IDEOLOGI sudah mati, mungkin belum, barangkali akan. Apa sebenarnya yang terjadi? Tak ada jawabnya. Sedikitnya hampir semilyar manusia kini juga bingung di Cina. Pun di tempat lain. Di akhir tahun 50-an, sejumlah ahli sosiologi bicara dengan fasihnya tentang "berakhirnya ideologi". Orang pun manggut-manggut. Kemudian datang ragu. Lalu, di tahun 60-an dan 70-an, marah. The End of Ideology, sebuah buku dari Daniel Bell, dicampakkan jauh (kadang malah tak dibaca sampai selesai), disepak ke kanan luar. Orang-orang muda, yang "progresif", tak percaya, ide-ide radikal sudah lekang. Mereka tak percaya, ide semacam itu tak lagi punya daya untuk menyulut gairah dan mengasah keyakinan. Mereka inginkan makna, suatu hidup yang tidak itu-itu saja. Dunia, terutama di Barat, memang sudah menyaksikan sejumlah revolusi dan ternyata jadi letih. Tapi jera pada cita-cita? Itu berarti elan akan pudar. Masyarakat akan hanya repot dengan benda dan harta. Satu generasi akan terserak, tanpa arah. Karena itu, ideologi, tekad, tujuan, gelora hati tak boleh berakhir. Demikianlah para cendekiawan itu bersikap. Sayangnya, mereka tak lagi punya sumber inspirasi. Di Eropa Barat dan di Amerika Serikat,yang berlaku bukanlah sesuatu yang radikal, yang karena itu memikat, atau ekstrem, yang karena itu menarik. Yang berlaku adalah kompromi antara pendirian yang bertentangan. Maka, muncullah "jalan tengah". DeQgan kata lain, sesuatu yang biasanya dianggap boyak, hambar, lembek, terutama oleh anak-anak muda. Sementara itu, di Uni Soviet dan Eropa Timur, yang dulu pernah jadi mercu suar bagi orang-orang yang mual terhadap Barat, revolusi telah digantikan birokrasi. Pejuang telah digantikan aparatchik. Tokoh-tokoh partai komunis yang berkuasa bukannya dipilih dari bawah oleh para anggota partai. Mereka disusun olek sebuah lapisan pimpinan yang disebut Politbiro. Dan orang-orang Politbiro itu, pada gilirannya, mengangkat diri mereka sendiri. Dengan kata lain, gerakan radikal tak berjalan lagi. Semangat yang berkibar dari rakyat secara spontan telah digantlkan oleh disiplin yang diinstruksikan sang pemimpin. Tekad dan gelora hati telah diambil alih slogan-slogan resmi. Kemauan berkorban telah digusur oleh pengawasan pemerintah. Ideologi memang tidak mati, tapi telah berganti fungsinya: bukan sesuatu yang membakar gairah dan memperdalam keyakinan, tapi suatu semen beku yang memperkukuh kontrol dan kekuasaan. Jadi, di mana ilham itu akan didapat? Syahdan, beberapa orang mulai melihat ke Cina, di bawah Mendiang Mao. Sebuah negeri yang hanya sedikit tersingkap, dan karenanya memikat. Sebuah negeri di "Timur Jauh" - dipandang dari Barat - dan karena itu eksotis. Sebuah republik yang relatif baru di atas pelukan sejarah yang tua - dan karena itu sering dianggap belum punya dosa. Cina, dengan segera, diharap jadi sumber ilham baru. Kita ingat Mahbub ul Haq, misalnya. Kira-kira 10 tahun yang silam, ahli ekonomi Bank Dunia kelahiran Pakistan ini memukau kita dengan sebuah tinjauan yang segar. Ia punya pengalaman dengan pembangunan di Pakistan yang berdasarkan "konsep Barat" sebuah konsep yang gagal. Ia melihat bahwa suatu pembangunan ekonomi yang memperbesar kue kemakmuran dulu dan membagikannya kemudian, ternyata, tak bisa menutup jurang sosial antara yang kaya dan yang mlskin. Maka, lihat Cina, kata Mahbub ul Haq. Lihat Mao: nun di sana, justru dengan pemerataan lebih dulu, pertumbuhan ekonomi terjadi. Kita pun manggut-manggut, meskipun kita tak tahu sejauh mana Mahbub ini mengenal peta sosial ekonomi RRC. Kita pun mulai berpikir: jangan-jangan orang Pakistan yang cemerlang ini benar. Tapi ternyata muncul Deng Xiao-ping. Ia tak bicara pemerataan. Ia seperti Juru bicara pembangunan menurut "konsep Barat" saja laiknya, ketika ia mengatakan perlunya "membuat beberapa orang jadi kaya" sebelum "membawa orang banyak ke kemakmuran". Dengan kata lain, ia tak mengikuti anjuran Mahbub ul Haq. Deng agaknya suatu indikator bahwa Cina - betapapun eksotisnya - ternyata belum punya model lain yang berhasil ke kemakmuran. Ia pun, dengan jalan yang sekarang ditempuhnya, punya risiko akan menghadapi ketimpangan sosial. Seperti negeri Dunia Ketiga yang lain: tidak aneh, tidak unik. Mungkin juga tidak kiri, tidak kanan. Ideologi toh bisa seperti patung Syiwa: entah hidup entah mati, tapi yang jelas mukanya tidak satu sisi. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini