Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuhan tak henti-hentinya bermain dadu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
dengan hukum yang sudah ditetapkannya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EINSTEIN mengemukakan itu dalam surat delapan halaman yang ditulis tangan di tahun 1945. Itu bagian sikapnya yang termasyhur yang menolak theori mekanika kuantum yang di paruh pertama abad ke-20 dikembangkan para fisikawan muda yang kerap bertemu di Kopenhagen—pengetahuan yang di masa itu masih baru, aneh, cemerlang, membingungkan.
Sebenarnya ia hanya mengulang keyakinannya sejak 1926. Dalam surat menjawab Max Born, matematikawan Jerman dan salah satu pelopor fisika baru itu, ia menegaskan, “Saya, kapan pun, yakin bahwa Ia, [Tuhan], tak bermain dadu.”
Ia memang ikut merintis jalan menukik ke dalam fenomena alam yang jauh lebih renik ketimbang atom—fenomena “sub-atomik” dalam ukuran kuantum. Tapi ia tak setuju dengan kesimpulan fisika ala Born.
Dalam lalu lintas sub-atomik ini, menurut Born, “jantung” mekanika kuantum berdetak secara acak, bak dadu yang dilempar ke lantai. Berlawanan dengan fisika klasik yang berurusan dengan dunia fisik sehari-hari, mekanika kuantum tak kenal hukum sebab dan akibat yang pasti. Yang ada hanyalah “mungkin”.
Einstein menolak: “Banyak yang dihasilkan theori itu, tapi ia tak membawa kita lebih dekat ke dalam rahasia Pak Tua.”
“Rahasia Pak Tua”, das Geheimnis des Alten, adalah kiasan Einstein tentang apa yang terbentang di alam semesta—di mana Tuhan oleh Newton diibaratkan sebagai sang pembuat arloji: tiap bagian karyanya berkaitan, saling menggerakkan, dengan persis. Tapi bukannya Einstein sedang memikirkan “Pak Tua” alias Tuhan. Ia hanya merenungkan “realitas”.
Sebab mekanika kuantum telah mengguncang “realitas” itu. Ia mendobrak asas “realisme ilmiah”.
Dalam realisme ini, dunia realitas diasumsikan punya kehadiran yang mandiri, tak dibentuk kesadaran manusia yang mengartikannya. Sedangkan bagi mekanika kuantum sebaliknya. Observasi dan pengukuran atas sebuah partikel, itulah yang melahirkan partikel itu. Dalam kata-kata Pascual Jordan, salah satu pelopornya, “Observasi tak hanya mengganggu apa yang mesti diukur, tapi memproduksikannya”. Ketika pengukuran dimulai, elektron dipaksa berada dalam satu posisi tertentu, dan tak lagi, dalam wujud gelombang, ada di mana-mana.
Tak ada realitas obyektif....
Pada suatu malam, ketika mereka berdua berjalan-jalan, Einstein berhenti sebentar dan bertanya kepada Jordan, “Apakah kau benar percaya bulan itu baru ada ketika kaulihat?”
Einstein mungkin mencemooh. Tapi ia memang bersiteguh bahwa sebuah partikel mesti punya realitas tersendiri, mandiri dari observasi atas dirinya. Baginya, “Bulan ada di sana meskipun aku tak menatapnya.”
Einstein, menurut Lee Smolin dalam Einstein’s Unfinished Revolution (Penguin Group, 2019), seorang realis sampai ke inti.
Sebenarnya tak mudah menyimpulkan ilmuwan besar ini. Di tahun 1918 ia pernah mengatakan, “Saya masih bukan seorang realis.” Tapi selisih pendapatnya dengan para pelopor mekanika kuantum telah memunculkan sebuah polarisasi yang mudah didramatisasi Smolin. Di pihak “sana”, ada Niels Bohr, fisikawan Denmark, bapak pelindung fisika baru di kediamannya yang nyaman di Kopenhagen. Bohr, kata Smolin, sepanjang hidupnya adalah “non-realis yang radikal”. Baginya, tak ada “realitas yang mandiri” di fenomena alam sebagaimana tak ada realitas seperti itu pada pihak yang mengobservasi.
Bersama Bohr, ada Heisenberg. Ia tokoh non-realis yang lebih muda, orang Jerman yang terkenal memperkenalkan asas “ketidakpastian”. Kata Heisenberg, “Tak bisa lagi kita berbicara tentang perilaku yang mandiri dari partikel—mandiri dari proses observasi.” Dalam theori kuantum, “Hukum alam yang dirumuskan secara matematis tak lagi berhubungan dengan partikel elementer itu sendiri, melainkan dengan pengetahuan kita tentang mereka.” Ia menambahkan: “Tak mungkin lagi kita mempersoalkan apakah partikel itu ada dalam ruang dan waktu....”
Saya tak menguasai mekanika kuantum, dan hanya tertarik persoalan epistemologinya; tapi saya kira saya bisa tahu ada yang tak konsisten pada Einstein. Ketika ia menggambarkan alam semesta sebagai permainan dadu Tuhan yang tak acak-acakan, ia sebenarnya berbicara tentang alam yang telah dikonstruksikannya.
Dengan kata lain, ada yang bertentangan dalam realisme Einstein. Mungkin sebab itu selama bertahun-tahun ia terasa sebagai suara yang sendirian. Para fisikawan mekanika kuantum melaju, tanpa sibuk merenungkan “realitas”—dan dari mereka lahir pelbagai jenis teknologi yang canggih. Mereka merasa tak perlu mengikuti Einstein, yang dengan keyakinan besar kepada sains ingin menemui realitas yang mandiri, tak dibentuk pikiran manusia.
Di sini mekanika kuantum menampakkan dua sisi: kita bisa melihatnya sebagai pentingnya peran manusia sebagai subyek yang mengamati, mengukur, dan dengan demikian melahirkan hal-ihwal. Tapi kita juga bisa melihatnya sebagai tanda batas: bagaimanapun, bahkan dengan sains, kita tak bisa menjangkau realitas sebagai sesuatu yang sepenuhnya obyektif.
Agaknya sebab itu David Bohm, fisikawan mekanika kuantum yang tersisih itu, mantan anggota Partai Komunis Amerika yang pernah lari ke Brasil, bermimpi tentang jumbuhnya seni dan ilmu—seraya sesekali menyimak “kebatinan” Krishnamurti.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo