Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aris Setiawan*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HINGGA kolom ini ditulis, kata anjay viral di media sosial, bahkan juga di media massa. Hal tersebut diawali rilis Komisi Nasional Perlindungan Anak yang menyerukan kepada masyarakat agar tidak lagi menggunakan kata anjay dalam percakapan sehari-hari. Kata itu diindikasikan mengandung unsur kekerasan verbal dan penggunanya dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anjay adalah bentukan kreatif dari kata “anjing” sehingga terkesan menyamakan orang dengan hewan itu. Kita tahu anjing adalah hewan berkaki empat yang namanya sering digunakan sebagai umpatan kemarahan kepada orang lain. Untuk memperhalus, digunakanlah kata anjay, yang kemudian menjadi jamak kita jumpai dalam percakapan anak muda dewasa ini.
Yang menjadi menarik untuk dibaca, perubahan kata “anjing” ke anjay telah melampaui batas-batasnya sebagai suatu umpatan dan lebih mengesankan pergaulan yang akrab atau saling mengenal. Shoula Maharani Husa (2017) memasukkannya ke terminologi kata slang. Slang menjadi jenis atau ragam bahasa yang tak terkategori dalam struktur bahasa formal atau resmi. Karena itu, kata tersebut tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Bahasa slang diciptakan suatu kelompok tertentu sebagai proses komunikasi sehari-hari yang makna dan artinya diketahui dengan jelas oleh kelompok tersebut. Pada dasarnya, bahasa slang bersifat khusus dan hanya digunakan masyarakat dalam kategori usia yang sama (sebagaimana kata anjay bagi anak-anak muda).
Lambat-laun, kata anjay tidak lagi dikonotasikan dengan anjing, tapi lebih pada ungkapan kekaguman akan sesuatu selayaknya “wow”, seperti “anjay boljug tuh mobil” (wow, boleh juga itu mobil). Bahkan, dalam beberapa penelitian tentang bahasa gaul atau prokem, tidak dijelaskan bahwa anjay berasal dari kata “anjing”. Goziyah lewat penelitiannya berjudul “Bahasa Gaul Generasi Milenial” (2019) memberikan penjelasan bahwa anjay adalah sebentuk ungkapan terheran-heran akan sesuatu.
Penggunaan bahasa slang adalah sebuah upaya mengakrabkan, terlebih bagi kalangan anak muda. Keintiman berkomunikasi sering mendobrak tata bahasa formal, antara lain dengan meringkas bahasa keseharian yang panjang dan kaku. Karena itu, banyak dijumpai kata seperti lebay (berlebihan), gabut atau mager (tidak ada kerjaan), dan woles (santai). Sejatinya bahasa tersebut hanya digunakan dalam komunikasi terbatas dan tidak semua orang mampu memahaminya. Hal itu bertujuan menunjukkan eksistensi suatu komunitas atau kelompok.
Dengan karakternya yang demikian, bahasa slang akan terus diproduksi. Akan selalu muncul varian kata baru meninggalkan kata lama yang dipandang usang atau telah menjadi populer. Karena sifatnya yang mengakrabkan, bahasa slang sekaligus menjadi ruang sensor bagi bahasa yang dianggap kasar oleh publik agar menjadi lebih halus atau santun, selayaknya anjay.
Peristiwa yang sama terjadi dalam bahasa Jawa ngoko. Jancok, misalnya. Kata umpatan yang berasal dari logat arek Jawa Timur itu dianggap terlalu kasar, maka diganti dengan jancik atau jancurit. Contoh lain adalah bajingan menjadi bajindul, matamu menjadi dagadu, dan asu menjadi asem.
Hadirnya bahasa slang juga sebentuk upaya menolak pembakuan dan formalitas berbahasa Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, bahasa Indonesia menjadi menu pelajaran wajib di berbagai tingkat pendidikan sekolah, tapi banyak orang yang tak mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa Indonesia beralih menjadi rumus-rumus kuantitatif yang menjemukan, kalkulatif selayaknya matematika. Ukuran keberhasilannya tidak didasari seberapa jauh pesan yang hendak disampaikan itu terbaca jelas, tapi seberapa benar urutan kebahasaan yang digunakan (baca S-P-O-K).
Muncullah bahasa alternatif. Salah satunya slang. Kita dapat mempertanyakan urgensi melarang penggunaan kata anjay hanya karena kata tersebut berasal dari kata “anjing”. Jika demikian, kata telah kehilangan kemerdekaannya. Yang muncul adalah tafsir kaku tentang ukuran nilai-nilai, bukan hakikat fungsional di baliknya. Sangat disayangkan, Komisi Nasional Perlindungan Anak mengurusi persoalan bahasa yang bukan bidangnya: sekadar menyederhanakan bahasa dalam terminologi teks baik dan buruk, melupakan konteks hakikat budaya yang melekat di dalamnya.
*) ESAIS, PENGAJAR DI INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo