Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Syahwat Politik Jokowi yang Tak Pernah Surut

Jokowi berupaya mempertahankan pengaruhnya dengan mendukung calon kepala daerah di pilkada 2024. Mengapa kita harus menolak?

21 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jokowi membentuk lanskap politik dengan cara merusak prinsip persaingan sehat dan akuntabilitas demokrasi.

  • Cawe-cawe ini tidak bisa dilihat sekadar dukungan pribadi, melainkan sebagai upaya Jokowi melanggengkan pengaruhnya.

  • Cawe-cawe seperti yang ditunjukkan Jokowi juga mencederai prinsip otonomi daerah dan subsidiaritas.

DALAM politik Indonesia, istilah cawe-cawe, yang berarti “ikut campur”, kian identik dengan manuver politik mantan presiden Joko Widodo. Keterlibatannya dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada 2024, terutama di Jakarta dan Jawa Tengah, memicu kritik tajam karena dianggap melampaui batas dukungan wajar serta mengarah pada intervensi yang tidak sehat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski Jokowi tak lagi menjabat secara resmi, pengaruhnya masih terasa kuat. Ia membentuk lanskap politik dengan cara merusak prinsip persaingan sehat dan akuntabilitas demokrasi.

Jokowi terang-terangan mendukung Ridwan Kamil sebagai calon Gubernur Jakarta dan Ahmad Luthfi, calon Gubernur Jawa Tengah. Dukungan itu ia sampaikan dengan ucapan bernada pujian yang tak tanggung-tanggung. Kehadirannya di panggung kampanye jelas mengganggu keseimbangan kompetisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ridwan Kamil, politikus berpengalaman dengan rekam jejak kuat, seharusnya bisa bertarung secara mandiri. Namun dukungan Jokowi yang mencolok berisiko mengerdilkan sosok Emil—panggilan Ridwan Kamil—menjadikannya sekadar perpanjangan politik Jokowi.

Di Jawa Tengah, Ahmad Luthfi dipromosikan sebagai figur tangguh dalam urusan keamanan dan tata kelola. Tapi, lagi-lagi, kampanyenya tak bisa lepas dari bayang-bayang Jokowi. Alih-alih muncul sebagai pemimpin yang merakyat, Luthfi lebih tampak seperti bidak dalam strategi Jokowi untuk mempertahankan cengkeraman dan pengaruhnya di perpolitikan negeri ini.

Cawe-cawe Jokowi tidak bisa dilihat sekadar dukungan pribadi, melainkan sebagai upaya Jokowi melanggengkan pengaruhnya, kendati masa jabatannya telah berakhir sebulan lalu. Ambisinya mencerminkan upaya kontrol politik yang jauh dari sekadar warisan.

Dengan menempatkan loyalisnya di posisi strategis, Jokowi tampak memperpanjang kekuasaannya melalui tangan-tangan baru. Hal ini menciptakan preseden berbahaya: jika dibiarkan, dukungan mantan presiden bisa menjadi faktor penentu utama dalam setiap pemilihan, mengikis nilai demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi rakyat untuk memilih tanpa intervensi elite politik.

Dukungan Jokowi terhadap Ridwan Kamil dan Ahmad Luthfi mencolok, tapi perannya dalam Pemilu 2024 lebih gamblang. Meski mengklaim netral saat masih menjabat presiden, secara tersirat Jokowi mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan mendorong putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden. Jokowi memperlihatkan kesediaannya memanfaatkan pengaruh keluarga demi melanggengkan dominasi politik. Babak itu boleh berlalu, tapi jejak politik dinasti yang ia normalisasi masih membayangi masa depan demokrasi Indonesia.

Tak hanya itu, jangan lupakan bahwa menantu Jokowi, Bobby Nasution, kini menjadi calon Gubernur Sumatera Utara. Dukungan politik terhadap Bobby tidak hanya mencerminkan dinamika politik dinasti, tapi juga menegaskan pengaruh besar Jokowi dalam politik lokal. 

Menurut laporan Tempo, Jokowi bahkan diduga mengerahkan aparat kepolisian untuk mendukung kampanye Bobby. Kabar ini menambah lapisan kekhawatiran akan penggunaan kekuatan negara untuk mengamankan kepentingan politik pribadi, mengikis prinsip netralitas institusi negara.

Keterlibatan Jokowi dalam pilkada Jakarta dan Jawa Tengah mencerminkan pergeseran kekuatan politik yang merisaukan. Jakarta—pusat pemerintahan dengan problem akut, seperti kemacetan dan polusi—kini lebih sibuk membicarakan endorsement Jokowi daripada solusi konkret. Ridwan Kamil, dengan rekam jejaknya, seharusnya menjual berbagai gagasannya untuk menyelesaikan problem Jakarta, bukan malah menjual nama Jokowi.

Di Jawa Tengah, Ahmad Luthfi menghadapi tantangan serupa. Alih-alih menjadi arena pembaruan, wilayah ini justru menjadi panggung bagi Jokowi mengukuhkan pengaruhnya. Demokrasi lokal terdistorsi, dengan pemimpin yang dipilih bukan karena kompetensi, melainkan restu elite.

Hal yang lebih mengkhawatirkan, langkah ini mengancam legitimasi pemilu. Ketika rakyat merasa suara mereka tak lebih dari formalitas di bawah bayang-bayang tokoh besar, demokrasi tergerus. Apatisme meningkat, partisipasi melemah, dan pemilu berisiko berubah menjadi sandiwara untuk memperkuat oligarki.

Cawe-cawe seperti yang ditunjukkan Jokowi mencederai prinsip otonomi daerah dan subsidiaritas, yang menekankan bahwa keputusan harus diambil sedekat mungkin dengan warga yang terkena dampak. Kepala daerah seharusnya mengutamakan kepentingan konstituennya. Tapi, jika posisinya bergantung pada dukungan mantan presiden, loyalitas mereka bisa bergeser ke patron politik. Akibatnya, tata kelola lokal melemah dan kekuasaan kembali tersentralisasi—bertentangan dengan semangat desentralisasi yang menjadi pilar demokrasi Indonesia.

Manuver Jokowi dalam pilkada 2024 menandai tren konsolidasi kekuasaan yang berbahaya. Meski masa jabatannya usai, upaya Jokowi menggenggam kendali memunculkan pertanyaan serius: sampai kapan mantan pemimpin boleh ikut campur? Pengalaman memang penting, tapi keterlibatan berlebihan justru menggerogoti demokrasi.

Intervensi ini mengaburkan batas antara dukungan sah dan campur tangan politik, menguji komitmen kita pada kompetisi adil serta otonomi lokal. Jika kita ingin demokrasi bertahan, saatnya menolak normalisasi semacam ini dengan tidak memilih calon yang didukung Jokowi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus