisanya, dua jenis obat yang telah lembut dan larut dalam air itu selalu keluar kembali dari mulut. Pahitnya tidak kepalang.
Akhirnya ibu saya menggunakan jurus pamungkas. Dia mengambil sebatang pisang. Setelah kulit pisang terkupas, ibu “menyelundupkan” tablet atau kapsul ke dalam buah itu. Kemudian saya disuruh menelan pisang—yang di dalamnya sudah “tersusupi” tablet dan/atau kapsul.
Ketika berobat pun, sampai kini, masih banyak orang salah menggunakan istilah. Ketika sakit, ibu saya di Paloloan, Gapura, Sumenep, Madura, Jawa Timur, selalu mengatakan pergi “suntik” ke dokter. Yang ia maksud “suntik” itu adalah berobat. Dan, saat di tempat praktik dokter, ibu saya sama sekali tidak disuntik, melainkan diberi obat.
Justru untuk aktivitas berobat, masyarakat desa punya istilah tersendiri, yakni “mertombo”. Saat mertombo (bahasa Jawa: berobat), mereka tidak pergi ke fasilitas kesehatan (pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, ataupun tempat praktik dokter), melainkan ke tempat praktik orang pintar atau dukun.
Bukan hanya orang sakit yang butuh kesembuhan. Istilah-istilah yang terkait dengan kesehatan juga mendesak untuk “disembuhkan”. Agar kelak suasana kebahasaan di lingkungan kesehatan benar-benar sehat dan tidak membingungkan.
*) DIREKTUR JAWA POS RADAR BANYUWANGI, PENYAIR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo