Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Alih-alih mempermudah administrasi perpajakan, keberadaan Coretax justru merepotkan.
Idealnya, sistem Coretax bisa langsung mengenali NIK tanpa perlu adanya proses registrasi ulang.
Dengan IKD, seharusnya semua data kependudukan, termasuk NPWP, bisa langsung terhubung dan terintegrasi.
SIAPA yang belum direpotkan oleh Coretax di Indonesia? Sistem yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini sedang menjadi buah bibir. Sejak diterapkan pada 1 Januari 2025, sistem ini bikin pusing banyak orang, terutama wajib pajak yang mencoba login dan malah tertahan di loading page.
Alih-alih mempermudah administrasi perpajakan, yang terjadi justru sebaliknya. Registrasi ribet dan fitur yang seharusnya otomatis malah butuh dilakukan secara manual. Hal yang mengejutkan, biaya pembuatan sistem ini mencapai Rp 1,2 triliun. Namun, dengan biaya sebesar itu, lucunya, situs webnya sulit diakses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian beredarlah kabar bahwa ada temuan soal 192 anggota tim pengembang Coretax mendapat tunjangan puluhan juta rupiah. Ada pula desas-desus soal dugaan penggunaan tenaga magang untuk mengerjakan sistem ini—bukan oleh tim yang benar-benar kompeten.
Masih banyak masalah Coretax yang bermunculan di media sosial, yang mungkin akan saya bahas di lain waktu. Namun ada satu hal sederhana yang benar-benar bikin saya tergelitik: sistem Coretax gagal menarik data dasar nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang seharusnya sudah bisa langsung terintegrasi dengan nomor induk kependudukan (NIK).
Gara-gara masalah ini, jika kita lihat dari sudut pandang teknis, ada satu hal yang mencolok: pengguna harus mendaftarkan NIK secara manual sebelum bisa menggunakan Coretax. Idealnya, sistem ini bisa langsung mengenali NIK tanpa perlu adanya proses registrasi ulang.
Jika diibaratkan, kasus ini seperti membeli ponsel baru, tapi setiap hendak memakai aplikasi, kita harus membuat akun dari nol. Menurut tim DJP, kesalahan ini sedang dalam perbaikan. Namun hal yang menjadi pertanyaan: mengapa masalah itu tidak terdeteksi sejak awal, dan kenapa tak memastikan sistem ini berjalan baik dulu sebelum diluncurkan?
Kekacauan ini berdampak luas. Misalnya, adanya beban administratif tambahan bagi perusahaan. Bukannya mempermudah, sistem Coretax malah membuat para pekerja di bagian sumber daya manusia dan keuangan di setiap perusahaan harus bekerja dua kali lipat. Pengguna juga menjadi mudah frustrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di beberapa forum di dunia maya, berembus kabar bahwa tim Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengakui perlunya intervensi manual untuk mengakses Coretax. Nah, kalau memang masih harus ada upaya manual, buat apa Kementerian Keuangan repot-repot mengembangkan sistem digital?
Akibat IKD Masih Bermasalah
Ini bukan pertama kalinya sistem digital yang dikembangkan pemerintah menghadapi masalah besar. Salah satu masalah yang cukup krusial berkaitan dengan kualitas sistem identitas nasional di Indonesia. Kita sebenarnya sudah punya identitas kependudukan digital (IKD) yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Dengan IKD, seharusnya semua data kependudukan, termasuk NPWP, bisa langsung terhubung dan terintegrasi. Realitasnya, implementasi IKD masih belum merata dan belum menjadi standar nasional. Banyak layanan belum terintegrasi dengan IKD sehingga tetap harus menginput data secara manual.
Ditambah lagi, isu keamanan data di Indonesia masih menjadi perhatian besar. Sistem seperti ini seharusnya bisa menjadi solusi. Namun, kalau integrasinya belum maksimal, ya, hasilnya tetap setengah-setengah. Jika dibanding negara lain, terlihat jelas betapa tertinggalnya sistem kependudukan di Indonesia. Ambil contoh Uni Emirat Arab yang memiliki UAE Pass dan Singapura dengan Singpass-nya.
Di Uni Emirat Arab, UAE Pass menjadi identitas digital warga setempat yang terintegrasi langsung dengan semua kementerian, lembaga, dan digunakan oleh ratusan perusahaan digital. Namun hal yang membuatnya benar-benar menonjol bukan soal teknologinya, melainkan betapa tingginya tingkat kepercayaan warga negara terhadap sistem ini.
Di UAE, kepercayaan terhadap sebuah aplikasi atau layanan sangat bergantung pada apakah platform tersebut sudah terintegrasi dengan UAE Pass. Jika suatu aplikasi mendukung pendaftaran menggunakan UAE Pass, masyarakat cenderung merasa aman dan nyaman menggunakannya. Sebab, integrasi aplikasi dengan UAE Pass bukan sekadar fitur tambahan, melainkan sebuah simbol keamanan dan kemudahan.
Ada beberapa faktor yang membuat UAE Pass diterima masyarakat. Para pengguna, ketika ingin menggunakan sistem ini untuk mendaftarkan akun pada sebuah aplikasi, cukup melakukan satu ketukan di layar ponsel mereka, memilih metode verifikasi yang diinginkan (sidik jari, wajah, atau personal identification number/PIN), dan dalam hitungan detik, registrasi selesai. Tidak ada keribetan menginput data, tak ada formulir panjang yang harus diisi, dan tidak ada konfirmasi secara manual melalui surat elektronik (surel).
Faktor kedua dari sisi perusahaan. Integrasi layanan mereka dengan UAE Pass memberikan nilai lebih terhadap produk dan jasa yang mereka tawarkan karena integrasi dengan UAE Pass berarti dipercaya masyarakat. Sebab, sistem ini terbukti aman, stabil, dan tanpa isu besar yang merugikan pengguna.
Faktor lain yang membuat UAE Pass begitu dipercaya adalah standar ketat dalam proses integrasi. Sebagai seseorang yang pernah memimpin proyek integrasi UAE Pass, saya bisa bilang, meskipun ada audit dan review yang sangat presisi, seluruh proses tetap dijalankan secara efisien serta jelas.
Tidak ada persyaratan yang berlebihan atau mempersulit pengembang dan tim pemeriksa hanya berfokus pada halyang benar-benar perlu diuji. Hal yang paling menarik adalah semua layanan ini bersifat gratis. UAE Pass tidak mengenakan biaya untuk integrasi antarmuka pemrograman aplikasi (API) dan penggunaannya oleh pihak swasta. Dengan demikian, banyak perusahaan mau mengadopsinya.
Begitu juga dengan Singpass di Singapura, yang sudah digunakan untuk lebih dari 2.000 layanan digital dari lebih dari 700 organisasi pemerintah dan swasta. Tanda tangan digital (Sign with Singpass) sudah diakui secara hukum dan bisa dipakai untuk kontrak elektronik. Pengguna juga dapat melakukan login secara instan dengan sidik jari atau pengenalan wajah. Kode QR untuk login dapat digunakan di berbagai platform, termasuk e-commerce dan perbankan.
UAE Pass dan Singpass sukses karena sejak awal dirancang untuk terintegrasi penuh dengan berbagai layanan. Berbeda jauh dengan sistem di Indonesia yang masih setengah jalan.
Hal sebaliknya, jika kita mundur sedikit, Indonesia punya rekam jejak buruk dalam urusan sistem digital nasional. Salah satu yang terbesar adalah kasus kebocoran data, dari data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, data pemilih di Komisi Pemilihan Umum, hingga bocornya data pribadi jutaan warga ke dark web.
Lalu ada juga kasus sistem autentikasi yang tidak terintegrasi dengan layanan, seperti erornya sistem e-meterai saat masa perekrutan calon pegawai negeri sipil pada September 2024. Sebuah sistem yang seharusnya bisa dirancang dengan simpel malah merepotkan dan membuat kesal.
Salah satu penyebab aneka masalah itu di Indonesia adalah setiap lembaga dan kementerian memiliki sistem sendiri, tapi tidak terhubung. Masalahnya bukan karena kita tak mampu secara teknologi, melainkan akibat eksekusinya yang masih setengah matang dan ketiadaan visi yang sama di antara lembaga pemerintahan.
Indonesia harus membangun sistem identitas yang benar-benar terpadu. Tidak boleh ada lagi penggunaan sistem yang sangat beragam, berdiri sendiri, dan tak terintegrasi. Setiap aplikasi harus dipastikan aman dan dapat digunakan secara luas oleh publik. Keamanan data harus menjadi prioritas. Percuma punya sistem digital kalau data warga gampang bocor.
Kepercayaan adalah standar penting dalam sistem identitas digital di mana pun. Sebab, pada akhirnya, teknologi bukan hanya soal fitur atau sistem yang canggih, tapi juga soal bagaimana masyarakat mempercayai dan merasa nyaman menggunakan sistem itu.
Keribetan sistem Coretax hanya salah satu contoh dari banyak masalah yang ada dalam sistem digital di Indonesia. Kalau tidak segera berbenah, kita akan makin tertinggal oleh negara lain. Rakyatlah yang akan terus menjadi korban sistem yang tidak efisien. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo