Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sebuah diskusi yang hangat pada suatu sore di kantor Imparsial, Munir (1965-2004) pernah mengatakan kesejahteraan prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah bagian penting dalam usaha meningkatkan profesionalisme militer di Indonesia. Jika kesejahteraan prajurit meningkat, diharapkan militer bisa berfokus pada tugas dan fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Waktu itu, para pegiat masyarakat sipil tengah sibuk menyikapi pembahasan Rancangan Undang-Undang TNI yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai sebuah ide, pandangan almarhum tersebut kemudian tertuang dalam Pasal 49 Undang-Undang TNI, yakni “setiap prajurit TNI berhak memperoleh penghasilan yang layak dan dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa reformasi ini, upaya meningkatkan kesejahteraan prajurit memang terjadi, tapi belum sebagaimana yang diharapkan. Salah satu problem mendasar yang kerap muncul di publik adalah kelayakan rumah bagi prajurit. Terbatasnya perumahan untuk para prajurit sering berdampak pada konflik antara personel TNI aktif dan purnawirawan TNI. Dalam beberapa kasus, kita bisa lihat bagaimana para purnawirawan harus keluar dari rumahnya karena dipaksa oleh TNI sendiri. Padahal status hukum atas kepemilikan rumah tersebut masih menjadi kontroversi.
Problem kesejahteraan prajurit TNI itu merupakan indikator dari belum selesainya proses transformasi TNI menjadi institusi tentara yang profesional. Paling tidak ada empat tolok ukur untuk melihat pembangunan militer yang profesional, yakni tentaranya harus sejahtera (well-paid), persenjataannya modern (well-equipped), tentaranya mesti terlatih (well-trained), dan tentaranya harus terdidik (well-educated).
Selain memiliki ide tentang kesejahteraan tentara, Munir dikenal sebagai sosok yang gigih memperjuangkan pencabutan doktrin Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Doktrin yang menjadi dasar pijakan bagi militer untuk berpolitik itu dianggap mengganggu profesionalisme militer. Pasalnya, tugas militer menjadi terbelah: mengurusi masalah pertahanan dan terlibat dalam kegiatan sosial-politik. Militer pun jadi masuk terlalu jauh ke wilayah sipil.
Sayangnya, beberapa tahun belakangan, upaya membatasi militer agar tidak masuk terlalu jauh ke wilayah sipil sepertinya makin lemah. Penguatan militer untuk masuk ke wilayah sipil malah makin kental terasa di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Ini dapat dilihat dari banyaknya nota kesepahaman antara militer dan berbagai instansi sipil untuk mengurusi masalah-masalah di luar pertahanan. Imparsial mencatat terdapat kurang-lebih 40 nota kesepahaman antara TNI dan berbagai instansi sipil, dari urusan pangan, seperti program cetak sawah, hingga penjagaan beberapa obyek sipil.
Dalam kasus terbaru, otoritas sipil malah ingin melibatkan militer dalam penanganan masalah terorisme di Indonesia melalui pembentukan peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Dalam draf perpres yang sudah diserahkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat itu, militer disebut akan turut serta mengatasi terorisme di dalam negeri ataupun di luar negeri dengan kewenangan yang sangat luas, yakni dari penangkalan, penindakan, hingga pemulihan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai draf perpres itu akan membahayakan kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia karena memberikan kewenangan yang sangat luas bagi TNI untuk mengatasi terorisme.
Sejak awal reformasi 1998, proses reformasi TNI sesungguhnya telah menghasilkan beberapa capaian positif, seperti pencabutan doktrin Dwifungsi ABRI, pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, serta pemisahan TNI-Kepolisian RI. Meski demikian, belakangan ini terlihat ada kemunduran dalam proses reformasi TNI yang berjalan.
Kabar terbaru, militer akan masuk ke kampus-kampus untuk memberikan pelatihan militer kepada para mahasiswa dengan alasan program bela negara dan pembentukan komponen cadangan sebagaimana menjadi program bersama Kementerian Pertahanan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di beberapa daerah, perluasan struktur komando teritorial juga terjadi.
Penguatan peran militer dalam wilayah sipil ini menunjukkan lemahnya kontrol sipil terhadap militer (democratic civilian control). Otoritas sipil bukannya menata agenda reformasi TNI menjadi lebih baik, tapi justru memberikan ruang bagi TNI untuk terlibat terlalu jauh dalam urusan sipil. Pragmatisme politik elite sipil tentu akan berimplikasi pada mundurnya pembangunan tentara yang profesional.
Dalam negara demokrasi, reformasi militer merupakan bagian penting dari proses reformasi sektor keamanan. Secara esensi, reformasi ini merupakan sebuah praktik program perubahan institusional dan operasional di sektor keamanan dengan tujuan menciptakan good governance di sektor keamanan. Hasil akhirnya adalah sebuah lingkungan yang membuat warga negara merasa aman dan nyaman.
Proses reformasi sektor keamanan menuntut adanya akuntabilitas dan pengawasan yang demokratis. Artinya, lembaga-lembaga keamanan dan sistem peradilannya seharusnya berada di bawah otoritas sipil yang demokratis. Dalam kerangka reformasi sektor keamanan tersebut, reformasi TNI hanyalah salah satu bagian dari agenda besar itu. Agenda lain dari reformasi sektor keamanan yang penting adalah reformasi kepolisian. Sejak era reformasi, proses reformasi kepolisian juga belum berjalan optimal.
Dalam dinamika demokrasi kekinian, posisi Polri masih sulit keluar dari bayang-bayang politik kekuasaan. Ini terlihat sejak awal proses pergantian Kepala Polri. Dengan proses pengangkatan Kapolri yang harus melalui persetujuan DPR, Polri ditempatkan dalam ruang kontestasi politik elite kekuasaan. Proses politik di DPR bukan sekadar sebagai ruang untuk menguji kepatutan dan kelayakan seorang calon Kapolri, tapi juga membuka kemungkinan terjadinya tarik-menarik berbagai kepentingan politik yang bisa mengancam independensi Polri.
Seharusnya, sebagai lembaga politik, parlemen lebih memainkan perannya sebagai lembaga yang mengawasi kinerja Kapolri dan Panglima TNI yang dipilih presiden. Kalau pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI juga memerlukan persetujuan DPR, sulit diharapkan parlemen akan melakukan pengawasan terhadap TNI dan Polri secara obyektif dan efektif.
Tantangan terberat dalam reformasi Polri adalah menjadikan personel Polri sebagai polisi sipil yang demokratis. Sebagai polisi sipil, budaya melindungi dan mengayomi seharusnya menjadi tumpuan awal bagi kerja personel kepolisian. Polisi diharapkan menghindari berbagai cara kekerasan yang berlebihan dalam menangani masalah publik. Dalam realitasnya, beberapa praktik kasus kekerasan yang berlebihan masih terjadi di masa reformasi ini. Ada tiga aspek reformasi Polri yang perlu dimaksimalkan, yakni struktural, kultural, dan instrumental.
Agenda lain dari proses reformasi sektor keamanan yang penting dilaksanakan adalah reformasi intelijen. Reformasi intelijen bertujuan menciptakan intelijen yang profesional yang tunduk pada kaidah-kaidah kehidupan negara demokratis. Intelijen harus bekerja untuk kepentingan negara dan bukan untuk kepentingan rezim. Dengan semboyan velox et exactus, intelijen harus bekerja secara cepat dan akurat untuk negara.
Kasus pembunuhan Munir, 16 tahun lampau, jelas mencederai upaya menciptakan intelijen yang profesional. Keterlibatan oknum lembaga intelijen negara dalam pembunuhan Munir menuntut Badan Intelijen Negara menata kembali organisasinya.
Peristiwa pembunuhan Munir harus terus kita ingat sebagai penanda paradoks besar dalam demokrasi kita di era reformasi. Dugaan keterlibatan oknum lembaga intelijen negara dalam pembunuhan Munir menjadi pertanda belum berubahnya karakter intelijen, yang masih menilai gerakan hak asasi manusia dan demokrasi sebagai ancaman keamanan nasional.
Intelijen yang masih mengidentifikasi gerakan demokrasi sebagai ancaman sesungguhnya menunjukkan karakter intelijen yang tidak efektif dan militeristik. Ciri lain intelijen macam itu adalah cenderung menjadi alat politik rezim, bersifat otonom dan ekstra-konstitusional, kebal hukum, tidak tunduk pada kendali demokratis, dapat mencari sumber dana sendiri di luar anggaran negara, serta tak punya pengawasan yang efektif (David L. Carter, Law Enforcement Intelligence, 2004).
Sudah saatnya lembaga intelijen negara direformasi dengan mengubah fungsi, tugas, kelembagaan, dan budaya intelijen di sana. Reformasi intelijen semacam itu bertujuan membentuk karakter dan kinerja intelijen yang profesional dan tunduk pada kendali demokratis. Penerapan pola manajemen yang baik dan penguatan sistem pendidikan di Badan Intelijen Negara dengan membentuk sekolah tinggi intelijen negara adalah langkah yang baik untuk mulai menciptakan intelijen yang profesional.
Reformasi sektor keamanan merupakan agenda penting bagi kehidupan demokrasi kita. Mengabaikannya sekarang akan membuat aktor-aktor keamanan tak lagi tunduk pada kaidah-kaidah kehidupan negara yang demokratis. Upaya mengungkap kasus pembunuhan Munir merupakan bagian penting dalam reformasi itu. Jika kasus Munir tak pernah tuntas, wajah kehidupan politik kita akan terus dibayang-bayangi ketakutan. Selama otak dan komplotan pembunuh Munir masih terus berkeliaran, sampai kapan pun keamanan dan kenyamanan kita akan terganggu.
Artikel ini dimuat sebagai bagian dari peringatan 16 tahun kematian Munir, yang digagas Museum Hak Asasi Manusia Omah Munir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo